Share

Bab 3: Ibu Sambung

Anita sibuk bermain dengan Jaya hingga tidak sadar, orang yang membuatnya kesal setelah melihatnya sudah datang. Alis Anita sempat tertaut ketika melihat orang menyebalkan itu tersenyum ke arahnya.

"Kau salah makan? Apa barusaja kau keracunan?" Tanya Anita sambil bangkit. Jaya yang berada di sampingnya ikut berdiri dengan senyum manisnya.

"Papa sudah tiba? Mama dan aku dari tadi menunggu disini." Adu Jaya dengan wajah riang.

"Aku sudah bilang, berhenti memanggilku dengan sebutan mama. Aku benar-benar bukan mama mu!" Teriak Anita sambil menekan perkataannya.

"Ah, mama tidak perlu malu-malu didepan papa. Jaya tahu kok, hati mama selalu merindukan papa." Ujar Jaya sambil menyenggol tubuh Anita. Mata Anita membulat, dia menunjuk dirinya sendiri. Tidak percaya dengan perkataan anak kecil yang barusaja ditolongnya.

"Aku? Merindukan orang menyebalkan ini? Apa tidak ada pria lain di dunia ini?" Sahut Anita sambil melipat kedua tangannya.

"Wah, wajah mama semakin manis. Sama waktu itu." Ucap Jaya yang tidak peduli dengan respon Anita.

Saat Jaya diperiksa, Anita terpaksa duduk berdampingan bersama orang yang dia benci. Anita terlanjut berjanji pada Jaya. Dia tidak mau, Jaya bersedih hanya karena dirinya.

"Ngomon-ngomon, kita belum berkenalan. Aku papanya Jaya, Wiratman Rarendra. Kau cukup memanggilku Wira saja." Ucap Wira memulai pembicaraan karena keadaannya benar-benar sunyi seperti pemakaman.

"Aku tidak butuh namamu. Aku akan pergi setelah Jaya selesai diperiksa." Ujar Anita yang tidak menoleh sama sekali.

"Benar-benar cuek, kau seperti membenci pria tampan. Padahal, aku masih belum punya calon meski sudah banyak yang mengantri." Jelas Wira dengan bangga menampilkan pesona dirinya didepan Anita.

"Aku yakin sekali, orang yang mengantri itu bukan orang normal." Sahut Anita yang semakin kesal melihat Wira memperlihatkan gaya cool yang menurut Anita ketinggalan zaman.

"Hei! Bagaimana jika kita membuat kontrak. Jaya sangat menyayangimu dan mengira kau adalah mamanya. Sejak kecil, dia ditinggal mamanya dan tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu sampai sekarang. Bolehkah kau menjadi ibu sambungnya?" Tanya Wira dengan tatapan penuh harapan.

"Aku tahu, aku tahu. Kau pasti tidak tertarik. Namun, aku bisa membayarmu senilai 20 juta dalam satu bulan. Anggap dirimu beruntung." Lanjut Wira ketika melihat wajah Anita tampak tidak tertarik.

"20 juta? Kau serius?" Mata perawan tua itu membulat. Dia mengeluarkan jari nya, mencoba menghitung dengan benar.

"Aku bisa beli rumah sendiri jika menabung selama lima bulan. Tidak ada lagi yang mengganggu hidupku." Ucap Anita dengan senyum seutas dibibirnya.

"Aku bisa tambahkan jika kau masih tidak tertarik." Ungkap Wira dengan santai. Uang bukan masalah baginya. Duda kaya itu  punya segalanya hingga tidak tahu harus melakukan apa dengan uang sebanyak itu. Meski punya banyak uang, tidak membuat anaknya, Jaya, bisa hidup tenang. Yang dibutuhkan Jaya ada pada Anita.

"Boleh ditambahkan? Ah, kau sangat baik. Aku terima pekerjaan ini. Kapan aku mulai bekerja sebagai  ibu sambung Jaya?" Tanya Anita yang bersemangat.

"Hari ini, sudah bisa. Tolong bantu aku mengurus Jaya hingga dia sembuh." 

"Tidak perlu buru-buru, aku tidak akan mengundurkan diri secepatnya. Kecuali uangku yang terkumpul sudah banyak." Ucap Anita dengan tertawa perlahan.

Satu jam berlalu, mereka akhirnya pulang ke rumah Jaya. Anita menggandeng tangan anak angkatnya dengan riang. Meski belum punya anak, tetapi dia cukup berpengalaman. Anita punya keponakan perempuan yang selalu dia jaga ketika kakaknya bekerja.

