“Jasmine, Noah… kalian datang?” suara Marni pelan, penuh nada bertanya namun tidak mengusir.
“Kami ingin bicara dengan Oma,” kata Jasmine sopan, tapi matanya tak bergeming dari dalam rumah, seolah ingin menembus dinding dan langsung bertemu wanita yang menjadi pusat dari segala pertanyaan di hatinya.
Marni membuka pintu lebih lebar. “Masuklah. Beliau sedang di ruang lukis.”
Ruang lukis.
Sebuah ruangan yang dulu jarang mereka masuki. Tempat Dursila menghabiskan waktu ketika ingin menyendiri — atau ketika pikirannya terlalu penuh dan hanya kanvas yang bisa menampungnya.
Jasmine dan Noah melangkah masuk. Aroma minyak cat dan kayu tua menyeruak menyambut mereka, membangkitkan kenangan masa kecil Noah — dan masa asing yang ingin dikenali oleh Jasmine.
Di ujung ruangan, Dursila duduk membelakangi mereka, mengenakan kimono satin berwarna biru tua. Di depannya terbentang kanvas besar yang belum
"Maaf, Nona Jasmine. Kami membutuhkan persetujuan dan pembayaran dalam waktu tiga hari. Jika tidak, kami tidak bisa melakukan tindakan medis lebih lanjut untuk Nenek Anda."Suara seorang petugas kasir rumah sakit RSUP Candra Mulia terdengar tegas.Jasmine berdiri kaku, memandang tagihan medis yang terasa seperti bom waktu di tangannya."Tiga hari?" gumamnya, hampir tidak percaya."Benar, kondisi pasien sangat kritis. Operasi katup jantung harus dilakukan segera. Kalau tidak, risiko gagal jantung akut meningkat," tambah wanita di balik meja dengan nada profesional tetapi dingin.Jasmine hanya bisa mengangguk perlahan, menggenggam tagihan itu erat-erat. Langkah kakinya lemah saat meninggalkan loket pembayaran.’Tiga hari... Bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Tuhan, aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.’ Jasmine mendesah panjang, tangan gemetar saat meremas tagihan di pangkuannya.Matanya menerawang, mengingat masa kecilnya. "Aku cuma gadis desa dari Cipta Mandala.
Keesokan harinya, ’Apa yang harus aku lakukan? Tiga hari saja, tapi rasanya seperti tiga tahun. Nenek terbaring di rumah sakit, menunggu operasi yang mungkin bisa menyelamatkan nyawanya. Tapi, bagaimana caranya aku mendapatkan uang sebanyak itu? Aku sudah mencoba semua cara, tapi tidak ada yang berhasil.’ Jasmine duduk termenung di toko serba ada milik Zora, sepupunya. Tangannya sibuk menyusun rak barang, tetapi pikirannya melayang-layang.’Aku tidak bisa kehilangan Nenek. Nenek adalah segalanya bagiku. Aku harus mencari cara, tidak peduli seberat apa pun. Tapi, apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya gadis desa yang tidak punya apa-apa.’Zora, yang sedang memeriksa laporan keuangan di kasir, mengangkat wajah dan memperhatikan Jasmine.’Apa yang terjadi dengan Jasmine? Wajahnya terlihat lebih suram dari biasanya. Apakah ada masalah atau ada hal lain yang mengganggu pikirannya? Aku harus mencari tahu dan membantunya.’ Zora berbicara dalam hati."Jasmine, ada apa? Kamu kelihatan kusut se
Tiga hari berlalu dengan penuh kegelisahan. Jasmine mencoba mencari jalan lain, tetapi tidak ada yang berhasil. Ketika rumah sakit menelepon lagi, memberitahukan bahwa kondisi neneknya semakin memburuk, Jasmine tahu dia tidak punya pilihan lain.Jasmine menghampiri Zora, yang baru sampai di Toserba. Saat itu Zora terburu- buru, tapi Jasmine berusaha menyampaiakan maksudnya."Halo, Kak Zora?" Jasmine berbicara dengan suara yang sedikit bergetar."Jasmine. Bagaimana kabarmu?" Zora menjawab dengan suara yang lembut.Zora membuka berkas di kasir dan mengambil beberapa file, lalu menumpukkan di atas meja kasir. Setelahnya dia menatap Jasmine, dengan senyuman."Kak, aku... aku butuh bantuanmu," Jasmine mengambil napas dalam-dalam.Jasmine, masih bingung. Apakah ini waktu yang tepat untuk dia mengatakan maksudnya. Tapi dia tidak bisa menunda lagi, walau dia tahu Zora tampak sibuk."Aku sudah tahu, Jasmine. Aku siap membantumu. Datang ke rumahku, kita bicarakan detailnya, saat ini aku sedang
