Anita sibuk bermain dengan Jaya hingga tidak sadar, orang yang membuatnya kesal setelah melihatnya sudah datang. Alis Anita sempat tertaut ketika melihat orang menyebalkan itu tersenyum ke arahnya.
"Kau salah makan? Apa barusaja kau keracunan?" Tanya Anita sambil bangkit. Jaya yang berada di sampingnya ikut berdiri dengan senyum manisnya.
"Papa sudah tiba? Mama dan aku dari tadi menunggu disini." Adu Jaya dengan wajah riang.
"Aku sudah bilang, berhenti memanggilku dengan sebutan mama. Aku benar-benar bukan mama mu!" Teriak Anita sambil menekan perkataannya.
"Ah, mama tidak perlu malu-malu didepan papa. Jaya tahu kok, hati mama selalu merindukan papa." Ujar Jaya sambil menyenggol tubuh Anita. Mata Anita membulat, dia menunjuk dirinya sendiri. Tidak percaya dengan perkataan anak kecil yang barusaja ditolongnya.
"Aku? Merindukan orang menyebalkan ini? Apa tidak ada pria lain di dunia ini?" Sahut Anita sambil melipat kedua tangannya.
"Wah, wajah mama semakin manis. Sama waktu itu." Ucap Jaya yang tidak peduli dengan respon Anita.
Saat Jaya diperiksa, Anita terpaksa duduk berdampingan bersama orang yang dia benci. Anita terlanjut berjanji pada Jaya. Dia tidak mau, Jaya bersedih hanya karena dirinya.
"Ngomon-ngomon, kita belum berkenalan. Aku papanya Jaya, Wiratman Rarendra. Kau cukup memanggilku Wira saja." Ucap Wira memulai pembicaraan karena keadaannya benar-benar sunyi seperti pemakaman.
"Aku tidak butuh namamu. Aku akan pergi setelah Jaya selesai diperiksa." Ujar Anita yang tidak menoleh sama sekali.
"Benar-benar cuek, kau seperti membenci pria tampan. Padahal, aku masih belum punya calon meski sudah banyak yang mengantri." Jelas Wira dengan bangga menampilkan pesona dirinya didepan Anita.
"Aku yakin sekali, orang yang mengantri itu bukan orang normal." Sahut Anita yang semakin kesal melihat Wira memperlihatkan gaya cool yang menurut Anita ketinggalan zaman.
"Hei! Bagaimana jika kita membuat kontrak. Jaya sangat menyayangimu dan mengira kau adalah mamanya. Sejak kecil, dia ditinggal mamanya dan tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu sampai sekarang. Bolehkah kau menjadi ibu sambungnya?" Tanya Wira dengan tatapan penuh harapan.
"Aku tahu, aku tahu. Kau pasti tidak tertarik. Namun, aku bisa membayarmu senilai 20 juta dalam satu bulan. Anggap dirimu beruntung." Lanjut Wira ketika melihat wajah Anita tampak tidak tertarik.
"20 juta? Kau serius?" Mata perawan tua itu membulat. Dia mengeluarkan jari nya, mencoba menghitung dengan benar.
"Aku bisa beli rumah sendiri jika menabung selama lima bulan. Tidak ada lagi yang mengganggu hidupku." Ucap Anita dengan senyum seutas dibibirnya.
"Aku bisa tambahkan jika kau masih tidak tertarik." Ungkap Wira dengan santai. Uang bukan masalah baginya. Duda kaya itu punya segalanya hingga tidak tahu harus melakukan apa dengan uang sebanyak itu. Meski punya banyak uang, tidak membuat anaknya, Jaya, bisa hidup tenang. Yang dibutuhkan Jaya ada pada Anita.
"Boleh ditambahkan? Ah, kau sangat baik. Aku terima pekerjaan ini. Kapan aku mulai bekerja sebagai ibu sambung Jaya?" Tanya Anita yang bersemangat.
"Hari ini, sudah bisa. Tolong bantu aku mengurus Jaya hingga dia sembuh."
"Tidak perlu buru-buru, aku tidak akan mengundurkan diri secepatnya. Kecuali uangku yang terkumpul sudah banyak." Ucap Anita dengan tertawa perlahan.
