Di ruang tamu, Nenek Anita menatap tiga orang di depannya dengan tatapan menusuk, termasuk Anita. Cucu yang selama ini dijaga baik malah pulang membawa anak.
"Berapa usiamu?" Tanya nenek Anita menunjuk Jaya.
"Sepuluh tahun," jawab Jaya singkat sambil mengibas senyum manisnya.
"Ayahmu?"
"Aku tidak punya ayah, hanya papa yang menjagaku selama ini."
"Umur papamu!" Teriak nenek Anita yang masih kesal dengan Anita. Amarahnya belum mereda.
"Papaku berumur sekitar empat puluh tahunan. Apa nenek mau bicara dengan papaku? Aku bisa menghubunginya," ujar Jaya menarik ponselnya dari saku celana.
"Tidak perlu, aku tidak tertarik. Papamu jauh lebih tua dari cucuku, bagaimana bisa.." Nenek Anita memegang kepalanya yang terasa nyut-nyut menyelesaikan masalah cucu kesayangannya. Dengan menghela nafas perlahan, nenek Anita berusaha menenangkan dirinya.
"Ayahmu rupanya sudah tua," sahut nenek Anita dengan suara ditekan. Hatinya tidak bisa menerima, cucunya yang masih lajang dekat dengan seorang duda meski dia kaya raya. Uang bukan segalanya bagi nenek Anita, justru banyak orang bercerai karena masalah uang. Itu yang dialami kakak Anita.
"Nenek juga sudah tua, rambut nenek bahkan memutih. Tidak baik mengatakan tua pada orang lain padahal nenek juga sudah tua," jelas Jaya yang berkata jujur di depan nenek Anita. Lilis dan Anita membulatkan matanya, baru pertama kali seseorang berkata seperti itu di depan penyihir penguasa dunia.
"Jaya! Kamu keren!" Teriak Lilis mengajukan jari jempolnya.
"Papaku mengajariku," balas Jaya yang melipat kedua tangannya dengan bangga.
"Apa? Aku tidak boleh berkata tua karena sudah tua juga?" Tanya nenek Anita dengan tatapan sinis pada cucu tersayangnya. Anita hanya pura-pura tidak melihat kode neneknya.
"Hei! Anita!" Teriak nenek Anita, tangan Anita menarik Lilis dan Jaya bersamaan dan membawa mereka kabur dari hadapan nenek Anita. Jika penyihir sudah marah, rumah pun menjadi tidak aman.
Malam harinya, Anita datang ke rumah Wira dan bertemu langsung dengan ayah Jaya. Mata Anita memerah melihat Jaya dengan santai menikmati waktu luangnya tanpa anaknya.
"Hebat! Kau sangat nyaman duduk di sofa sementara kepalaku terus berdering memikirkan nasibku dan Jaya di rumah nenekku. Apa kau tahu, nenekku tidak terima dan sangat marah." Ucap Anita dengan suara meninggi. Anita duduk di depan Wira dengan tangan melipat dan menatap Wira tajam.
"Dimana Jaya? Kau meninggalkannya sendiri? Apa seperti itu pekerjaan ibu sambung? Jangan sampai anakku terluka atau kau akan aku masukkan ke penjara!" Ancaman Wira yang menunjuk Anita.
"Itu lebih baik daripada harus berada di rumah nenekku. Bagaimana jika kita memperbaruhi kontraknya, tidak ada syarat jika Jaya harus tinggal denganku. Itu diluar prediksiku!" Ungkap Anita marah-marah.
Wira tidak terpengaruh, tangannya menarik amplok berwarna kecoklatan dari laci meja membuat mata Anita membulat. Amplok itu terlihat mengembang menandakan rezeki yang banyak ada di dalamnya.
"Kau datang mengambil uangmu kan?" Tanya Wira dengan seutas senyum tipis di bibirnya.
"Benar sekali, berikan padaku sekarang," ujar Anita yang menarik amplok itu, sayang Wira memindahkannya dengan cepat.
"Aku punya syarat tertentu padamu, aku beri tambahan yang banyak disini. Aku ingin kau ikut denganku ke pesta pernikahan temanku besok dan berdanda cantik agar semua orang mengira kamu istriku, bagaimana?" Tanya Wira.
"Pura-pura jadi istrimu? Otakmu geser sedikit atau penyakit gilamu kambuh? Kau sudah minum obat kan?" Tanya Anita yang menahan amarahnya. Kali ini, permainan gila apa lagi yang direncanakan Wira.
"Kalau tidak mau, tidak apa. Aku buang saja uangnya," ujar Wira mengancam.
"Baiklah, aku terpaksa menuruti keinginan terakhirmu. Berikan cepat padaku, Jaya menunggu di rumah." Kata Anita menarik amplok itu dengan wajah senang. Uang selalu membuat mata Anita bersinar.
