Pram terkejut membaca pesan dari Noah yang berbunyi:
"Pram, tunda kedatanganmu sampai besok pagi. Ada sesuatu yang perlu aku selesaikan malam ini. Jangan khawatir, semuanya terkendali."Pesan itu terdengar singkat, tetapi cukup untuk membakar rasa penasaran Pram. Kalimat terakhirnya, "semuanya terkendali," terasa samar dan penuh misteri. Apa yang sebenarnya terjadi?
Namun, meski pikirannya dipenuhi pertanyaan, Pram memilih untuk menghormati permintaan Noah.Bagaimanapun, Noah adalah sahabat sekaligus atasannya. Dengan sedikit enggan, ia memutuskan untuk menurut, sambil berharap semua memang benar-benar terkendali seperti yang Noah katakan.
"Baiklah, Noah. Aku akan datang besok pagi. Pastikan kamu aman."
Sementara itu, di Hotel Gran Dirgantara, Noah memutuskan untuk membuka kamar baru di sebelah kamar 1508. Ketika ia menanyakan status kamar tersebut pa
Noah terkejut saat Jasmine keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit tubuhnya. Rambut basahnya meneteskan air, dan wajahnya masih memerah karena uap hangat dari kamar mandi.“Noah!” serunya kesal ketika pria itu menatapnya dengan ekspresi campuran antara kaget dan bingung.Noah segera bangkit dari tempat duduknya, memalingkan wajah dengan cepat. “Kenapa kamu seksi begitu? Cepat ganti pakaianmu!” katanya sambil mengomel, nada suaranya terdengar gugup.Jasmine yang sudah kesal sejak tadi langsung melipat tangan di dada. “Mau ganti pakai apa, hah? Tadi aku mau bilang kalau aku nggak bawa pakaian ganti, tapi kamu malah nyuruh aku mandi dulu sebelum selesai bicara!”Noah menepuk jidatnya. “Astaga…” gumamnya pelan. Ia merasa sangat konyol. Dalam kesibukannya mengatur banyak hal semalam, ia benar-benar lupa memesan pakaian ganti untuk
Pelayan hotel mengetuk pintu dengan sopan, membawa setumpuk pakaian ganti yang dipesan untuk Jasmine. Bersamaan dengan itu, Pram muncul dari pintu belakang, senyumnya lebar dan tatapannya penuh rasa ingin tahu.”Jamine?!” kejut Pram.Noah segera menyambut pelayan dan menyerahkan pakaian pada Jasmine. Sebelum gadis itu sempat membuka mulut untuk berbicara, Noah berbisik, “Ingat, tutup mulut. Aku yang akan menjelaskan.”Jasmine hanya mengangguk dengan wajah datar, mengambil pakaian itu dan masuk ke kamar mandi untuk berganti.Namun, Pram tampaknya lebih tertarik dengan Jasmine daripada Noah. Fokusnya masih pada penampilan Jasmine sebelumnya, yang tenggelam dalam kemeja putih besar. “Jujur, tadi itu lucu banget! Jasmine kelihatan kayak anak kecil pinjam baju bapaknya!”Noah menghela napas, langsung menarik Pram keluar kamar sebelum Jasmine mendengar. Pram, tentu saja, mengomel sepanjang jalan.“Kamu curang, Noah!” ujar Pram dengan nada kesal. “Seharusnya aku yang menemani Jasmine semalam.
Jasmine menyadari sejak awal sarapan, tatapan Noah sering tertuju padanya. Meski berusaha terlihat tidak peduli, Jasmine tahu pria itu mencuri pandang secara diam-diam. Tatapan dingin itu sering kali membuat Jasmine merasa jengah, apalagi dengan sikapnya yang kaku dan cenderung mengatur.’Apa sih maunya si Es Batu Berbulu Pink ini?’ pikir Jasmine sambil menghela napas. ’Dia nggak sadar kalau ikatan di antara kita ini cuma suami-istri kontrak? Ditambah lagi dia itu suaminya kakak sepupuku.’Keadaan makin membuat Jasmine kesal saat Pram mulai melontarkan godaan-godaan ringan. Noah tampak menjaga wajahnya tetap netral, tapi Jasmine bisa melihat jelas bahwa pria itu sebenarnya kesal. Tatapan tajamnya dan cara tangannya mengepal pelan adalah bukti yang cukup bagi Jasmine.’Astaga, ini pria kenapa sih?’ pikir Jasmine lagi.Setelah menyelesaikan sarapannya, Jasmine meletakkan serbet di atas meja dengan santai.“Aku pergi dulu,” katanya.Pram menatapnya dengan ekspresi penuh harap. “Mau ke man
Setibanya Jasmine di rumah, ia disambut oleh Nikmah, asisten rumah tangganya, yang tampak cemas. Wanita paruh baya itu segera menghampirinya dengan wajah penuh khawatir.“Non Jasmine! Non kemana aja semalam? Saya sudah khawatir. Nyonya Zora juga sempat mencari Non tadi pagi,” lapor Nikmah dengan nada terburu-buru.Mendengar nama Zora, Jasmine langsung siaga. “Zora mencari aku? Apa yang dia bilang?” tanyanya sambil melepaskan sepatunya.“Dia cuma tanya Non pulang atau tidak. Pas saya bilang Non nggak pulang, dia kelihatan biasa aja, Non. Nggak panik sama sekali,” jawab Nikmah, mencoba mengingat dengan seksama.Jawaban itu membuat Jasmine terdiam sejenak. ‘Zora tidak menunjukkan kepanikan?’Biasanya, Zora adalah orang pertama yang heboh jika Jasmine tidak ada kabar. Ada sesuatu yang ganjil di sini, tapi Jasmine tidak punya waktu untuk memikirkannya lebih jauh.Jasmine melirik jam dinding dan menyadari waktu semakin mendesak. Ia buru-buru memberi instruksi pada Nikmah. “Kalau Zora mengh
