Wanita itu jelas berusaha mendekatkan diri pada Noah, mencari kesempatan untuk berbicara atau bahkan menyentuhnya. Setiap kali Noah tertawa atau berbicara dengan seseorang, Vanesia selalu berusaha masuk ke dalam percakapan, seolah dia ingin memastikan dirinya tetap menjadi pusat perhatian Noah."Astaga, wanita ini benar-benar tak tahu malu," gumam Jasmine pelan, menusuk potongan daging steak di piringnya dengan garpu seolah itu wajah Vanesia.Namun, yang membuat hatinya semakin tidak nyaman adalah kenyataan bahwa Noah tidak benar-benar menolak interaksi itu."Dia menikmati ini?" pikirnya, cemburu mulai menguasai pikirannya meskipun Jasmine mencoba menyangkalnya.Jasmine menghela napas panjang, mencoba mengalihkan perhatiannya dengan melihat pemandangan di sekelilingnya. Namun, pandangannya tetap kembali ke arah Noah dan Vanesia.Hingga akhirnya, dia tidak tahan lagi. Tanpa sadar, Jasmine bangkit dari duduknya, menaruh serbet di atas meja, dan melangkah cepat menuju lapangan golf.Seke
Jasmine membalas dengan tatapan tajam, matanya seakan mengatakan segalanya. "Aku tahu, tapi aku tidak akan membiarkan wanita itu berpikir lain.""Aku hanya merasa sedikit heran, kau tak pernah sekalipun menunjukkan sisi ini sebelumnya," ujar Noah, sedikit terkejut dengan ketegasan Jasmine yang semakin jelas.Jasmine menatapnya lama, memastikan kata-katanya diterima dengan tepat. "Aku tidak akan lagi membiarkan siapa pun menganggap aku lemah atau hanya sekadar istri di sampingmu, Noah. Aku lebih dari itu."Noah akhirnya mengangguk pelan, mengerti apa yang sedang disampaikan oleh Jasmine. "Aku paham, sayang," katanya, suaranya lebih dalam dan penuh makna.Tapi dibalik kata itu Noah mengirim pesan, Jasmine segera membukanya : ”Ingat ini hanya permainan, terimakasih telah membantuku untuk menolak secara halus. Setidaknya tuan Bulharm , tidak akan berani membawa putri sulungnya lagi sebagai umpan bisnis.”Jasmine tersenyum puas, merasa bahwa langkah pertamanya dalam "perang" ini telah berh
Wanita itu yang sejak tadi menatap dengan penuh kecemburuan, merasa terancam dengan kehadiran Jasmine yang begitu mencuri perhatian. Ketika melihat kesempatan, Vanesia berusaha mendekati Jasmine, membawa segelas minuman."Jasmine, coba minum ini. Minuman Velmoré Royal tahun 1987. Kualitas terbaik untuk acara seperti ini," kata Vanesia dengan senyum yang terkesan paksa.Namun, sebelum Jasmine sempat meraih gelas itu, Noah yang berada tidak jauh dari mereka langsung bergerak cepat. Dengan gesit, dia mengambil gelas dari tangan Vanesia, menjauhkan minuman itu dari Jasmine."Noah?" Jasmine terkejut melihat Noah tiba-tiba begitu sigap.Noah menatap Vanesia dengan tatapan tajam. "Jasmine tidak akan meminum ini. Velmoré Royal 1987 terlalu keras untuknya. Meskipun rasanya manis, kadar alkoholnya sangat tinggi," jelas Noah tegas, dengan sedikit nada waspada.Vanesia, yang merasa tersinggung dengan penolakan itu, menatap Noah dengan ekspresi marah, namun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia
Di malam yang tenang itu, meski dengan perasaan yang penuh kelelahan, keduanya menemukan sedikit ketenangan, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar yang tak henti-hentinya menekan mereka.”Ugh!” Suara yang kelaur dari mulut Jasmine, dengan mata sedikit mengantuk.Samar-samar Jasmine merasakan sensasi berbeda diantara dua kakinya. Lalu wajah yang tidak asing itu berbisik. ”Aku setengah sadar, tapi aku mengiginkan ini. Aku akan bermain perlahan. Jangan melawan, bantu aku sebelum aku mencari yang lain.”Merasa itu adalah permintaan untuk menolong, teringat Vanesia, akhirnya Jasmine pasrah. Dia rela daripada wanita lain yang berada dalam pelukan Noah.Gerakan dan hentakan lembut itu membuat mata Jasmine bekerjap. Dia merasakan sensasi yang sama seperti sebelumnya. Tubuh Jasmine yang putih kini penuh dengan tanda merah seperti bunga mawar yang berguguran.”Kenapa kamu membuat tand aitu semua, Noah?” protes Jamsine, tapi Noah tidak bergeming.Tidak lama Noah berucap sambil menerobos lagi kedalam