Satu jam berlalu, mereka akhirnya pulang ke rumah Jaya. Anita menggandeng tangan anak angkatnya dengan riang. Meski belum punya anak, tetapi dia cukup berpengalaman. Anita punya keponakan perempuan yang selalu dia jaga ketika kakaknya bekerja.
"Nah, Jaya harus makan obat dengan teratur. Nanti mommy selalu datang ke sini, bermain dengan Jaya. Bagaimana?" Bujuk Anita setelah selesai mengantar Jaya ke kamar.
"Mommy mau kemana? Kenapa tidak tinggal disini saja?" Ucap Jaya yang langsung memurungkan wajahnya.
"Ya ampun, wajah tampan anak mommy sudah hilang. Jangan murung anak tersayang, besok Mommy kesini pagi-pagi sekali." Ujar Anita yang memegang kedua pipi Jaya.
"Janji?" Ucap Jaya sambil mengulurkan sebelah tangannya.
"Pasti dong, mommy kan bukan orang munafik yang ingkar janji." Balas Anita yang berhasil membujuk Jaya. Wira terkejut melihat tingkah anaknya yang menurut begitu saja.
"Cukup keren, biasanya Jaya selalu marah-marah dan menangis. Aku bahkan tidak bisa membujuknya." Ucap Wira dengan suara perlahan sambil berdiri di pintu memantau keadaan.
Setelah bicara dengan Jaya dan membaringkan anak itu, Anita keluar dari kamar anak angkatnya. Dia menghampiri Wira yang berada diruang kerja.
"Berikan gajiku!" Titah Anita yang mengeluarkan tangannya.
"Kau belum bekerja selama satu bulan, kenapa meminta gaji?" Ucap Wira dengan heran.
"Hei, kau mau aku bekerja semaksimal mungkin? Berikan aku gaji lebih awal. Aku tidak punya uang untuk bolak balik ke rumahmu, menjaga anak tersayangmu." Jelas Anita yang memberi peringatan.
"Kau cukup pintar. Pantas Jaya menginginkanmu. Tetapi, kau belum punya keluarga kan?" Tanya Wira dengan tatapan serius.
"Apa? Apa suamimu tidak marah?" Ucap Wira yang terkejut.
"Aku punya keluarga, kakak, nenek, sepupu, keponakan, namun aku belum menikah. Jadi santai saja. Aku juga tidak akan menikah denganmu." Kata Anita berterus terang.
"Sangat jujur. Bagaimana kalau kau kepincut denganku nanti? Aku bisa tertawa lebar dihadapan keluargamu." Ucap Wira mulai menggoda.
"Maaf, aku berkata jujur. Biar dilihat seribu kali, aku sama sekali tidak terpesona denganmu. Rambutmu, kulitmu, semuanya normal. Tidak tampak spesial dimataku. Bagaimana yah, aku harus memberitahumu?" Ucap Anita yang memutar bola matanya karena malas.
"Dasar, perawan tua. Sudah cukup! Pulang ke rumahmu sana!" Teriak Wira yang emosi. Bisa-bisa dirinya diejek secara terang-terangan di depannya. Harga dirinya seolah diinjak-injak dengan mudah.
"Aku juga mau pulang walau kau tidak menyuruhku. Tolong ya, gajiku jangan lupa. Besok pagi aku ambil. Harus!" Ucap Anita yang memaksa sebelum pergi.
"Dia benar-benar!" Wira semakin kesal. Wajahnya berubah warna yang menandakan emosi dirinya sedang tidak stabil.
Saat sampai dirumah, Anita berjalan perlahan dan berhenti diruang tamu. Dia berpikir keras, seperti sedang melupakan sesuatu. "Apa yang aku lupa?" Tanya Anita yang mondar mandir didepan sofa.
Neneknya keluar saat itu dan terkejut melihat Anita datang seorang diri. "Dimana Lilis? Kenapa dia tidak bersamamu? Bukannya kau berjanji akan menjemputnya lalu membawanya jalan-jalan?" Tanya sang nenek yang berjalan mendekati Anita.
