Suasana di kediaman Dirgantara kembali memanas setelah konferensi pers yang dilakukan oleh Oma Dursilla. Pengungkapan besar-besaran itu membuat media geger, publik heboh, dan yang paling terpukul adalah Zora. Wanita itu kini berada dalam pusaran masalah yang semakin sulit ia kendalikan.
Zora berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari jalan keluar dari kekacauan yang kini menelannya.
"Tidak! Ini tidak boleh terjadi!" gumamnya dengan suara bergetar. Ia mengangkat ponselnya dan menekan nomor Juan. "Kau harus membantuku, Juan. Kita harus membalikkan keadaan sebelum semuanya terlambat."
Juan yang berada di apartemennya hanya mendengus kecil. "Zora, aku sudah memperingatkanmu sejak awal. Kau bermain terlalu jauh, dan sekarang, kau mulai kehilangan kendali."
"Aku tidak peduli!" Zora berteriak frustrasi. "Aku
Noah menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Berita tentang pernyataan pers yang dibuat oleh Oma Dursilla telah menyebar dengan cepat. Media menggempur keluarga Dirgantara dengan berbagai pertanyaan. Tak hanya itu, berbagai spekulasi mulai bermunculan mengenai kebenaran hubungan Noah dan Jasmine."Kita harus segera bertindak," ucap Noah tegas, meletakkan ponselnya di meja.Jasmine yang duduk di sampingnya menatapnya dengan cemas. "Apa yang bisa kita lakukan sekarang?""Kita perlu memperkuat posisi kita di hadapan media. Oma Dursilla sudah mengambil langkah besar dengan mengungkapkan semuanya, sekarang tugas kita adalah memastikan publik tahu siapa yang sebenarnya berbohong."Jasmine mengangguk, meski di dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran. Semua ini terasa terlalu cepat dan mendadak. Namun, ia sadar bahwa tidak ada jalan lain selain maju ke depan.Di tempat lain, Zora
“Kau pikir ini sudah berakhir, Jasmine?” bisiknya sambil meraih ponselnya.Ia mengetik sebuah pesan singkat dan mengirimnya ke nomor misterius. Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar, dan sebuah balasan muncul."Target dikunci. Siap eksekusi kapan saja." Zora menatap layar dengan senyum penuh kemenangan.Pertarungan ini baru saja dimulai, dan kali ini, ia akan memastikan Jasmine tidak punya tempat untuk bersembunyi.Malam telah larut ketika Jasmine duduk di tepi ranjangnya, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Berita mengenai konferensi pers Noah masih terus menjadi sorotan utama di berbagai media. Reaksi publik mulai terpecah; ada yang mulai memahami situasi sebenarnya, tetapi tak sedikit pula yang masih memihak Zora.Noah masuk ke kamar dengan ekspresi serius. Ia meletakkan jasnya di sandaran kursi lalu mendekati Jasmine. “Kau harus tidur, Jas.
Di tempat lain, seseorang duduk di dalam mobil hitam yang terparkir di seberang kediaman Noah dan Jasmine. Orang itu menyalakan ponselnya, membuka sebuah pesan dari Zora."Pastikan mereka tidak bisa bernapas lega."Orang itu tersenyum samar sebelum mengetik balasan. "Segera."Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, sebuah instruksi tambahan muncul. "Kita buat mereka takut dulu. Aku ingin mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah bisa hidup tenang."Pria itu mengangkat kamera kecilnya, mengarahkannya ke rumah Noah dan Jasmine, lalu menekan tombol rekam. Dengan wajah tanpa ekspresi, ia mengirimkan video itu langsung ke nomor Zora.Zora menerima video itu dan tersenyum puas. Ia menatap layar dengan mata penuh kelicikan, lalu menekan tombol play. Video itu menampilkan Jasmine yang sedang menimang anaknya di ruang tamu, sementara Noah tampak berbicara dengan seseorang di telepon.Zora memiringkan kepala, jemarinya menelusuri layar ponselnya perlahan. “Lihat betapa b
"Jasmine, kau yakin tidak ingin beristirahat lebih lama?" suara Noah terdengar lembut, tetapi ada nada kekhawatiran yang jelas dalam nada bicaranya. Ia berdiri di ambang pintu kamar mereka, melihat Jasmine yang tengah mengayun-ayunkan bayi mereka di dalam dekapan.Jasmine tersenyum kecil, tetapi ada sedikit kelelahan di matanya. "Aku baik-baik saja, Noah. Aku hanya ingin memastikan dia tidur nyenyak."Noah mendekat, duduk di sisi Jasmine di tepi tempat tidur. Matanya mengamati bayinya yang perlahan-lahan terpejam dengan napas tenang. Tangannya terulur, menyentuh lembut punggung Jasmine sebelum beralih ke kepala bayi mereka. "Aku hanya tidak ingin kau terlalu lelah. Kau baru saja melalui begitu banyak hal."Jasmine menghela napas, menyandarkan kepalanya ke bahu Noah. "Aku tahu. Tapi aku merasa lebih tenang kalau berada di dekatnya."Noah tidak membantah. Sebagai seorang ayah, ia pun merasakan hal yang