"Nah, Jaya harus makan obat dengan teratur. Nanti mommy selalu datang ke sini, bermain dengan Jaya. Bagaimana?" Bujuk Anita setelah selesai mengantar Jaya ke kamar.

"Mommy mau kemana? Kenapa tidak tinggal disini saja?" Ucap Jaya yang langsung memurungkan wajahnya.

"Ya ampun, wajah tampan anak mommy sudah hilang. Jangan murung anak tersayang, besok Mommy kesini pagi-pagi sekali." Ujar Anita yang memegang kedua pipi Jaya.

"Janji?" Ucap Jaya sambil mengulurkan sebelah tangannya.

"Pasti dong, mommy kan bukan orang munafik yang ingkar janji." Balas Anita yang berhasil membujuk Jaya. Wira terkejut melihat tingkah anaknya yang menurut begitu saja.

"Cukup keren, biasanya Jaya selalu marah-marah dan menangis. Aku bahkan tidak bisa membujuknya." Ucap Wira dengan suara perlahan sambil berdiri di pintu memantau keadaan.

Setelah bicara dengan Jaya dan membaringkan anak itu, Anita keluar dari kamar anak angkatnya. Dia menghampiri Wira yang berada diruang kerja.

"Berikan gajiku!" Titah Anita yang mengeluarkan tangannya.

"Kau belum bekerja selama satu bulan, kenapa meminta gaji?" Ucap Wira dengan heran.

"Hei, kau mau aku bekerja semaksimal mungkin? Berikan aku gaji lebih awal. Aku tidak punya uang untuk bolak balik ke rumahmu, menjaga anak tersayangmu." Jelas Anita yang memberi peringatan.

"Kau cukup pintar. Pantas Jaya menginginkanmu. Tetapi, kau belum punya keluarga kan?" Tanya Wira dengan tatapan serius.

"Apa? Apa suamimu tidak marah?" Ucap Wira yang terkejut.

"Aku punya keluarga, kakak, nenek, sepupu, keponakan, namun aku belum menikah. Jadi santai saja. Aku juga tidak akan menikah denganmu." Kata Anita berterus terang.

"Sangat jujur. Bagaimana kalau kau kepincut denganku nanti? Aku bisa tertawa lebar dihadapan keluargamu." Ucap Wira mulai menggoda.

"Maaf, aku berkata jujur. Biar dilihat seribu kali, aku sama sekali tidak terpesona denganmu. Rambutmu, kulitmu, semuanya normal. Tidak tampak spesial dimataku. Bagaimana yah, aku harus memberitahumu?" Ucap Anita yang memutar bola matanya karena malas.

"Dasar, perawan tua. Sudah cukup! Pulang ke rumahmu sana!" Teriak Wira yang emosi. Bisa-bisa dirinya diejek secara terang-terangan di depannya. Harga dirinya seolah diinjak-injak dengan mudah.

"Aku juga mau pulang walau kau tidak menyuruhku. Tolong ya, gajiku jangan lupa. Besok pagi aku ambil. Harus!" Ucap Anita yang memaksa sebelum pergi.

"Dia benar-benar!" Wira semakin kesal. Wajahnya berubah warna yang menandakan emosi dirinya sedang tidak stabil.

Saat sampai dirumah, Anita berjalan perlahan dan berhenti diruang tamu. Dia berpikir keras, seperti sedang melupakan sesuatu. "Apa yang aku lupa?" Tanya Anita yang mondar mandir didepan sofa.

Neneknya keluar saat itu dan terkejut melihat Anita datang seorang diri. "Dimana Lilis? Kenapa dia tidak bersamamu? Bukannya kau berjanji akan menjemputnya lalu membawanya jalan-jalan?" Tanya sang nenek yang berjalan mendekati Anita.

"Lilis? Oh, iya. Lilis kelupaan. Oh my god!" Ucap Anita yang memegang kepalanya spontan.

"Apa? Lilis kelupaan? Bagaimana bisa? Dasar bodoh! Sudah tua jadi seperti ini. Dimana keponakanmu berada sekarang? Ini sudah malam. Nenek pikir, dia bersamamu seharian bermain." Ucap nenek Anita sambil memukul tubuh Anita dengan perlahan.

"Maaf, Nek. Namanya juga sudah berumur." Bela Anita.

"Sudah tahu dirimu tua, masih belum mau menikah!" Teriak nenek Anita yang terus memukul Anita.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mommy Chand
ceritanya menarik, dan tata bahasanya juga bagus, semangat berkarya,
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status