"Lilis? Oh, iya. Lilis kelupaan. Oh my god!" Ucap Anita yang memegang kepalanya spontan.
"Apa? Lilis kelupaan? Bagaimana bisa? Dasar bodoh! Sudah tua jadi seperti ini. Dimana keponakanmu berada sekarang? Ini sudah malam. Nenek pikir, dia bersamamu seharian bermain." Ucap nenek Anita sambil memukul tubuh Anita dengan perlahan.
"Maaf, Nek. Namanya juga sudah berumur." Bela Anita.
"Sudah tahu dirimu tua, masih belum mau menikah!" Teriak nenek Anita yang terus memukul Anita.
"Jaya! Jaya!" Panggil Anita di bawah. Jaya langsung menoleh dan menghentikan langkahnya menuju papanya. Buru-buru Wira menyembunyikan laptop itu di dalam kamar Lilis."Selamat!" ucap Wira dengan lega. Hal menakutkan di dunia ini tidak jadi datang.Setelah memastikan Jaya sudah tidak ada diluar, Wira segera pergi darisana sambil membawa laptop Jaya. Dia memperhatikan laptop Jaya yang sudah rusak."Ini tidak bisa di perbaiki lagi. Apa aku harus membeli yang baru? Tetapi, Jaya akan tahu jika laptopnya rusak," guman Wira yang di penuhi rasa bersalah."Pak Wira! Bagaimana keadaan sekarang, sudah aman?!" tanya Rafael yang masuk ke ruang kerja Wira setelah bersembunyi tadi."Dasar kamu!" Wira melempar buku ke arah Rafael, begitu kesal anak itu baru muncul sekarang setelah membuat kekacauan."Maaf, bukan aku yang salah." bela Rafael."Iya, bereskan masalah ini cepat sebelum Jaya menyadarinya. Dia selalu memeriksa barang-barangnya sebelum tidur." kata Wira yang khawatir."Bagaimana caranya? In
Ah.. Ah.. Ah..Teriakan Yuni dari dalam kamar membuat Anita dan Wira tampak ragu membuka pintu. Mereka takut melihat adegan yang terlarang."Ya, sepupumu rupanya mesum juga. Apa dia menggoda kakakku hingga mengambilnya?!" tanya Anita sambil melirik Wira dengan tatapan merendahkan."Sepupuku yang salah? Bukannya suara kurang mengenakkan itu dari mulut kakakmu? Berarti dia sangat menikmati permainan sepupuku!" ucap Wira membalas."Ya, kakakku janda yang harga dirinya lebih tinggi dari yang kau duga. Bukan hanya itu, selama ini kakakku sangat menjaga dirinya, pasti sepupumu itu yang menggoda kakakku lebih dulu!" tunjuk Anita dengan tajam."Kakakmu yang salah, kenapa membawa sepupuku. Aku yakin sekali dan menjamin Rafael bukan sembarang lelaki. Dia itu masih perjaka selama ini!" jelas Wira yang emosi."Apa?! Kau yakin Rafael masih perjaka? Tadi saja dia membawa bra wanita, sekarang mulai bertingkah pada kakakku. Dia juga sudah melepas status perjaka nya itu!" umpat Anita dengan keras.Wir
Jaya berlari menuruni tangga mencari Wira. Anak itu tampak memutar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari wajah tampan Wira."Papa! Gawat! Darurat!" Jaya berteriak keras agar Wira segera memunculkan dirinya di hadapan anaknya.Tidak butuh waktu lima menit, Wira datang dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak panik melihat keadaan anaknya."Jaya! Kau kenapa nak? Apa sesuatu terjadi padamu?!" tanya Wira sambil memeriksa tubuh Jaya."Baik saja, tetapi hati Jaya yang sakit, Pah!" rengek Jaya."Hati Jaya?!" Alis Wira terangkat, terheran-heran mendengar jawaban Jaya."Iya benar. Mama akan pergi berkencan, dia sampai berdandan sangat cantik. Bagaimana jika mama mendapat calon papa baru yang tajir dan tampan, lalu punya anak juga yang lebih menggemaskan dari Jaya? Jaya sangat khawatir karena itu, Papa harus menahan mama agar tidak berkencan dengan duda lain." Jelas Jaya mengutarakan isi hatinya."Apa yang kau bicarakan?!" "Papa mau kehilangan Jaya? Tidak kan, kalau begitu turuti perka