Malam semakin larut, tetapi kediaman Noah dan Jasmine masih terang benderang. Jasmine duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponselnya dengan perasaan tak menentu. Sejak ancaman yang mereka terima, perasaannya menjadi tidak tenang. Sesekali ia melirik ke arah bayi mereka yang tertidur lelap di dalam boks, wajah mungilnya begitu damai seakan tidak menyadari kekacauan yang sedang terjadi di sekitar mereka.Noah yang berdiri di dekat jendela menatap ke luar dengan sorot mata tajam. Sistem keamanan rumah ini sudah diperketat sejak insiden kemarin, tetapi firasatnya tetap tidak bisa tenang. Ia tahu Zora tidak akan berhenti begitu saja, dan itu membuatnya semakin waspada."Kau masih memikirkan ancaman itu?" tanya Noah, berjalan mendekati Jasmine dan duduk di sampingnya.Jasmine mengangguk pelan. "Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, Noah. Aku merasa mereka mengawasi kita setiap saat."Noah menghela
Malam telah larut ketika Noah akhirnya tiba di rumah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan di perusahaan. Cahaya lampu di ruang tamu masih menyala, memberikan suasana hangat yang menyambutnya. Langkah kakinya ringan ketika ia melepas jas dan menggantungnya di dekat pintu. Keheningan di rumah itu hanya ditemani oleh suara jam dinding yang berdetak pelan.Jasmine sedang duduk di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Matanya yang semula fokus pada layar ponsel segera beralih begitu melihat Noah berjalan mendekat. Wajahnya masih menyiratkan kelelahan, tetapi ada kehangatan dalam tatapannya."Kau pulang lebih larut dari biasanya," ucap Jasmine pelan.Noah menghela napas dan duduk di sampingnya. "Ada beberapa laporan yang harus kuselesaikan. Aku ingin memastikan semuanya beres sebelum akhir pekan."Jasmine tersenyum kecil, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Noah. "Jangan terlalu memaksakan diri
Malam itu, langit di atas Arthaloka berwarna pekat tanpa bintang. Angin dingin berembus pelan, menggoyangkan tirai-tirai di dalam kamar Jasmine dan Noah. Suasana rumah yang biasanya terasa hangat, kini terasa sedikit berbeda. Ada ketegangan yang mengendap di udara, seperti bayangan yang mengintai di sudut-sudut gelap.Jasmine duduk di tepi ranjang, memeluk kakinya sambil menatap jendela. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangan samar di kaca, tetapi pikirannya sedang melayang jauh. Sejak kejadian beberapa hari lalu, di mana seseorang mengawasi mereka dari jauh, ia merasa ada yang tidak beres. Sekalipun Noah telah meningkatkan keamanan di rumah mereka, perasaan tidak nyaman itu tetap mengusiknya.Pintu kamar terbuka perlahan. Noah masuk dengan wajah serius, tetapi ketika melihat Jasmine dalam posisi seperti itu, ekspresinya melunak. Ia mendekat, duduk di sampingnya, lalu menyentuh pundaknya dengan lembut."Masih memikirkan
Suasana di rumah Noah dan Jasmine semakin terasa mencekam setelah serangkaian ancaman yang mereka terima. Meskipun keamanan rumah telah diperketat, baik Noah maupun Jasmine tahu bahwa ini hanyalah awal dari badai yang lebih besar. Mereka tidak bisa lagi menganggap enteng ancaman Zora dan orang-orang yang membantunya.Di dalam kamar mereka, Jasmine duduk di tepi ranjang, mengusap lembut tangan mungil anak mereka yang sedang terlelap di dalam boks bayi. Hatinya terasa sesak mengingat semua yang telah terjadi belakangan ini. Seolah kebahagiaan yang baru saja mereka bangun sedang diuji oleh kekuatan yang tak terlihat namun berbahaya.Noah, yang baru saja selesai berbicara dengan tim keamanannya, masuk ke dalam kamar dengan ekspresi serius. Ia berjalan mendekati Jasmine dan meraih tangannya, menggenggamnya erat."Kita tidak akan membiarkan mereka menang, Jasmine," ucap Noah dengan suara penuh ketegasan.J
