Ternyata tamu yang dimaksud Nabila adalah pemuda yang kulihat saat di sekolah Tisa. Mereka adalah orang suruhan suamiku yang memantau keberadaan kami dari jauh."Maaf atas kedatangan kami ini bu, seharusnya kami memberitahu ibu lebih dulu," seorang pria bertubuh tinggi menjabat tanganku."Tidak apa-apa, mari silakan duduk," ucapku sambil mempersilakan mereka duduk."Kenalkan nama saya Ivan dan ini teman saya namanya Jeck," Ivan yang bertubuh tinggi memperkenalkan diri. Aku mengingatnya karena dia yang terus-terusan memperhatikan aku di depan sekolah Tisa. Kami berbincang panjang lebar, kurasa upaya suamiku untuk melindungi kami terlalu berlebihan, terpikir olehku untuk menyambangi Alisha sekedar bersilaturahmi karena dia dalam keadaan sakit. Aku ingin membawakannya makanan atau bingkisan yang tentunya membuat orang yang di besuk merasa senang."Terima kasih sudah menjaga kami, sepertinya kalian terlalu berlebihan melindungi kami," ucapku."Maaf bu, kami hanya menjalankan perintah, ta
"Anak ibu menderita penyakit Thalasemia." Bagai disambar petir aku mendengar ucapan dokter yang terasa asing di telingaku. Aku yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas ini tentunya sedikit bingung dengan penyakit yang namanya Thalasemia. "Ba..bagaimana itu bisa terjadi dok, dan itu penyakit apa?" tanyaku dengan bingung. Aku melarikan anakku Tisa yang kini berusia lima tahun ke rumah sakit, karena dia tiba-tiba sesak nafas saat bermain dengan teman seusianya di halaman rumahku. "Ini adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan genetik yang memengaruhi produksi sel darah merah." Penjelasan Dr. Rian malah semakin membuatku kebingungan, penyakit genetik artinya penyakit keturunan. Apakah ada keluargaku yang menderita penyakit ini ? ataukah menurun dari mantan suamiku? "Lalu apa solusinya dok, aku harus bagaimana?" rasanya aku tak tega melihat anakku terbujur pucat di ruang perawatan kelas dua berbaur dengan dua pasien lain, dan tangan mungilnya terpasang selang infus. "Penyakit in
Pukul empat subuh aku terbangun, ibu dan anakku masih tertidur pulas. Aku bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyelesaikan semua rutinitas mandiku. Aku menggelar sejadah dan menunaikan sholat subuh, lalu aku segera memasukan pakaian seragamku ke dalam tas. Waktu masih menunjukkan pukul 4.30, aku membangunkan ibuku dan berbisik jika aku akan segera pergi bekerja. Dengan restu ibu kulangkahkan kaki ini dengan sebelumnya mencium kening anak semata wayangku.Aku tiba digedung kantor, rupanya satpam lebih dulu membuka pintu gerbang sehingga dengan mudahnya aku masuk ke gedung bertingkat yang megah itu. Tidak terlalu sulit untuk masuk ke dalam gedung karena aku sudah memiliki kartu tanda pengenal. Aku segera menuju ke ruang ganti, ternyata disana sudah ada Faijah dengan pakaian seragam yang rapi. "Dah lama ?" tanyaku pada Faijah."Baru saja, ayo buruan sebelum pimpinan kita tiba," jawabnya. Mendengar itu aku buru-buru mengganti pakaian kerjaku. Kutatap sejenak wajahku di cermin, rupan
Saat aku harus berjuang melahirkan buah hati kami, suamiku tak terlihat. Dan kemudian di saat anakku berusia lima bulan, datanglah seorang pengacara meminta tanda tangan persetujuan cerai dariku. Hati ini terlalu sakit, dia bahkan tak pernah melihat wajah Tisa yang begitu mirip dengan dirinya. Kuhempaskan nafasku dengan kuat, lalu bergegas keluar. Aku melakukan pekerjaanku dengan tekun, kubuang semua kenangan indah tentang suamiku. Bagiku, dia sudah mati. Sekarang aku harus berjuang untuk menghidupi anakku sendiri. Apapun akan aku lakukan untuk kesembuhan dan masa depannya. Dialah hartaku satu-satunya selain ibu.Derap langkah sepatu hels menggema di lantai satu. Kuangkat wajahku, nampak seorang wanita dengan pakaian elegan berkulit sawo matang melangkah di dampingi dua orang pengawal. Aku sudah bisa menduga jika wanita ini pasti isteri bos. Dari gayanya yang terlihat sangat arogan sudah menunjukkan jika dialah wanita yang menjadi obrolan karyawan di kantin pagi tadi. Sebisa mungkin
Azhar POVPerusahaan ini kini resmi menjadi milikku setelah aku membelinya dari ayah mertuaku sendiri. Aku dulu hanyalah seorang karyawan yang dibayar diperusahaan induk di Jakarta. Namun kini perusahaan ini sudah berlepas diri dan menjadi milikku.Aku berusaha merubah pola manajemen yang berlaku selama ini, aku tak mau membeda-bedakan semua karyawan. Sebisa mungkin aku ingin menjadi sosok pemimpin yang ideal di perusahaanku.Sore itu aku sengaja mengadakan pertemuan dengan para cleaning service setelah paginya aku mengadakan meeting dengan para karyawan perusahaan. Perusahaanku bergerak di bidang real estate.Asisitenku datang melapor jika para cleaning service sudah berkumpul di atap gedung yang aku sulap sebagai tempat nongkrong yang indah, juga bisa digunakan sebagai tempat pendaratan helikopter."Para petugas kebersihan sudah siap di lantai atas bos," Erwin melongokkan kepalanya di pintu.Aku lalu bergegas keluar, dimana para manager dan asisten sudah menungguku di ujung tangga.