"Jam tujuh pagi, setelah mengantar Jaya ke sekolah langsung ke sini. Biar aku dandan dirimu dengan cantik, jangan membuat aku malu. Aku seorang duda dan kaya raya, banyak wanita cantik mengantri tetapi aku memilihmu karena matamu selalu bersinar ketika melihat uang. Kau pasti akan melakukan apapun demi uang." Jelas Wira tersenyum kecut.
"Bye!" Ucap Anita yang tidak peduli dengan perkataan Wira. Anita berbalik bermaksud pergi, namun kakinya tergelincir hingga tubuhnya jatuh kepelukan Wira. Pandangan mereka bertemu berapa detik.
"Kau mulai mendekati diriku? Sudah sadar jika aku ini masih tampan walau punya seorang anak?" Tanya Wira yang penuh percaya diri.
"Apaan? Jangan menyentuhku, aku belum pernah bersentuhan dengan lelaki!" Teriak Anita yang masih berada dipelukan Wira.
Tangan Wira ditarik hingga tubuh mungil dan seksi itu terjatuh ke lantai. Wira malah tertawa menatap wajah Anita yang merintih kesakitan.
"Kau yang menyuruhku kan, jangan marah." Ujar Wira sambil mengedipkan matanya.
"Sial! Dasar duda tua mesum!" Ejek Anita sebelum pergi.
Ditengah perjalanan, Anita mendapat telepon dari sahabatnya. Dia diberitahu jika orang yang disukai Anita selama ini, sudah kembali dari luar negeri. Anita pun kembali happy mendengarnya. Segera membanting stir dan turun dari mobil sambil berteriak, "Aku setia menunggumu, Al!" Teriak Anita.
Keesokan harinya, Anita selesai mengantar Jaya dan Lilis ke sekolah. Dia langsung menuju rumah Wira. Disana, Anita disambut sepuluh orang pelayan. Banyak gaun cantik tersusun dikamar Wira. Anita kebingungan dirinya dimanjakan mulai diberi lulur hingga dipijat.
"Hidup memang indah," ucap Anita yang kagum dengan perlakukan Wira.
Satu jam berlalu, Anita turun dengan dres berwarna hitam, berbunga merah dan putih, rambut diberi poni seperti kuda, penampilan Anita berubah seratus persen. Anita bahkan sempat terkejut melihat dirinya ketika bercermin.
Wira sibuk menelpon, wajahnya tampak kesal. Tangannya terkepal mendapat pengakuan dari asistennya. Namun ketika berbalik dan melihat seseorang turun dari tangga, telepon Wira terjatuh. Mulutnya terbuka, matanya membulat, dia berjalan perlahan mendekati Anita.
"Ka- kau-"
"Apa? Aku sangat cantik? Itu benar, pesona seorang gadis lajang tidak akan kalah dari janda dimana pun. Termasuk Anita yang masih perawan meski sudah tua," ujar Anita membanggakan dirinya.
"Lajang? Itu bukan ikan?" Ucap Wira yang langsung mengubah eskpresi wajahnya yang sudah bisa ditebak. Wira memaksakan tawanya agar Anita tidak terlalu percaya diri. Harga diri Wira dipertarukan disini.
"Sial! Ponselku rusak!" Ujar Wira yang memungut ponselnya.
"Hei! Ayo cepat kita pergi, aku juga ada acara setelah ini."
"Acara apa? Lamaran?"
"Bukan, hanya acara keluarga yang tidak penting. Sepupuku, kakakku, para tante julid akan datang berkumpul di rumah nenek. Mereka pasti sibuk membicarkan diriku jika aku tidak datang cepat. Mulut mereka tidak baik sama sekali, kata-kata yang keluar selalu menyinggung aku dan kakakku. Aku harus datang demi membela diri, aku tidak mau diam dihina sama seperti kakakku." Jelas Anita yang memurungkan wajahnya. Mengingat perkataan sepupunya di tahun lalu membuat Anita semakin kesal. Sakit hatinya belum sembuh sampai hari ini.
"Akan aku temani, aku mau lihat seberapa hebat mereka hingga menghina ibu sambung anakku," kata Wira seketika yang membulatkan mata Anita. Terlebih senyum Wira yang menyimpang sejuta makna.
"Apa aku bermimpi? Duda tua ini mau membantuku?"