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut
“Sebagai tergugat, kami setuju,” ujar Jasmine. “Karena anak kecil bisa berbohong... tapi hati mereka tidak.”Noah, yang duduk mendampingi Jasmine, menambahkan, “Saya ingin masuk sebagai saksi. Dan sebagai ayah biologis, saya mengajukan revisi hak asuh bersama.”Zora menoleh cepat, matanya membelalak. “Noah?! Kau di pihaknya sekarang?”Noah menatapnya tanpa ampun. “Sudah lama aku bukan di pihakmu.”Sepulang dari pengadilan, Jasmine merasa tubuhnya seperti diseret waktu. Namun saat ia membuka pintu kamar hotel, suara kecil menyambutnya dari balik ruang tamu.“Ibu Jas?”Jasmine membeku. Tubuh kecil itu berlari dan memeluknya dari belakang. “Ibu Jas! Aku mimpikan Ibu tadi malam! Ibu peluk aku kayak waktu kita tinggal di rumah yang banyak bunga!”Jasmine membalik tubuhnya, dan Zai menatapnya dengan mata berbinar.“Kamu di sini?” bisik Jasmine, air matanya mengalir.Noah masuk dari belakang. “Dia... memaksa ikut. Aku tak bisa menolaknya. Dia ingin bertemu kamu. Hanya kamu.”Zai menempelkan
Di dalam ruang server, ratusan rak digital bersinar dengan cahaya biru. Kiara dan tim IT mulai mengakses sistem. Bunyi klik-klak keyboard terdengar di antara ketegangan."Kami berhasil masuk ke lapisan pertama!" teriak Kiara."Teruskan. Kita butuh semua data!" seru Jasmine.Tiba-tiba, alarm menyala merah."Ada sistem pemicu otomatis. Kalau kita tidak selesai dalam dua belas menit, seluruh data akan dihancurkan secara otomatis," teriak Evan."Kita bisa bypass! Tapi kita butuh waktu dan ketenangan!" seru Kiara.Noah menjaga pintu, senjata disiagakan. Sementara Jasmine berdiri di belakang Kiara, matanya terpaku pada satu monitor yang menampilkan nama-nama... dan di antara semua itu, muncul sebuah file bernama: ORION FILE – Master Authorization."Buka itu," perintah Jasmine cepat.Kiara membuka file tersebut. Di dalamnya: catatan transaksi rahasia, video pertemuan Leonhart dan tokoh-tokoh dunia, serta satu nama kode utama: The Architect – real ID pending unlock."Kita menemukannya," gumam
Pagi di Arenia tidak seperti biasanya. Setelah malam penuh ketegangan dan pengakuan dari Sebastian Warde, udara pagi itu terasa lebih berat, seolah kota tua itu menyimpan napas untuk menunggu langkah selanjutnya dari Jasmine Jorse. Di ruang rapat sementara Project Axis yang terletak di lantai paling atas hotel, seluruh tim telah berkumpul.Sebastian, kini masih dalam pengawasan ketat, duduk di pojok ruangan dengan pengacara dan dua pengawal bersenjata. Wajahnya tampak lesu, tapi sorot matanya menyiratkan kelegaan setelah membuka sebagian besar rahasia yang ia simpan selama bertahun-tahun.Di hadapan semua orang, Jasmine berdiri di depan layar digital besar. Data dari Sebastian mulai ditampilkan: alur dana gelap, nama-nama pemilik perusahaan fiktif, dan diagram jaringan yang saling terkait dari Valmora, Zurich, hingga Lioren dan bahkan negara netral seperti Eresia."Semua ini mengarah pada satu hal," ucap Jasmine lantang. "Bukan hanya Leonhart, tapi seluruh sistem. Sistem yang selama i
Jasmine yang sejak tadi diam, merasa darahnya mendidih. Dia berdiri tegak, matanya memandang pesan itu seakan menantang. "Tidak ada lagi tempat bersembunyi," ucapnya, suaranya penuh tekad dan keberanian yang tak bisa dipadamkan. "Kita akan berhadapan langsung."Seketika, seluruh ruangan terasa hening, hanya suara detak jantung yang terdengar keras di telinga mereka. Waktu terasa berhenti sejenak, dan semuanya tahu bahwa mereka tidak bisa mundur lagi. Keputusan telah dibuat. Mereka harus menghadapi musuh mereka, apapun risikonya.Malam itu, langit Arenia dipenuhi bintang-bintang yang seolah menyaksikan perjalanan mereka. Di luar jendela, angin bertiup kencang, membawa nuansa ketegangan yang semakin tebal. Bintang-bintang di langit seakan menjadi saksi dari pertempuran terakhir yang akan segera meletus. Masing-masing dari mereka tahu bahwa ini adalah momen yang tak bisa dihindari. Setiap pilihan yang mereka ambil sekarang akan menentukan masa depan mereka.Jasmine