Noah mengangkat alisnya, mencoba memproses apa yang baru saja dikatakan Jasmine. Sementara itu, Zora terlihat seperti ingin berkata sesuatu, tetapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara."Kamu bercanda, kan?" Noah akhirnya berkata, matanya menyipit dengan skeptis."Aku serius," jawab Jasmine tegas. "Aku tidak akan melangkah lebih jauh tanpa itu. Aku sudah menyerahkan terlalu banyak. Ini satu-satunya cara agar aku merasa ini benar, meskipun semuanya salah."Zora memandang Jasmine dengan campuran rasa marah dan bingung. "Jasmine, ini bukan waktunya untuk menawar! Kamu tahu situasinya!""Aku tahu," balas Jasmine, suaranya dingin. "Tapi aku tidak akan melanggar prinsipku. Kamu ingin anak, aku ingin menjaga moralku. Ini keputusan final."Noah menatap Zora, seolah meminta persetujuannya. Setelah beberapa detik hening yang panjang, mereka berada di sudut ruang yang jauh dari Jasmine.Zora menghela napas dengan berat, lalu mengangguk kecil. "Baiklah," katanya dengan suara yang terpaksa. "Tapi j
"Jasmine, sudah siap?" tanyanya, suara lembut namun penuh kecemasan. Zora masuk dengan langkah pelan, wajahnya tampak lelah meski berusaha tersenyum.Jasmine mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada kontrak itu. Hati kecilnya terasa hancur, tetapi dia tahu tak ada pilihan lain. Semua sudah diputuskan.”Atau... kamu mau sarapan dulu?” tanya Zora ramah.Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Jasmine duduk sendirian di meja makan, menatap cangkir teh yang mulai mendingin. Matanya kosong, tangannya gemetar."Noah menunggumu di ruang tamu," lanjut Zora, menepuk bahu Jasmine dengan lembut. "Kami akan menunggu di sana. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."Jasmine menatap Zora dengan mata penuh pertanyaan. "Tapi... apakah ini benar-benar yang terbaik, Zora?" Suaranya hampir tak terdengar. "Aku merasa seperti aku kehilangan diriku sendiri."Zora menarik napas panjang, ekspresinya berubah lebih serius. "Aku tahu kamu merasa seperti itu," jawabnya dengan lembut, namun nada su
Jasmine melangkah cepat menuju rumah sakit, tubuhnya terasa kaku, tetapi pikirannya penuh dengan satu tujuan, neneknya. Setiap langkah terasa berat, seperti beban dunia ada di pundaknya.”Aku harus ke rumah sakit,” gumamnya lirih.Jasmine merasa seperti melangkah dalam mimpi buruk yang tak bisa dihentikan.Sesampainya di ruang ICU, Jasmine langsung melihat Zora duduk di kursi dekat ranjang neneknya. Wajah Zora tampak lelah, matanya sembab, seperti habis menangis.“Kamu datang juga, Jas?” suara Zora terdengar berat, meskipun ada senyum tipis yang muncul.Jasmine hanya mengangguk pelan, melangkah mendekat ke ranjang neneknya. Tubuh nenek yang biasanya penuh semangat itu kini terbaring lemah, hanya alat-alat medis yang berbunyi di sekelilingnya.Jasmine menahan napas, matanya mulai berkaca-kaca. “Gimana, kak Zor? Dokter bilang apa?”“Masih belum ada perubahan. Kita cuma bisa nunggu,” jawab Zora, menatap nenek. “Aku cuma bisa bantu dengan cara ini, Jas. Gak bisa apa-apa lagi.”Jasmine dud