Satu keluarga besar berkumpul di rumah nenek Anita. Kakak Anita, Yuni ikut pulang menemui sepupu dan bibinya. Mereka memang selalu membuat acara berkumpul setelah tiga bulan."Bu, cucu tersayang ibu belum juga nikah? Apa takut menikah karena akan seperti kakaknya?" sahut Umi, menantu kedua nenek Rani yang angkuh dan sombong. Suaminya bekerja sebagai asisten kantor hingga mendapat gaji yang tinggi membuat harga dirinya juga tinggi."Apa maksud kamu? Kalau punya mulut dijaga dengan baik!" titah Nenek Anita melirik dengan tatapan sinis. Selalu saja berkata seperti itu ketika datang ke rumah mertuanya."Kau harus punya sopan santun ketika bertemu mertua. Bukan karena Anita trauma dengan kerusakan rumah tangga kakaknya, tetapi dia tidak laku. Tidak ada lelaki yang minat dengannya." ejek Sulis, bibi Anita yang selalu membanggakan dirinya."lihat anakku, dia sudah cantik, punya suami polisi lagi. Aduh, kalau dibandingkan dengan Anita, mana bisa mengalahkan anakku?" ucap Sulis menunjuk anakny
Setelah membawa Jaya ke rumah Wira untuk sementara, kini Anita dihakimi sepupu dan bibinya ketika kembali. Mereka dengan sengaja menunggu Anita di depan ruang tamu dan langsung menyinggung Anita terang-terangan."Ya ampun, sudah lelah cari uang, sudah lelah merepotkan keluarga, kini bermimpi jadi isteri sang dudu yang kaya. Kalau aku, jelas tidak mau beda usia kan mereka?!" tanya Anjar, sepupu Anita yang paling cerewet."Itu bukan cinta yang tumbuh, mata yang bersinar ketika melihat uang. Dari dulu, Anita itu mirip banget sama kakaknya. Mau juga berhubungan dengan orang lebih tua darinya, setelah diceraikan nanti, baru sadar diri!" tambah Umi yang sengaja mengeraskan suaranya.Anita membanting pintu, lalu masuk dengan tatapan tajam mengarah pada semua orang yang duduk di sofa. Tangan Anita pun terlipat di depan dada dengan angkuh."Lagi nggak ada pekerjaan, emak-emak?" tanya Anita menaikkan kakinya di atas meja membuat para bibinya terkejut."Kamu selalu kurang ajar, tidak punya sopan
Pagi sekali, Lilis selesai bersiap dengan pakaian olahraga. Dia ingin ikut dengan Anita dan Yuni yang akan pergi ke pusat olahraga. Hari ini, Anita libur bekerja. Anita hanya mengirim pesan pada Wira jika dirinya akan sibuk hari ini."Tante! Jaya ikut nggak?" tanya Lilis sambil berbisik. Lilis tahu, neneknya tidak suka jika nama Jaya di ucap."Nggak, nenek bisa jantungan nanti kalau kau terus membahas Jaya. Sudah, biarkan saja Jaya menghabiskan waktu bersama papa nya!" jawab Anita yang mengambil air minum di kulkas.Wajah Lilis langsung murung, kepalanya menunduk membuat Yuni heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa sayang?" tanya Yuni sambil berjongkok menyetarakan tinggi tubuh Lilis. Wajah sedih anaknya semakin terlihat jelas."Anak tante nggak ikut kita olahraga, nanti Lilis main sama siapa disana?" ucap Lilis membuat Yuni tercengang."Lilis tahu nggak? nenek tidak suka jika kita bahas Jaya. Kemarin saja, Anita ketahuan habis dari rumah Jaya, hari ini dilarang keluar. Andai bukan
Air mata Anita tidak hentinya mengalir, hatinya semakin sakit di usir oleh neneknya. Bahkan Anita belum menjelaskan pun, Neneknya sudah masuk dan mengunci pintu. Yuni masih setia menemani adiknya di depan rumah nenek Anita."Aku akan bicara dengan nenek, kamu tetap disini. Aku yakin, nenek hanya kesal saja!" ucap Yuni yang berniat masuk ke dalam rumah, namun tangannya di tahan oleh Anita."Nggak apa-apa, Kak. Lebih baik kakak tidak perlu ikut campur atau kakak juga bisa di usir. Apalagi, si setan masih ada di dalam rumah. Mereka pasti akan memanas-manasi nenek lagi." ujar Anita yang mengusap air matanya."Lalu, kau sekarang mau kemana?" tanya Yuni."Aku tidak punya tempat lain selain tinggal dengan Jaya." jawab Anita. Mata Yuni membulat, setelah adiknya di usir, Anita semakin menjadi-jadi."Kalau nenek tahu, dia akan semakin marah. Dia melarang kami berhubungan dengan keluarga Jaya!" teriak Yuni tidak percaya dengan pengakuan Anita. Tetapi Anita malah tersenyum."Aku akan buktikan, ap
