Aku semakin emosi melihat ulah suamiku yang tidak biasanya.
"Katakan ada apa denganmu hari ini Azhar?" teriakku dengan emosi.
"Bukankah aku sudah katakan padamu jangan menggangguku?" jawab Azhar tak kalah nyaringnya.
Aku terbelalak, biasanya Azhar tak akan membalasku seperti ini. Ini pasti karena wanita itu.
"Apa karena pelayan itu membuatmu bersikap padaku seperti ini hah?"
"Pelayan siapa yang kau maksud, apa karena kau anak orang kaya sehingga menganggap semua orang itu rendahan dimatamu?" bentak Azhar tak kalah garangnya.
Aku melotot, apakah aku tak salah dengar ? Suamiku yang begitu penurutnya sekarang bagaikan seekor singa yang keluar dari hutan rimba. Aku seakan tersadar, bukankah sekarang dia adalah pemilik perusahaan Citra Karya ?
"Ooh jadi dia rupanya yang membuatmu begini, camkan dengan baik di dalam hatimu Azhar. Tak akan kubiarkan seorangpun berhasil merebutmu dariku, tidak akan. Titik !"
"Siapa yang merebut siapa ? Apa kau sadar jika selama ini kau bertindak seolah-olah kaulah penguasa di rumah ini dan aku cecunguk ? Apa kau sadar jika selama ini aku diam saja melihat ulahmu yang mengintimidasi semua karyawan wanita cantik yang dekat denganku ? Kau pikir aku ini barang dagangan ? Kau pikir aku pelayanmu ? Jika kau menganggap diriku adalah suamimu maka buang jauh-jauh semua perilaku burukmu ! " Azhar membaringkan tubuh lelahnya di kasur. Dia lalu memeluk bantal guling dan membelakangiku.
Aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya, suami yang menuruti semua kemauanku kini sudah berani menentangku.
"Huhu..apa salahku padamu, aku melakukan semua itu karena aku mencintaimu," ucapku di sela-sela isak tangisku.
"Jangan berisik, aku muak mendengarnya, apa kau tidak malu di dengar tetangga kau meraung-raung bagaikan harimau yang kelaparan ? atau kau ingin memperdengarkan tangisanmu agar orang berpikir jika aku telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga ?"
Azhar berbalik dan menatapku dengan garang.
Aku duduk dilantai bagaikan anak kecil, aku menangis tiada henti. Dulu Azhar tak bisa melihat air mataku, biasanya dia akan memeluk dan mencium keningku, lalu menuntunku ke tempat tidur. Aku ingin Azhar memperlakukan hal yang sama seperti dulu. Namun aku salah, kulihat tatapan jijik dimatanya.
"Katakan siapa wanita itu Azhar, mengapa kau berubah setelah mengenalnya ? bukankah dia hanyalah pegawai rendahan. Dia tidak lebih baik dari pembantu di rumah ini, bagaimana mungkin kau membelanya hanya karena dia cantik, akupun bisa melakukan operasi plastik agar bisa lebih cantik darinya...huhuhu..."
Azhar lalu bangun dari tempat tidur, dia menatap lekat ke arahku.
"Dengar Alisha, bukan karena wanita itu aku seperti ini. Bukankah aku dulu juga seperti ini ? Kau bahkan telah berjanji akan merubah semua perilakumu. Kau ingat karyawan yang kau pecat saat itu ? Dulu aku tak bisa berbuat apa-apa karena perusahaan itu masih milik ayahmu. Sekarang aku baru bereaksi karena perusahaan itu adalah milikku. Dan aku berhak atas semua yang menimpa karyawanku tidak terkecuali cleaning service sekalipun. Apa kau Paham ?" rahang Azhar mengeras menahan amarah.
Aku teringat semua itu, aku teringat beberapa tahun lalu saat perusahaan masih menjadi milik ayahku, dan Azhar hanya bertugas untuk berkunjung sesekali ke perusahaan itu, lalu seorang wanita cantik mendekatinya, mereka berbincang, terlihat sangat akrab. Aku yang mendengar berita itu tentu saja meradang. Untuk membuktikannya, aku datang ke perusahaan menyusul suamiku, benar saja kulihat suamiku sedang duduk berdua dengan wanita itu di kantin samping gedung kantor.
Melihat itu aku naik pitam, jika bukan ditahan Azhar aku sudah menjambak rambut karyawan cantik itu. Sejak itu aku yang juga memiliki otoritas di perusahaan segera memecatnya, dan kupastikan dia tidak akan menemukan pekerjaan dimanapun.
Sejak kejadian itu tak ada lagi wanita cantik yang berusaha mendekati Azhar, saat itu Azhar sangat marah. Dia menarikku masuk ke dalam mobil lalu kami bertengkar hebat. Selama dalam perjalanan Azhar terus memarahiku tiada henti. Aku tak membalasnya, barulah di rumah di depan ayahku aku mengatakan semuanya.