"Jasmine, bersiaplah," kata Zora pelan, tetapi suaranya terdengar penuh kecemasan. Jasmine hanya mengangguk lemah, seolah separuh jiwanya tidak berada di sana.Pernikahan itu berlangsung cepat dan tanpa gegap gempita. Jasmine duduk di kursi kayu yang terasa dingin, matanya kosong memandangi penghulu yang sibuk mempersiapkan prosesi ijab kabul. Di sudut ruang tamu, Zora terlihat gelisah, sesekali meremas jemarinya sendiri.Dua saksi, Nikmah dan Paryono, berdiri di dekat meja penghulu. Mereka terlihat seperti dua orang asing yang terjebak dalam adegan yang bukan milik mereka. Jasmine bahkan tidak tahu siapa mereka sebenarnya, hanya nama mereka yang disebut Zora tadi pagi.Noah berdiri di depannya, tubuh tegap dan wajah datar tanpa ekspresi. Dia tidak mencoba menenangkan Jasmine atau berbasa-basi, hanya memberikan kesan tegas dan sedikit dingin."Kita mulai," katanya singkat, suaranya seperti perintah yang tak terbantahkan.Penghulu mengawali prosesi dengan doa pembuka. "Bismillahirrahman
Malam itu terasa hening. Jasmine melangkah masuk ke kamar pengantin yang telah disiapkan oleh Zora. Rumah di kompleks perumahan Raflesia Hill itu terlihat megah, tetapi Jasmine merasa kecil dan terasing di dalamnya.“Kamar ini... terlalu mewah,” gumam Jasmine, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, suaranya terdengar bergetar.Kamar itu cukup luas, dengan dekorasi yang elegan. Wangi aromaterapi memenuhi udara, campuran lavender dan melati yang begitu kuat hingga membuat kepala Jasmine sedikit ringan. Cahaya lampu temaram memantul dari dinding krem, menciptakan suasana yang aneh, hampir seperti mimpi.“Noah akan datang,” gumamnya pelan. Hatinya berdebar kencang.Saat Jasmine duduk di tepi tempat tidur, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Noah masuk dengan langkah tenang, tetapi ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Jasmine langsung berdiri, merasa canggung.“Noah...” Jasmine mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat. “Aku... aku tidak tahu harus bagaimana.”Noah tidak menjawab. Dia
“Jasmine, Noah… kalian datang?” suara Marni pelan, penuh nada bertanya namun tidak mengusir.“Kami ingin bicara dengan Oma,” kata Jasmine sopan, tapi matanya tak bergeming dari dalam rumah, seolah ingin menembus dinding dan langsung bertemu wanita yang menjadi pusat dari segala pertanyaan di hatinya.Marni membuka pintu lebih lebar. “Masuklah. Beliau sedang di ruang lukis.”Ruang lukis.Sebuah ruangan yang dulu jarang mereka masuki. Tempat Dursila menghabiskan waktu ketika ingin menyendiri — atau ketika pikirannya terlalu penuh dan hanya kanvas yang bisa menampungnya.Jasmine dan Noah melangkah masuk. Aroma minyak cat dan kayu tua menyeruak menyambut mereka, membangkitkan kenangan masa kecil Noah — dan masa asing yang ingin dikenali oleh Jasmine.Di ujung ruangan, Dursila duduk membelakangi mereka, mengenakan kimono satin berwarna biru tua. Di depannya terbentang kanvas besar yang belum
“Aku ingin bertanya satu hal,” Jasmine akhirnya memecah keheningan. Suaranya terdengar lebih serius, penuh pertimbangan. “Bagaimana kalau kebenaran itu ternyata lebih sulit diterima daripada yang aku bayangkan? Apa kita masih bisa bertahan?”Noah menatapnya tanpa ragu. “Aku nggak tahu, Jas. Tapi aku yakin, kita nggak bisa menghindarinya. Mungkin kebenaran itu akan menghancurkan kita, mungkin juga akan menyatukan kita. Yang aku tahu, kita harus menghadapi ini bersama.”Jasmine mengangguk perlahan. Kata-kata Noah memang menenangkan, namun hatinya tetap terasa berat. Apakah dia benar-benar siap untuk mengungkapkan seluruh kenyataan, untuk menghadapi apa yang telah lama terkubur? Rasanya seperti menggali lubang yang dalam dan tidak tahu apa yang akan ditemukan di dalamnya.“Dan bagaimana dengan Oma Dursila?” tanya Jasmine, masih tidak bisa menghindari pikiran tentang wanita tua yang telah menggerakkan begitu banyak pot