Malam hari yang panjang, semuanya tampan berbeda bagi Wira. Pemandangan lain yang belum pernah terjadi, malah dilihatnya malam ini. Senyum Jaya tidak hentinya bersinar ketika bermain dengan Lilis dan Anita. Wira diam-diam memperhatikan mereka dari kamera cctv yang dia pasang di kamar Jaya."Mereka tampak seperti keluarga!" ucap Wira tersenyum sambil fokus memperhatikan laptopnya dimana wajah Anita dan Jaya tidak hentinya membuat matanya takjub."Lilis senang punya sepupu kaya Jaya. Lilis juga mau, Jaya selalu jadi anak aunty!" ucap Lilis yang melompat di kasur super king Jaya."Tentu saja, aku sudah bilang diriku ini akan selalu menjadi anak mama, benarkan Ma?" tanya Jaya menoleh ke arah Anita. Tatapan dua anak itu terlihat polos membuat Anita terpaksa menyetujuinya."Jadi, kapan aunty ku punya hubungan dengan papa tua itu? Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya selama ini?" tanya Lilis dengan mulut ceplosnya."Sebelum aku lahir tentu saja, karena itu aku jadi lahir kan? kalau tid
Anita panik sambil mengawasi Jaya dan Wira yang terbaring di depannya. Ayah dan anak itu masih belum sadar, wajahnya pucat pasi membuat Anita tambah khawatir. Tidak berselang lama, dokter pribadi keluarga Wira datang ke kediaman Wira tengah malam dibantu asisten Wira. Anita pun di usir dari kamar Wira bersama Lilis."Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Anita menatap lekat asisten Wira yang berdiri di depan pintu kamar. Wajah yang tampak menyeramkan dan tubuh gagah itu menatap tajam ke arah Anita sambil melirik Lilis yang berada di pelukan Anita."Aku tidak bisa membicarakan masalah pribadi pak Wira kepada sembarang orang, yang jelas pak Wira dan Jaya sering mengalami hal seperti ini. Itu semua karena kenangan buruk yang belum hilang dari ingatan mereka!" ujar asisten Wira yang bernama Rafael. Anita bahkan tidak tahu, Rafael bukan sembarang asisten, Rafael juga termasuk sepupu Wira."Kau serius, Paman? Apa Jaya pernah mengalami kecelakaan sejak kecil membuatnya trauma?"
"Sayang, kau sudah membaik. Bolehkan mama pergi sebentar menjenguk keluarga mama?" tanya Anita meminta izin pada Jaya. Namun wajah ceria Jaya langsung menghilang dan dengan cepat melipat kedua tangannya sambil menggeleng kepalanya."Oh, No. Kenapa lagi anak tersayang mama?" tanya Anita sambil membungkukkan tubuhnya menyetarakan tinggi badan Jaya."Mama nggak akan pergi selama-lamanya kan? Jaya takut banget jika Jaya tidak bisa melihat mama lagi!" ujar Jaya dengan mata sendu.Wira yang baru turun, termenung sebentar melihat anaknya yang begitu sedih padahal Anita hanya ingin pergi sebentar saja."Ya ampun, lebay banget. Kamu itu harus kuat, anak lelaki kan?" sahut Lilis yang jenuh melihat akting dua orang di depannya."Ma, Jaya benar nggak kuat ditinggali mama. Jaya boleh ikut?" tanya Jaya sambil memohon."Jangan gitu dong, kamu aja ke sekolah nggak kenapa mau ikut-ikut? Lebih baik istirahat sana biar cepat sembuh!" ujar Lilis."Nah, anak mama harus dengar apa kata aunty Lilis. Cepat s
"Darimana saja kau?" tanya Wira dengan membentak Anita. "Kau marah?" balas Anita dengan mata tidak percaya. Dia berusaha pulang ke rumah Wira dengan kondisi tubuh yang tidak baik. Anita rupanya di kurung dengan sengaja oleh neneknya agar dirinya tidak kembali ke rumah Wira."Ini semua salahmu, kencan ku malam ini gagal total. Apa kau tahu, Jaya membuat masalah!" ucap Wira sambil menunjuk Anita dengan wajah penuh amarah."Jadi, aku yang disalahkan? Apa kau tahu, aku menahan sakit sampai ke rumah ini!" ujar Anita tidak kalah keras. Suara perdebatan mereka membuat Jaya terbangun."Cukup, aku tidak kuat lagi. Jika bukan karena Jaya, aku mungkin sudah menyerang datang ke sini!" ucap Anita meneteskan air matanya. Hatinya seolah terkikis habis perlahan demi perlahan."Mama! Papa! Kalian kenapa..." Jaya berniat mencegah Anita dan Wira berdebat, tanpa hati-hati membuat kakinya terpeleset hingga berguling-guling di tangga. Saat Anita berbalik, dia terkejut melihat Jaya yang jatuh dari tangga.