Mama Amara duduk di samping putrinya, menatap wajah yang terlihat semakin tirus. Ia menyentuh bahu Jasmine, memberi kehangatan kecil yang setidaknya tak bersifat basa-basi.
“Kamu tahu, Jas... terkadang cinta bukan soal siapa yang paling banyak memberi, tapi siapa yang paling bertahan meski sakit,” ucapnya lirih.
Jasmine hanya menunduk. “Tapi berapa lama kita bisa bertahan hanya dengan itu, Ma?”
“Cinta bukan cuma rasa. Cinta juga pilihan. Dan setiap pilihan ada lukanya. Tapi kalau kamu masih bisa memilih dia, bahkan saat kamu marah... mungkin itu cukup untuk bertahan hari ini.”
Jasmine menarik napas dalam. Kata-kata ibunya menyentuh tempat yang tak berani ia jamah. Ia tahu hatinya masih menyimpan cinta untuk Noah, tapi ia juga tahu betapa rapuhnya mereka sekarang. Dan Noah, pria yang pernah ia percayai sepenuh jiwa, kini terasa seperti orang asing yang mencoba masuk lagi tanpa kunci yang dulu ia serahkan dengan tulus.
Saat Noah melangkah ke pintu, ia menemukan seorang pria berdiri di sana dengan wajah yang terlalu akrab untuk bisa diabaikan. Pria itu tersenyum tipis.“Harness,” gumam Noah, nadanya datar.“Kita perlu bicara,” kata Harness. “Dan sebaiknya Jasmine juga dengar.”Noah menatapnya lama, lalu berbalik ke dalam rumah. Jasmine sudah berdiri di tengah ruangan, pandangannya menyapu antara Noah dan Harness.“Ada apa?” tanyanya hati-hati.Harness melangkah masuk, dan suasana di dalam rumah kembali berubah. Ada sesuatu yang dibawa pria itu—bukan hanya kabar, tapi juga masa lalu. Dan mungkin... sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi rapat di balik semua peristiwa yang menghancurkan mereka.Jasmine dan Noah saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya, mereka sama-sama merasakan: ini bukan lagi sekadar perjuangan mereka berdua. Ini tentang seluruh benang kusut yang mengelilingi mereka sejak awal. Dan malam itu, benang-benang itu mulai ditarik satu per satu.Suara jam dinding berdetak pelan di
Suasana rumah masih menyisakan keheningan pagi yang belum sepenuhnya sirna. Jasmine berdiri di jendela ruang tamu, membiarkan cahaya matahari yang lembut menyentuh pipinya yang dingin. Ia tidak lagi menggenggam surat dari Noah, tetapi isinya masih menempel di benaknya seperti bayang-bayang yang tak bisa diusir. Kata-kata itu terlalu jujur. Terlalu dalam.Di belakangnya, langkah Noah mendekat, pelan-pelan. Tak ada suara yang dikeluarkan saat ia memasuki ruangan, hanya aroma kopi yang masih tertinggal di udara dari cangkir yang tadi pagi belum ia habiskan. Noah berhenti beberapa langkah dari Jasmine, menunggu... mungkin berharap Jasmine akan bicara lebih dulu. Tapi Jasmine tetap diam, hanya mengalihkan pandangannya dari jendela ke lantai, seperti sedang menata kekuatan untuk kata-kata yang akan keluar."Aku nggak tahu harus mulai dari mana," suara Noah akhirnya memecah keheningan.Jasmine tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbalik menatap Noah. Mata