Baru pagi hari, dua pasang mata saling melotot. Terlebih, Anita melipat kedua tangannya tidak mau kalah dari Wira."Mungkin wajahmu tampak menyeramkan, tetapi aku tidak takut denganmu sama sekali!" ucap Anita penuh percaya diri."Cihh, dasar perawan tua! Apa kau tidak tahu kesalahan mu padaku, ha? Kau mengajari anakku hal yang tidak seharusnya dia lakukan!" Bentak Wira dengan suara lebih keras lagi dari Anita."Siapa yang mengajarinya!" Sifat emak-emak Anita mendadak muncul. Tangannya berpindah posisi ke pinggangnya."Aku dari tadi memberitahumu, aku tidak tahu apa yang terjadi kemarin malam. Aku tidur nyenyak di dalam kamar. Mana aku tahu, Jaya membuat ulah!" teriak Anita lebih keras lagi membuat Wira segera menutup telinganya."Suaramu terlalu keras, telingaku terasa mau pecah!" balas Wira yang menjauh sedikit dari Anita."Iya, kamu jangan terus menyalahkan aku. Bukan aku yang menyuruh Jaya untuk melakukannya. Aku ini orang baik dan selalu mengajari Jaya hal yang baik seperti seoran
Dua orang memasang mata mereka di depan layar komputer Wira. Anita menepuk meja sambil menghela nafas panjang, belum bisa memecahkan kode yang dibuat Jaya."Kenapa ini sangat sulit?!" ucap Anita mengeluh."Iya, kau sendiri yang mengajari Jaya. Dulu, dia lebih nakal dari ini, sekarang masih bertambah. Ajari yang benar sebagai ibu angkat, kau bisa tidak mendapat gaji!" ucap Rafael mengancam Anita."Aku?!" Anita menunjuk dirinya sendiri."Iya, siapa lagi." jawab Rafael dengan suara meninggi. Wajah Jaya memerah, tidak suka mamanya di bentak. Jaya langsung menendang buaya darat Rafael membuat Rafael merintih kesakitan sambil memegang buayanya."Paman, berhenti memarahi mamaku. Aku bisa menghilangkan buaya mu nanti agar kau tidak bisa punya anak dan tidak bisa menikah!" balas Jaya mengejutkan Anita dan Wira."Jaya! Bersikap sopan!" sahut Wira menatap tajam anaknya."Sopan? Hei! Kau tidak memberi anakmu hukuman? Dia memukulku dan hampir merusak keturunanku!" teriak Rafael menunjuk Wira."Ka
"Ayah Lilis?!" Yuni kaget setengah mati, tubuhnya langsung membeku di tempatnya."Kalian tidak bercanda?!" Kini Anita maju dan memastikan ucapan Jaya."Jaya tidak mungkin bercanda, Ma. Orang itu sendiri mengaku jika dia, ayahnya lilis!" jelas Jaya.Pagi ini, kondisi di rumah Wira begitu ramai. Pasalnya, Jaya dan Lilis tidak ke sekolah karena hari libur membuat mereka banyak bermain di rumah. Namun, Jaya tiba-tiba menghampiri Anita yang sedang berbicara dengan Yuni dan memberitahu kejadian kemarin. Tentu saja, dua bersaudara itu syok setengah mati."Kenapa wajah kalian terkejut begitu? Apa dia bukan ayahnya Lilis?!" tanya Jaya memasang wajah polosnya."Jaya! Kemari sebentar!" panggil Wira yang baru bangun. Dia melambaikan tangan pada anaknya yang tidak jauh darinya."Ma, aku ke papa dulu. Setelah itu, Jaya akan kembali melapor, Oke?!" ucap Jaya dengan senyum manis sebelum berlari ke pelukan Wira.Setelah mereka berdua pergi, Yuni mulai memperlihatkan ketakutannya. Dia tidak menutupnya