Share

Bab 5: Terpesona

Di ruang tamu, Nenek Anita menatap tiga orang di depannya dengan tatapan menusuk, termasuk Anita. Cucu yang selama ini dijaga baik malah pulang membawa anak.

"Berapa usiamu?" Tanya nenek Anita menunjuk Jaya.

"Sepuluh tahun," jawab Jaya singkat sambil mengibas senyum manisnya.

"Ayahmu?"

"Aku tidak punya ayah, hanya papa yang menjagaku selama ini." 

"Umur papamu!" Teriak nenek Anita yang masih kesal dengan Anita. Amarahnya belum mereda.

"Papaku berumur sekitar empat puluh tahunan. Apa nenek mau bicara dengan papaku? Aku bisa menghubunginya," ujar Jaya menarik ponselnya dari saku celana.

"Tidak perlu, aku tidak tertarik. Papamu jauh lebih tua dari cucuku, bagaimana bisa.." Nenek Anita memegang kepalanya yang terasa nyut-nyut menyelesaikan masalah cucu kesayangannya. Dengan menghela nafas perlahan, nenek Anita berusaha menenangkan dirinya.

"Ayahmu rupanya sudah tua," sahut nenek Anita dengan suara ditekan. Hatinya tidak bisa menerima, cucunya yang masih lajang dekat dengan seorang duda meski dia kaya raya. Uang bukan segalanya bagi nenek Anita, justru banyak orang bercerai karena masalah uang. Itu yang dialami kakak Anita.

"Nenek juga sudah tua, rambut nenek bahkan memutih. Tidak baik mengatakan tua pada orang lain padahal nenek juga sudah tua," jelas Jaya yang berkata jujur di depan nenek Anita. Lilis dan Anita membulatkan matanya, baru pertama kali seseorang berkata seperti itu di depan penyihir penguasa dunia.

"Jaya! Kamu keren!" Teriak Lilis mengajukan jari jempolnya.

"Papaku mengajariku," balas Jaya yang melipat kedua tangannya dengan bangga.

"Apa? Aku tidak boleh berkata tua karena sudah tua juga?" Tanya nenek Anita dengan tatapan sinis pada cucu tersayangnya. Anita hanya pura-pura tidak melihat kode neneknya.

"Hei! Anita!" Teriak nenek Anita, tangan Anita menarik Lilis dan Jaya bersamaan dan membawa mereka kabur dari hadapan nenek Anita. Jika penyihir sudah marah, rumah pun menjadi tidak aman.

Malam harinya, Anita datang ke rumah Wira dan bertemu langsung dengan ayah Jaya. Mata Anita memerah melihat Jaya dengan santai menikmati waktu luangnya tanpa anaknya.

"Hebat! Kau sangat nyaman duduk di sofa sementara kepalaku terus berdering memikirkan nasibku dan Jaya di rumah nenekku. Apa kau tahu, nenekku tidak terima dan sangat marah." Ucap Anita dengan suara meninggi. Anita duduk di depan Wira dengan tangan melipat dan menatap Wira tajam.

"Dimana Jaya? Kau meninggalkannya sendiri? Apa seperti itu pekerjaan ibu sambung? Jangan sampai anakku terluka atau kau akan aku masukkan ke penjara!" Ancaman Wira yang menunjuk Anita.

"Itu lebih baik daripada harus berada di rumah nenekku. Bagaimana jika kita memperbaruhi kontraknya, tidak ada syarat jika Jaya harus tinggal denganku. Itu diluar prediksiku!" Ungkap Anita marah-marah.

Wira tidak terpengaruh, tangannya menarik amplok berwarna kecoklatan dari laci meja membuat mata Anita membulat. Amplok itu terlihat mengembang menandakan rezeki yang banyak ada di dalamnya.

"Kau datang mengambil uangmu kan?" Tanya Wira dengan seutas senyum tipis di bibirnya.

"Benar sekali, berikan padaku sekarang," ujar Anita yang menarik amplok itu, sayang Wira memindahkannya dengan cepat.

"Aku punya syarat tertentu padamu, aku beri tambahan yang banyak disini. Aku ingin kau ikut denganku ke pesta pernikahan temanku besok dan berdanda cantik agar semua orang mengira kamu istriku, bagaimana?" Tanya Wira.

"Pura-pura jadi istrimu? Otakmu geser sedikit atau penyakit gilamu kambuh? Kau sudah minum obat kan?" Tanya Anita yang menahan amarahnya. Kali ini, permainan gila apa lagi yang direncanakan Wira.

"Kalau tidak mau, tidak apa. Aku buang saja uangnya," ujar Wira mengancam.