Saat itu Azhar tak berkutik, semua kata-katanya saat dalam perjalanan kubalas dengan pedas di depan ayahku. Dia diam seribu bahasa, lalu malamnya semua seakan hilang dengan kebutuhan biologis yang menggebu di dalam dada. Kata orang usai bertengkar biasanya membuat kedekatan dalam suatu hubungan akan terasa nikmat. Dan itu benar, aku telah membuktikannya.
Namun hari ini, kulihat Azhar bahkan tak sudi menatap wajahku. Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku salah ? Apakah benar selama ini aku terlalu mengungkung suamiku sehingga tak bisa bergerak bebas ? Aku mulai menyadarinya, namun egoku lebih dominan. Aku tak mau kalah dari suamiku, walau bagaimanapun, Azhar sampai berada pada posisi ini karena perananku sebagai seorang isteri.
Aku semakin curiga dengan sikap Azhar, malam ini aku tidur dikamar yang terpisah. Rencananya besok aku akan ke kantor. Aku bahkan tak perduli lagi suamiku sudah makan atau belum. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan berdandan cantik, kupandangi wajahku di cermin, wajah ini jika dipoles dengan makeup pasti terlihat cantik dan anggun. Aku sangat bangga dengan kondisiku sekarang, semua bisa dibeli dengan uang. Kulihat suamiku sudah duduk di ruang makan untuk sarapan dengan pakaian kantornya, aku hanya melihatnya sekilas. Diapun pura-pura tak melihatku. Aku mengambil kunci mobil di lemari dan segera pergi tanpa bicara apapun. Kulirik jam tanganku. Waktu menunjukkan pukul 07.00. Aku pastikan jika manager personalia berada di kantornya, sekalian aku ingin melihat apakah wanita cantik itu masih punya nyali untuk datang di kantor. Seperti dugaanku, manager personalia sudah berada di ruangannya. "Mari nyonya, tumben datang pagi-pagi." Manager Personalia mempersilahkan aku duduk dikursi
Azhar POV Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal dan bersiap-siap ke kantor, aku langsung menuju ruang makan tanpa menunggu Alisah memanggilku. Kulihat dengan sudut mataku Alisha keluar dengan pakaian rapi, melewatiku tanpa bicara apapun. Akupun pura-pura tak melihatnya dan memilih menikmati sarapanku. Selesai sarapan aku langsung ke kantor. Rupanya Erwin belum tiba. Aku berjalan menuju lift dan langsung naik menuju ruanganku di lantai tujuh. Ruanganku terlihat sangat bersih dan rapi, aromanyapun begitu menenangkan. Aku berharap Mita yang membersihkan ruangan ini, tapi aku ingat jika Erwin telah menyuruhnya untuk berhenti. Tengah membuka-buka dokumen terdengar ketukan di pintu ruanganku. "Masuk !" Pintu dibuka, dan nampaklah manager personalia memasuki ruanganku dengan tergesa-gesa. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin dia sampaikan. "Duduklah." "Nyonya baru saja keluar dari ruang personalia," lapor manager yang bernama Aslam. Aku terkejut dan menatap Aslam dengan ra
Azhar POV Siang itu, aku dan Erwin berembuk untuk mencari cara agar bisa menyatukan aku dan Mita. Kuserahkan semua rencana dan eksekusinya pada Erwin. Rencana kami mulai dari Ibunya Mita. Maka peran Salsa dibutuhkan dalam hal ini, dan menurut laporan Salsa pada Erwin, jika dia telah berhasil meyakinkan Ibunya Mita, dengan menceritakan sebagian kebenaran agar tidak membuat ibunya ketakutan. Dan berkat bantuan Dr. Rian pula, kami berhasil menyuruh Mita ke Jakarta bertemu dengan teman baiknya Dr. Rian. Aku bersembunyi diruang perawat, tatkala melihat Mita agak ragu dengan perintah Dr. Rian. Namun karena dorongan ibunya yang kini mendukungku, akhirnya Mita pergi juga. Saat Mita dan dua pengawalnya pergi, aku menghampiri mantan ibu mertuaku. Aku memeluknya sambil menangis, kujelaskan semua yang terjadi sehingga dia hanya bisa menangis dan menepuk bahuku. "Mohon restui aku bu, aku ingin kembali mempersunting putri ibu." Mantan ibu mertuaku tak berkata apapun, mungkin dia ragu karena
Pertemuanku bersama Dr. Rian berlangsung di ruang praktek Rumah Sakit Umum PB. Rupanya Erwin sudah memberi tahu adiknya itu, sehingga Dr. Rian tidak bertanya apa-apa lagi tentang diriku. "Sebenarnya, penyakit Thalasemia bisa disembuhkan dengan cara transplantasi sum-sum tulang belakang, jika anda tidak keberatan, saya akan memeriksa anda apakah anda bisa menjadi pendonor yang tepat untuknya." Demi untuk anakku aku bersedia melakukannya, pagi itu aku menjalani pemeriksaan apakah type sum-sum tulangku cocok untuk Tisa. Namun sayangnya hasil pemeriksaan menunjukkan ketidak cocokan. "Apakah ada keluarga lain yang bisa kami temukan kecocokannya dengan puteri anda ?" tanya Dr. Rian. Aku mengangguk, aku yakin ibuku bisa menjadi pendonor yang tepat untuk puteriku, tapi bagaimana aku memberitahunya? "Sambil mencari pendonor yang tepat, kita lakukan transfusi darah pada anak anda," ucap Dr. Rian. Aku hanya meringis mendengarnya, anak sekecil itu harus menjalani hal itu sungguh sangat memi
