“Vi?”Menjelang tengah hari, Shara tiba di rumah dan mendapati adiknya ketiduran di kamar utama.“Ya ampun, habis ini Mas Rio kan pulang, dia malah masih tidur.”Shara meletakkan tasnya di atas meja, lalu membangunkan Slavia yang masih terpejam.“Eh, sudah pulang Kak?” Slavia terbangun dengan kaget, padahal Shara merasa tidak berteriak kepada adiknya. “Mas Rio mana?”“Aku nggak bareng Rio, mungkin dia pulang sebentar lagi. Jangan lupa kamu layani dia ya, siapkan makan siangnya ....”“Lho, bukan Kakak saja yang siapkan?” Slavia langsung membulatkan matanya, dia tentu tidak berani selancang itu dekat-dekat Rio tanpa komando.“Sudah kamu saja, nggak apa-apa.” Shara menggeleng.“Tapi aku jadi nggak enak sama Kakak, aku sama Kak Rio khusus buat mewujudkan target saja ...” ucap Slavia pelan. “Jadi biar waktu kalian berdua nggak akan berkurang banyak.”Shara menatap Slavia selama beberapa detik, kemudian memeluk sang adik dengan penuh haru.“Terima kasih kamu sudah banyak mengerti, Vi.”“Sud
Slavia melepas tangan Rio kemudian berdiri dari duduknya untuk membuat kopi di dapur.Rio cukup terkesan dengan situasi sekarang ini, Slavia terlihat sudah menerima pernikahan mereka dengan lebih lapang sementara Shara juga jarang bersikap labil seperti sebelumnya.Satu minggu berlalu, Shara dengan antusias meminta Slavia untuk menggunakan testpack di suatu pagi.“Ini tinggal dicelupkan saja, Kak?” seru Slavia dari balik pintu kamar mandi sementara Rio masih tertidur di kamar tamu karena semalam adalah gilirannya bermalam dengan Shara.“Iya, pastikan yang kamu cek adalah air seni pertama kamu!” balas Shara yang berdiri menunggu dengan tidak sabar. “Habis itu kamu diamkan saja selama beberapa detik.”“Oke!” Slavia melakukan seluruh instruksi yang diberikan Shara dengan baik, setelah itu dia keluar untuk menunjukkan hasilnya kepada sang kakak.“Berapa garis, Vi?” tanya Shara antusias.“Ini ... satu terang banget, Kak.”“Yakin cuma satu? Sini aku lihat!”Slavia menyerahkan testpack itu k
“Malam ini giliranku menemani Via,” pamit Rio sambil menatap Shara dalam-dalam.“Nggak apa-apa, Mas. Dia kan sedang hamil anak kamu,” angguk Shara lapang dada.Rio mengecup kening Shara, setelah itu berlalu pergi ke kamar utama.“Gimana kandungan kamu, Vi?” tanya Rio setibanya di kamar dan mendapati istri keduanya sedang membelai perut buncitnya.“Bayinya mulai gerak-gerak Kak, bikin kaget!” jawab Slavia antusias.“Masa? Boleh aku pegang sebentar?”“Boleh, kamu kan ayahnya, Kak!”Rio tersenyum tipis dan mengusap perut Slavia sedang mengandung anaknya. “Semoga kamu dan bayi ini lahir sehat ....”“Amin!”Rio mengecup singkat perut Slavia dengan penuh perhatian, membuat adik iparnya sempat tertegun selama beberapa saat.Ada perasaan hangat di hati Slavia saat dia diperlakukan sedemikian rupa oleh kakak iparnya.Dari balik pintu kamar utama yang terbuka, Shara berdiri dan tertegun menyaksikan bentuk perhatian kecil yang diberikan suaminya kepada Slavia.Beberapa bulan kemudian ....“Kak,
Ekspresi wajah Shara mendadak berubah serius.“Nanti jangan biarkan Via lama-lama pegang bayinya, Mas.”“Kok begitu?”“Soalnya kalau Via terlalu lama pegang bayi itu, nanti mereka berdua akan jadi sulit pisahnya.” Shara menjelaskan. “Bayi itu kan nantinya aku yang rawat, jadi aku nggak mau dia kenal ibu lain kecuali aku.”“Iya, aku paham. Tapi jangan buru-buru juga, paling tidak biarkan Via lihat wajah bayinya seperti apa.” Rio membujuk. “Kalau langsung dipisahkan, itu terlalu kejam ....”“Kamu lupa sama kesepakatan kita, Mas?” potong Shara dengan suara yang mulai meninggi.Rio tidak menjawab, tepat saat itu ayah dan ibu mertuanya ikut bergabung dengan mereka dan mulai bertanya-tanya soal Slavia yang sedang bersih-bersih.“Cucu kita sudah lahir! Di mana dia?” Orang tua Rio juga tidak kalah antusias.“Masih dibersihkan, nanti juga diantar ke ruang bayi.” Rio menjelaskan. “Itu Via!”Dari sisi yang berlawanan, Slavia muncul dengan kursi roda yang didorong oleh seorang suster.Orang tua S