“Jas,” Noah mulai, suaranya rendah, “apa yang kamu pikirkan sekarang? Aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kamu rasakan. Apakah kamu merasa lebih baik, atau masih bingung?”Jasmine menatapnya, mencoba merangkai kata-kata. “Aku… masih merasa bingung, Noah. Aku ingin bisa melanjutkan, aku ingin kita bisa lebih bahagia. Tapi ada begitu banyak hal yang aku harus terima. Aku merasa terkadang aku nggak tahu siapa aku sebenarnya dalam keluargamu.”Noah mendekat, meraih tangannya dengan lembut. “Kamu adalah bagian dari keluarga ini, Jas. Aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku ingin kita melangkah maju bersama. Apa pun yang terjadi, kamu nggak perlu merasa sendirian.”Jasmine mengangkat kepala, melihat mata Noah dengan penuh keyakinan. “Aku tahu. Tapi aku juga harus menghadapi kenyataan yang sulit ini, tentang siapa aku dan apa yang benar-benar terjadi. Aku nggak bisa lari dari itu.”N
Jasmine duduk di balkon rumah besar mereka, menghadap langit yang mulai meredup dengan nuansa jingga keemasan. Angin sore yang sejuk menyapu wajahnya, namun perasaan di dalam hatinya masih jauh dari tenang. Setiap keputusan yang dia buat dalam beberapa hari terakhir terasa penuh dengan ketegangan, seperti mencoba menavigasi jalan sempit di antara jurang. Semua perasaan itu bersaing dalam dirinya—rasa cinta, kemarahan, kebingungannya, dan kerinduan akan ketenangan.Dia menatap ke depan, merasa seolah dirinya sedang berada di persimpangan jalan, dan tidak tahu arah mana yang harus dipilih.Ponselnya bergetar di saku celananya. Dengan enggan, dia mengeluarkan ponsel itu dan melihat nama Noah muncul di layar. Dia sudah tahu, ini pasti pesan dari Noah. Setiap kali mereka berbicara, selalu ada campuran antara keraguan dan harapan dalam suara Noah. Tetapi, Jasmine masih merasa perlu waktu untuk mengurai perasaannya sendiri.Pesan Noah kali ini tidak panjang, hany
Sore itu, saat dia kembali ke rumah, Noah sedang duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat lelah, namun matanya tetap memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Ketika Jasmine masuk, dia langsung berdiri dan berjalan mendekat, namun langkahnya terhenti begitu melihat ekspresi di wajah Jasmine.“Kamu kembali,” Noah berkata, nada suaranya terdengar cemas. “Jas, apakah—”“Aku butuh waktu,” kata Jasmine cepat, memotong kalimat Noah. “Aku masih belum bisa memutuskan apa yang harus aku lakukan. Aku… aku bingung, Noah.”Noah mengangguk, meskipun ada rasa sakit yang jelas di wajahnya. “Aku paham, Jas. Aku nggak bisa memaksamu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menunggu apapun keputusan yang kamu ambil.”Jasmine menghela napas panjang, berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Dia melihat rerumputan hijau yang tumbuh rapi, seperti semuanya tampak sempurna. Na