"Baiklah, aku terpaksa menuruti keinginan terakhirmu. Berikan cepat padaku, Jaya menunggu di rumah." Kata Anita menarik amplok itu dengan wajah senang. Uang selalu membuat mata Anita bersinar.

"Jam tujuh pagi, setelah mengantar Jaya ke sekolah langsung ke sini. Biar aku dandan dirimu dengan cantik, jangan membuat aku malu. Aku seorang duda dan kaya raya, banyak wanita cantik mengantri tetapi aku memilihmu karena matamu selalu bersinar ketika melihat uang. Kau pasti akan melakukan apapun demi uang." Jelas Wira tersenyum kecut.

"Bye!" Ucap Anita yang tidak peduli dengan perkataan Wira. Anita berbalik bermaksud pergi, namun kakinya tergelincir hingga tubuhnya jatuh kepelukan Wira. Pandangan mereka bertemu berapa detik.

"Kau mulai mendekati diriku? Sudah sadar jika aku ini masih tampan walau punya seorang anak?" Tanya Wira yang penuh percaya diri.

"Apaan? Jangan menyentuhku, aku belum pernah bersentuhan dengan lelaki!" Teriak Anita yang masih berada dipelukan Wira. 

Tangan Wira ditarik hingga tubuh mungil dan seksi itu terjatuh ke lantai. Wira malah tertawa menatap wajah Anita yang merintih kesakitan.

"Kau yang menyuruhku kan, jangan marah." Ujar Wira sambil mengedipkan matanya.

"Sial! Dasar duda tua mesum!" Ejek Anita sebelum pergi.

Ditengah perjalanan, Anita mendapat telepon dari sahabatnya. Dia diberitahu jika orang yang disukai Anita selama ini, sudah kembali dari luar negeri. Anita pun kembali happy mendengarnya. Segera membanting stir dan turun dari mobil sambil berteriak, "Aku setia menunggumu, Al!" Teriak Anita.

Keesokan harinya, Anita selesai mengantar Jaya dan Lilis ke sekolah. Dia langsung menuju rumah Wira. Disana, Anita disambut sepuluh orang pelayan. Banyak gaun cantik tersusun dikamar Wira. Anita kebingungan dirinya dimanjakan mulai diberi lulur hingga dipijat.

"Hidup memang indah," ucap Anita yang kagum dengan perlakukan Wira.

Satu jam berlalu, Anita turun dengan dres berwarna hitam, berbunga merah dan putih, rambut diberi poni seperti kuda, penampilan Anita berubah seratus persen. Anita bahkan sempat terkejut  melihat dirinya ketika bercermin.

Wira sibuk menelpon, wajahnya tampak kesal. Tangannya terkepal mendapat pengakuan dari asistennya. Namun ketika berbalik dan melihat seseorang turun dari tangga, telepon Wira terjatuh. Mulutnya terbuka, matanya membulat, dia berjalan perlahan mendekati Anita.

"Ka- kau-"

"Apa? Aku sangat cantik? Itu benar, pesona seorang gadis lajang tidak akan kalah dari janda dimana pun. Termasuk Anita yang masih perawan meski sudah tua," ujar Anita membanggakan dirinya.

"Lajang? Itu bukan ikan?" Ucap Wira yang langsung mengubah eskpresi wajahnya yang sudah bisa ditebak. Wira memaksakan tawanya agar Anita tidak terlalu percaya diri. Harga diri Wira dipertarukan disini.

"Sial! Ponselku rusak!" Ujar Wira yang memungut ponselnya.

"Hei! Ayo cepat kita pergi, aku juga ada acara setelah ini."

"Acara apa? Lamaran?"

"Bukan, hanya acara keluarga yang tidak penting. Sepupuku, kakakku, para tante julid akan datang berkumpul di rumah nenek. Mereka pasti sibuk membicarkan diriku jika aku tidak datang cepat. Mulut mereka tidak baik sama sekali, kata-kata yang keluar selalu menyinggung aku dan kakakku. Aku harus datang demi membela diri, aku tidak mau diam dihina sama seperti kakakku." Jelas Anita yang memurungkan wajahnya. Mengingat perkataan sepupunya di tahun lalu membuat Anita semakin kesal. Sakit hatinya belum sembuh sampai hari ini. 

"Akan aku temani, aku mau lihat seberapa hebat mereka hingga menghina ibu sambung anakku," kata Wira seketika yang membulatkan mata Anita. Terlebih senyum Wira yang menyimpang sejuta makna.

"Apa aku bermimpi? Duda tua ini mau membantuku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status