“Kasih gendong sebentar saja kenapa sih?” tukas Rio yang merasa kasihan kepada Slavia.“Nggak bisa, Mas—bahaya! Kamu mau kalau nantinya anak ini nggak bisa pisah dari ibu kandungnya?”Rio diam, lebih-lebih Slavia. Semakin ditentang, maka Shara akan semakin keras kepala. Apalagi mereka masih berada di dalam lift rumah sakit, tidak enak jika perdebatan mereka sampai menyedot perhatian orang.“Ini kartu ATM yang sudah aku siapkan buat kamu, isinya tiga puluh jutaan lebih. Gunakan uang itu untuk modal usaha atau tempat tinggal, terserah kamu.”Slavia terbelalak ketika Shara memberikan sebuah amplop yang tidak terlalu besar kepadanya.“Aku harus pergi sekarang, Kak?” tanya Slavia takut-takut.“Ya iyalah, kamu bisa ke rumah ibu dulu untuk sementara. Tentu saja nggak bisa lama-lama, aku mau kamu pergi sejauh mungkin dari kami supaya nggak ada kesempatan sedikit pun untuk kamu bisa bertemu sama anak itu.”“Tapi, Kak ....”“Kamu jangan lupa sama perjanjian yang sudah kita sepakati ya, Vi?” pot
“Aku juga nggak tahu, aduh! Sayang, diam dong!” Shara menimang-nimang bayi itu, berusaha menidurkannya meski suara tangisan si kecil terasa menampar-nampar telinganya.Ketika akhirnya anak itu diam Shara lantas menaruhnya ke dalam boks bayi dengan sangat hati-hati.“Kapok?” Rio memandang Shara yang rambutnya awut-awutan.“Enggak sih, cuma kaget karena belum terbiasa saja.” Shara menggeleng dengan wajah lelah. “Tidur yuk, besok kamu harus masuk kerja.”Rio yang jam tidurnya ikut terkendala, tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa terlelap kembali.Beberapa jam setelah itu ....Oek! Oek!Shara menggeliat di balik selimutnya ketika bayi di dalam boks menangis lagi.Keesokan paginya, orang tua Shara datang berkunjung dan menjadi saksi bagaimana meriahnya rumah tangga sang anak sejak kehadiran bayi di tengah-tengah mereka.“Shara, sini gantian ibu yang gendong!”“Kamu urus Rio dulu, kalian berdua terlambat bangun?”Shara mengangguk saja sementara Rio agak malu mengakuinya.“Bayinya sedikit
“Nggak boleh ya?” tebak Slavia atas kebisuan Rio. “Kamu pasti takut sama Kak Shara, ya sudahlah ... Aku pamit kalau begitu.”Rasa bersalah Rio semakin besar ketika Slavia meraih dan mencium punggung tangannya.“Kamu bisa ceraikan aku sekarang, Kak.”Rio berdiri mematung, dia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Ditariknya Slavia dalam pelukan erat, mencoba memberikan dukungan sebagai mana yang sering dia lakukan terhadap Shara jika sedang bersedih.Bukankah Slavia juga istrinya?“Cepat Kak, kamu ceraikan aku sekarang dan hiduplah bahagia sama Kak Shara ... Tolong jaga anak kita baik-baik,” pinta Slavia dengan air mata berderai.Rio ikut merasakan pedih ketika tubuh rapuh Slavia bergetar hebat dalam pelukannya.“Tunggu sebentar,” kata Rio sambil melepaskan Slavia, setelah itu dia berbalik pergi meninggalkan istri keduanya.Slavia cepat-cepat menghapus kedua matanya yang banjir air mata, dia harus siap menerima takdir ini. Perjanjian sudah disepakati, dan kini tiba saatnya bagi Slav
“Apa aku harus menceraikan Via di hadapan kamu?”Shara menarik napas.“Nggak begitu, Mas. Aku cuma khawatir kamu belum menceraikan Via, ingat kalau pernikahan kalian seharusnya nggak boleh terjadi ....”“Terus kenapa kamu dulu maksa aku untuk tetap menikahi adik ipar aku sendiri?” potong Rio curiga.Shara mendadak diam dan menghindari tatapan suaminya. “Itu karena aku butuh anak, yang penting kan sekarang kamu sama dia sudah cerai—itu saja.”Rio menghela napas, tapi dia tidak ingin meneruskan pembicaraan tentang Slavia lebih jauh lagi.Seolah mendukung situasi, suara tangis bayi tiba-tiba terdengar.“Nico nangis!” seru Rio sambil menatap Shara.“Ya ampun, baru juga duduk sebentar ...” keluh Shara dengan wajah tertekan. “Capek banget aku ....”Rio mengernyit heran ketika Shara terpaksa berdiri dengan ekspresi ogah-ogahan.“Nic, kamu tidur dong ... ini sudah jam tidur kamu ...” ucap Shara mengantuk sambil menimang-nimang bayi Slavia yang diberi nama Nico. “Mama capek, mau tidur lebih aw