“Jas, aku—” Noah berhenti sejenak, seolah kata-kata itu sulit keluar. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Keluargaku punya sejarah yang rumit. Ada begitu banyak hal yang terjadi, dan aku nggak ingin kamu terjebak dalam semua ini. Aku hanya ingin kita berdua bahagia.”Jasmine menunduk, mencoba untuk mengumpulkan pikirannya. “Tapi, aku berhak tahu, Noah. Aku berhak tahu siapa aku sebenarnya. Apa yang terjadi di masa lalu itu nggak bisa terus disembunyikan.”Noah berjalan mendekat, berusaha meraih tangannya, namun Jasmine menarik tangannya. “Jas, tolong. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tak pernah berniat menyakitimu. Aku ingin kita tetap bersama, tapi aku juga butuh waktu untuk menyelesaikan ini dengan keluarga.”Jasmine merasakan dada terasa sesak. “Tapi aku nggak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Kamu bilang aku bagian dari keluargamu, tapi ternyata ada banyak hal yang tidak pernah kamu ceritakan
Noah menghela napas panjang, merasa bahwa setiap kata yang dia ucapkan kini terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. “Jas, kamu harus tahu bahwa aku nggak ingin kamu merasa terjebak di dalam ini. Aku berjanji aku akan menceritakan semuanya.”Jasmine menunduk, matanya terpejam untuk menenangkan diri. “Aku nggak tahu, Noah. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”Noah merasakan hatinya hancur melihat Jasmine seperti itu. Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur hatinya yang terluka. Apa yang bisa dia lakukan? Dia sudah berusaha, tapi kenyataannya selalu saja menghalanginya.“Jas,” Noah berkata pelan, hampir berbisik. “Aku akan melakukan apapun untuk kita. Aku janji.”Jasmine hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata apa-apa lagi.Sore itu, keduanya terdiam, terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan. Jasmine merasa hatinya terperangkap dalam labirin perasaan yang tak jelas arah tu
Hari itu terasa begitu berat bagi Jasmine. Setiap langkah yang diambil seolah terhenti oleh pikiran yang terus berputar dalam benaknya—semua yang baru saja dia dengar dari Harness. Kebenaran yang mengerikan itu seakan-akan merobek setiap potongan kenyamanan yang selama ini dia percayai. Bahwa dia—Jasmine Ayu Kartika—mungkin bukan siapa-siapa dalam dunia yang begitu besar dan rumit ini, hanya menjadi bagian dari sebuah rahasia yang lebih besar daripada dirinya sendiri.Dia mencoba untuk menenangkan diri, mengatur napas, namun setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di dadanya. Ketika akhirnya dia sampai di rumah, rasanya seperti langkahnya terhambat oleh sesuatu yang tak terlihat. Rumah itu, yang biasanya memberikan rasa aman, kini terasa penuh dengan ketegangan. Semua kenyamanan itu hilang begitu saja setelah apa yang dia ketahui.Noah sedang duduk di ruang tamu, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Ekspresi gelisah yang t
Harness: "Ada yang ingin kamu bicarakan, Jas?"Jasmine menarik napas panjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya mengetik balasan.Jasmine: "Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Noah? Kenapa kamu selalu ada di sekitar dia, bahkan sampai sekarang?"Beberapa detik berlalu, lalu balasan datang dengan cepat.Harness: "Kamu harus siap untuk mendengarnya. Ada banyak yang nggak kamu ketahui, Jas."Jasmine menelan ludah, merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Dia bisa merasakan bahwa ini bukan hanya sekedar pertanyaan sederhana. Ada rahasia yang jauh lebih besar di balik semua itu—rahasia yang bisa mengubah segalanya.Tanpa memberi tahu Noah, Jasmine memutuskan untuk bertemu dengan Harness, merasakan sebuah dorongan kuat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.Sore itu, Jasmine berjalan menyusuri jalan setapak menuju kafe yang sering digunakan oleh Harness untuk bertemu denga