"Bagaimana bisa dia datang dengan mobil semewah itu?" ujar wanita di ujung koridor kampus.Tidak lama, dua temannya menyahut serentak, "Bukannya dia mahasiswa beasiswa? Kalau nggak salah, dia hampir di-DO, akibat tunggakan uang kuliah."Jasmine berjalan cepat menuju ruang kelas dengan langkah penuh tekad. Di belakangnya, bisik-bisik mahasiswa yang penasaran terus terdengar, namun ia memilih untuk tidak memedulikannya.Begitu memasuki gedung fakultas, ia melihat jam dinding di lorong. Masih ada waktu dua menit sebelum kelas dimulai. Dengan napas yang sedikit terengah, ia membuka pintu ruang kelas dan melangkah masuk.Seperti biasa, suasana ruang kelas berubah tegang saat sosok Kelvin Gordon berdiri di depan, memperhatikan para mahasiswa dengan tatapan tajamnya. Pria paruh baya itu terkenal dengan sikap disiplinnya yang hampir tidak manusiawi.Jasmine menarik napas lega karena belum terlambat. Ia segera mencari tempat duduk di bagian tengah, menghindari terlalu depan atau terlalu belaka
Jasmine baru saja keluar dari gedung fakultas, bergegas menuju tempat parkir untuk melanjutkan aktivitasnya. Namun, saat ia melangkah ke luar, ia terkejut mendapati mobil Rolls-Royce Ghost yang sama masih setia menunggunya.Jasmine sempat ragu, berniat menghindar dan melangkah menjauh, berharap tidak berurusan dengan siapa pun yang ada di dalam mobil itu.Namun, harapannya sirna saat pintu mobil terbuka dan seorang pria keluar, mengenakan setelan jas rapi dan wajah tampan penuh karisma. Tentu saja, pria itu adalah Noah.“Noah…” gumam Jasmine lebih berbisik pada dirinya sendiri. Tubuhnya terasa kaku, tidak percaya.Pandangan gadis-gadis di sekitar kampus langsung terpusat pada Noah, seolah-olah dunia berhenti berputar sejenak. Keanggunan dan aura misterius yang dimiliki pria itu membuatnya begitu mencolok di antara kerumunan mahasiswa yang biasa."Wah, tampan sekali, aku mau jadi miliknya," ucap salah seorang mahasiswa yang berdiri di depan Jasmine, dengan ekspresi penuh rasa kagum.Be
Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk RSUP Candra Mulia. Rolls-Royce Ghost yang elegan menarik perhatian beberapa orang yang berada di luar rumah sakit. Sopir membuka pintu belakang, tetapi Noah lebih cepat turun dan membukakan pintu untuk Jasmine.“Keluar,” ucap Noah singkat namun lembut, memberikan isyarat dengan tangannya.Jasmine melangkah keluar dari mobil dengan hati-hati. Pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan tentang alasan mereka datang ke sini. Namun, sebelum sempat bertanya, Noah sudah melangkah menuju pintu masuk rumah sakit. Jasmine mengikuti di belakangnya, masih mencoba memahami situasi.Saat mereka berjalan masuk, Noah tiba-tiba berhenti dan berbalik. Tanpa banyak bicara, ia menarik tangan Jasmine, menggenggamnya erat, lalu kembali berjalan. Jasmine terpaku sejenak, merasakan sentuhan hangat Noah yang terasa begitu nyata.“Noah, ini tidak perlu. Aku bisa berjalan sendiri,” ucap Jasmine pelan, meski genggaman itu entah mengapa membuatnya merasa terlindungi.Noa
Operasi nenek Cahaya berjalan lancar. Jasmine menghela napas lega saat dokter keluar dari ruang operasi dan memberikan kabar baik. Meski demikian, nenek Cahaya masih harus dirawat di ruang intensif untuk pemulihan.Jasmine menatap pintu ruang intensif itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa syukur, tetapi juga kekhawatiran yang belum sepenuhnya hilang.Zora, yang sejak tadi setia mendampingi Jasmine, menggenggam tangannya erat. “Semua akan baik-baik saja. Kita hanya perlu menunggu nenek Cahaya pulih sepenuhnya,” katanya dengan suara lembut.Jasmine mengangguk pelan. “Terima kasih, Zora. Kalau bukan karena kamu dan Noah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”Zora tersenyum kecil. “Kamu tidak perlu berterima kasih. Kita ini keluarga, Jasmine.”Setelah memastikan semuanya di rumah sakit terkendali, Zora memutuskan untuk membawa Jasmine pulang bersamanya.Mereka duduk di kursi belakang mobil yang dikemudikan oleh sopir Zora. Dalam perjalanan, percakapan ringan berubah menjadi diskusi
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m