Saat mereka turun ke lobi vila, suasana sudah lebih ramai. Beberapa tamu yang menginap di Vila Flores tampak berbincang santai, menikmati sarapan atau bersiap kembali ke kota.Noah langsung disambut oleh beberapa rekan bisnisnya yang masih bertahan setelah pesta semalam. Francis dan Joan, dua investor asal Eropa yang semalam terlihat cukup akrab dengannya, segera menghampiri dengan ekspresi ramah."Noah," sapa Francis, menjabat tangannya erat. "Kau menghilang semalam. Aku kira kau sudah pulang lebih dulu."Noah hanya tersenyum tipis, ekspresinya tenang seperti biasa. "Aku hanya butuh udara segar," jawabnya ringan.Jasmine berdiri di sampingnya, tetap menjaga sikapnya. Saat Joan menoleh ke arahnya, mata wanita itu berbinar. "Jasmine, senang bisa bertemu denganmu lagi. Aku dan Francis sempat membicarakan sesuatu di pesta semalam," katanya dengan nada antusias."Oh?" Jasmine mengangkat alis, sedikit terkejut."Kami benar-benar tertarik untuk bekerja sama denganmu suatu saat nanti," lanju
Zora tersenyum, tidak menyadari apa yang tersimpan dalam hati Noah. Ia hanya merasa bahagia mendapatkan kasih sayang dari pria yang dicintainya.Setelah beberapa saat, Noah akhirnya melepaskan pelukan itu dan berkata dengan nada tenang, “Aku harus ke kantor.”Zora mengangguk, masih dengan senyuman lembut di wajahnya. “Baiklah. Hati-hati di jalan.”Noah hanya menatapnya sesaat sebelum akhirnya berbalik, melangkah keluar rumah.Saat berada di dalam mobil, ia menghela napas panjang.Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai terasa rumit. Dan ia tidak yakin bisa mengendalikannya lebih lama lagi.Di dalam kantor yang sepi, Noah menyandarkan tubuhnya ke kursi, membiarkan pikirannya melayang. Setelah perjalanan panjang dan semua kejadian tadi malam, kepalanya terasa berat.Noah menatap tumpukan dokumen di meja, lalu menghela napas sebelum menandatangani beberapa file yang memang harus diselesaikan hari ini.Setelah selesai, bukannya langsung pulang, Noah justru tetap duduk di tempatnya, membiarka
Pram mengernyit, merasa semakin penasaran, tapi ia tahu bahwa Noah tidak akan mudah membuka diri begitu saja."Yaudah, nanti aja. Kamu pasti punya alasan sendiri," kata Pram, kembali menatap makanan di depannya, walaupun pikirannya masih terpecah antara rasa penasaran dan kebingungannya tentang apa yang sebenarnya ada di balik permintaan Noah.Sementara itu, Noah hanya diam, merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan sepenuhnya kepada Pram. Dalam hati, ia tahu kalau keputusan yang ia ambil, terkait dengan Jasmine, Oma Dursila, dan berbagai hal yang terhubung dengan keduanya akan membawa dampak yang jauh lebih besar daripada yang bisa dibayangkan oleh siapa pun.Malam itu, Noah memutuskan untuk pulang ke Mansion Dirgantara lebih awal. Dia merasa tak ingin lagi membuat keributan di antara perasaan Jasmine yang semakin pelik, terlebih dengan sikapnya yang selalu bertolak belakang.Noah tahu, meski berusaha menjaga jarak, ada hal-hal yang tak bisa dihindari dan perlu dihadapi. Sebelu
Jasmine mengangkat wajahnya, senyum manis terukir di bibirnya. "Aku rasa ini adalah nasi goreng seafood terbaik yang pernah aku makan," ujarnya, tanpa tahu betapa banyak perasaan yang bersembunyi di balik kebahagiaan yang tampak sederhana itu.Setelah menemani Jasmine makan nasi goreng seafood, Noah dan kedua wanita itu duduk bersama di ruang tamu, menikmati serial televisi yang tengah diputar.Kedua wanita itu tampak begitu rileks, seolah semua beban sejenak terlupakan. Noah duduk di antara mereka, matanya sesekali melirik ke arah Jasmine yang tampak begitu bahagia dengan makanan yang dibawakan, sementara Zora yang duduk di sebelahnya tampak tenang dan penuh perhatian.Tidak lama kemudian, suara napas tenang menggantikan suara televisi. Jasmine tertidur lebih dulu, kepalanya bersandar ringan pada bahu Noah, sementara Zora, meski berusaha tetap terjaga, perlahan mulai terlelap juga.Di bawah cahaya lampu yang redup, suasana di ruang tamu terasa hangat dan damai, namun di dalam hati No
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m