Setelah teleponku dengan ibu tersambung, aku bernafas lega. Menurut ibu, transfusi darah untuk Tisa sementara berlangsung. Kami lalu melewati jalan tol agar cepat tiba di rumah sakit. "Tuh kan, tidak ada apa-apa, kamu sih terlalu khawatir," cibir Salsa."Ya, harus dimaklumi Sa, kamu kan belum ngerasain yang namanya nikah dan punya anak. Pastilah akan menghadapi situasi seperti yang dirasakan Mita sekarang," ucap Nabila sambil matanya tetap fokus di depan kemudi.Sedangkan perawat kulihat, tertidur di jok belakang di samping Salsa. Aku duduk di depan samping Nabila.Aku tiba dan langsung disambut ibu, kulihat wajah ceria wanita yang telah melahirkanku ini sehingga membuatku tenang. Aku yakin Tisa pasti baik-baik saja walau aku tak mendampinginya.Saat aku hendak masuk ke dalam ruangan, kulihat Dr. Rian keluar dengan wajah panik."Oh untunglah ibu Mita sudah datang, Tisa dalam kondisi kritis."Aku segera menghambur ke dalam ruangan, seorang perawat nampak memasangkan alat monitor jantu
Dr. Rian POV Saat proses transfusi darah berlangsung, gadis mungil itu memintaku untuk terus bersamanya dan menyuruh semua orang meninggalkan ruangan. Tak ada yang menyangka jika gadis mungil ini meminta sesuatu hal yang menurutku sangat tidak masuk akal, tapi ketika kulihat air matanya jatuh berderai, hatiku seketika itu luluh. Apalagi ketika Erwin menceritakan padaku jika ayah dan ibu Tisa sudah lama bercerai dan ayahnya ingin menikahi ibunya lagi. "Dokter bisa membantuku nggak?" Kutarik kursi agar lebih dekat ke arah ranjang. "Bantu apa sayang?" "Pasien kritis itu yang bagaimana dok? " Aku ternganga mendengar pertanyaan konyol anak ingusan ini. "Pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi atau gagal pada satu atau lebih sistem tubuh, tergantung pada penggunaan peralatan monitoring dan terapi." "Apa itu dok?" Dr. Rian menghela nafas perlahan, bagaimana caranya menjelaskan pada anak kecil seperti ini? "Ee...seperti pasien yang tiba-tiba sesak nafas lalu membutuhkan pertolo
Aku dan Azhar keluar dari ruangan dokter dengan tubuh lemas, Azhar merangkulku, lalu kami duduk sedikit jauh dari ibu dan Erwin. "Mita, demi anak kita. Izinkan aku memperbaiki kesalahan yang pernah kulakukan, maukah kau menerimaku sebagai suami dan ayah untuk anak-anak kita ?" tanya Azhar dengan penuh harapan. Aku tak tahu ini sesuatu hal yang menggembirakan atau tidak ? Saat ini pikiranku seakan melayang di angkasa. "Maafkan untuk semua yang pernah kulakukan, saat itu aku tak punya pilihan. Mama mengancam akan bunuh diri jika aku tak menceraikan dirimu," tutur Azhar panjang lebar. Kutatap matanya, biasanya mata itu tak bisa berbohong. Dan kulihat, ada keseriusan disana. Aku ragu, haruskah aku merebut kebahagiaan wanita lain ? Rasanya aku tak sanggup melakukannya. "Dengarkan Mita, jika ini terlalu berat bagimu, aku akan menceraikan Alisha." Aku terkejut dan menatap netranya dengan serius. Airmata Azhar menetes di kedua pipinya. Akupun mengucurkan air mata, sungguh aku tak sangg
Azhar POV Ketika Mita meminta untuk dijadikan yang kedua, aku terkejut. Diluar sana banyak wanita yang menginginkan yang pertama dan terakhir, dan malah untuk wanita kedua terkadang senang ketika calon suaminya menceraikan isterinya. Tapi wanita yang kukenal dulu ini benar-benar berbeda. Mungkin karena dulu aku hidup tidak terlalu lama dengannya, sehingga aku belum memahami karakternya. Tapi yang aku tahu dia adalah wanita yang baik dan dari keluarga baik-baik. Melihat kondisi anakku yang kritis membuatku bertekad untuk menceraikan Alisha, tapi Mita malah menolaknya. Kalimatnya yang membuat hatiku tersayat adalah, " Jangan lakukan itu, walau bagaimanapun dia adalah wanita yang sama denganku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya ketika seorang laki-laki yang kita cintai tiba-tiba menceraikan kita tanpa sebab." Mita seakan menancapkan sebuah belati dijantungku, terdengar sakit. Entah dia menyadarinya atau tidak, tapi aku percaya jika dia tak bermaksud menyinggung perasaanku