Mama Amara duduk di samping putrinya, menatap wajah yang terlihat semakin tirus. Ia menyentuh bahu Jasmine, memberi kehangatan kecil yang setidaknya tak bersifat basa-basi.“Kamu tahu, Jas... terkadang cinta bukan soal siapa yang paling banyak memberi, tapi siapa yang paling bertahan meski sakit,” ucapnya lirih.Jasmine hanya menunduk. “Tapi berapa lama kita bisa bertahan hanya dengan itu, Ma?”“Cinta bukan cuma rasa. Cinta juga pilihan. Dan setiap pilihan ada lukanya. Tapi kalau kamu masih bisa memilih dia, bahkan saat kamu marah... mungkin itu cukup untuk bertahan hari ini.”Jasmine menarik napas dalam. Kata-kata ibunya menyentuh tempat yang tak berani ia jamah. Ia tahu hatinya masih menyimpan cinta untuk Noah, tapi ia juga tahu betapa rapuhnya mereka sekarang. Dan Noah, pria yang pernah ia percayai sepenuh jiwa, kini terasa seperti orang asing yang mencoba masuk lagi tanpa kunci yang dulu ia serahkan dengan tulus.Pintu depan terbuka perlahan. Jasmine refleks menoleh. Noah masuk de
Mama Amara duduk di samping putrinya, menatap wajah yang terlihat semakin tirus. Ia menyentuh bahu Jasmine, memberi kehangatan kecil yang setidaknya tak bersifat basa-basi.“Kamu tahu, Jas... terkadang cinta bukan soal siapa yang paling banyak memberi, tapi siapa yang paling bertahan meski sakit,” ucapnya lirih.Jasmine hanya menunduk. “Tapi berapa lama kita bisa bertahan hanya dengan itu, Ma?”“Cinta bukan cuma rasa. Cinta juga pilihan. Dan setiap pilihan ada lukanya. Tapi kalau kamu masih bisa memilih dia, bahkan saat kamu marah... mungkin itu cukup untuk bertahan hari ini.”Jasmine menarik napas dalam. Kata-kata ibunya menyentuh tempat yang tak berani ia jamah. Ia tahu hatinya masih menyimpan cinta untuk Noah, tapi ia juga tahu betapa rapuhnya mereka sekarang. Dan Noah, pria yang pernah ia percayai sepenuh jiwa, kini terasa seperti orang asing yang mencoba masuk lagi tanpa kunci yang dulu ia serahkan dengan tulus.
“Dokter bilang... mereka akan mengirim hasil tes genetik ke laboratorium di luar kota. Mungkin butuh waktu.”Kepala Jasmine sedikit mengangguk. Tapi tetap tidak ada kontak mata. Mereka seperti dua tokoh dalam dua panggung yang berbeda.Noah tahu ada jarak di antara mereka. Tapi ini bukan jarak biasa. Ini seperti selaput tipis yang nyaris tak terlihat, tapi cukup kuat untuk mencegah mereka saling menyentuh. Ia ingin bicara, ingin mengulurkan tangan, tapi sesuatu dalam dirinya menahan.“Noah, kau tahu...” suara Jasmine terdengar pelan namun tak ragu. “Kadang aku merasa... kita seperti orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama.”Kalimat itu membuat dada Noah sesak. “Jas, aku nggak mau kita jadi seperti itu.”“Lalu kita ini seperti apa sekarang?” Jasmine menoleh, akhirnya. Matanya memerah, bukan karena menangis, tapi karena lelah. “Kita terus berusaha menyembuhkan sesuatu yan
Jasmine melangkah masuk dan duduk di kursi seberang meja. Sesaat mereka saling memandang, lalu kembali memalingkan wajah. Suasana di antara mereka seperti jembatan yang goyah—cukup kuat untuk menahan, tapi tak bisa menampung beban lebih."Aku nggak tidur tadi malam," kata Jasmine pelan.“Aku juga,” sahut Noah.Hening lagi. Angin dari jendela terbuka membawa aroma bunga kamboja dari taman. Harum, tapi terasa getir di udara."Aku merasa seperti... hidupku kembali jadi teka-teki,” ujar Jasmine, menatap lantai. “Aku bahkan mulai mempertanyakan, apa Mama pernah berniat menyembunyikan ini dariku?”Noah menggenggam jemarinya sendiri. “Kita nggak tahu pasti apa yang benar, Jas. Oma juga belum bisa membuktikan sepenuhnya.”“Tapi... itu cukup mengguncang,” balas Jasmine. “Kamu sadar nggak, Noah? Kita hampir menikah. Kita hampir membangun hidup, dan sekarang kita... bahkan nggak tahu kit