Mita POVSetelah menyelesaikan semua pekerjaan, kami mengganti seragam kembali dengan baju yang kami kenakan saat tiba di gedung. Reza menawarkan diri mengantarku pulang."Ayo aku antar," ajak Reza saat dia mengendarai motornya melewatiku di depan gedung.Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Hemat biaya tentunya.Suasana jalan raya tidak terlalu macet sehingga sepuluh menit saja kami tiba di rumah sakit."Gak mampir ?" tawarku pada Reza yang kulihat mulai menghidupkan motornya kembali."Lain kali saja, salam buat anakmu. Semoga dia cepat sembuh, " ucap Reza dengan tulus."Terima kasih," aku melambaikan tangan padanya. Pandanganku mengikuti berlalunya Reza sampai menghilang di tikungan jalan. Aku bergegas masuk menuju ruang perawatan kelas dua. Pekerjaaan hari ini sangat ringan sehingga aku tidak kelelahan.Aku berpapasan dengan beberapa perawat yang tersenyum ramah melihatku. Rumah Sakit Umum ini cukup bersih dan para tenaga medisnya sangat ramah dan sopan. Setelah melewati beberapa
Hari ini Tisa sudah diizinkan menjalani rawat jalan, pagi-pagi aku menyempatkan diri ke kantor walau aku sudah mengetahui jika pemilik perusahaan tempatku bekerja adalah ayah Tisa. Aku tetap berusaha untuk bersikap profesional, kukesampingkan semua kebencian yang terpendam lama di dalam dada ini.Setelah semua pekerjaanku selesai, aku meminta izin pulang dan tak balik lagi ke kantor, setelah membayar semua biaya perawatan anakku, kami bertiga tak pulang ke desa tetapi memilih ke rumah kakek dan nenek di desa durian. Dengan jarak tempuh empat puluh kilo dari rumah sakit memakan waktu sekitar satu jam perjalanan.Untunglah ibu tidak bertanya kenapa aku ingin membawa Mita ke rumah nenek, sehingga aku bisa bernafas lega. Aku melakukannya karena ingin menyembunyikan anakku. Aku yakin seratus persen Azhar pasti akan mencari keberadaan kami.Malam ini aku tidur dengan nyenyak. Semua beban yang menghimpit dipundak seakan terbang seiring dengan bunyi jengkerik yang bersahutan dan udara pada ma
Aku mengernyitkan keningku, ini bukan bagian dari tugasku, lalu mengapa nyonya memintaku membawakannya teh panas ? Aku mulai was-was, perasaanku tidak enak. Nyonya pasti hendak membuat perhitungan denganku. Tapi kenapa ? Apa karena kecemburuannya ?Aku mengambil alih nampan yang berisi teh panas itu, lalu keluar bersama Zaki menuju lantai tujuh.Aku masuk ke dalam ruangan dengan mengetuk pintu terlebih dahulu. Di ruangan itu terlihat bos dan asistennya sedang membicarakan masalah perusahaan sehingga tidak menyadari jika aku masuk ke ruangannya.Aku menghampiri nyonya Alisha dan menyuguhkan teh yang dimintanya. Aku berdiri membelakangi Azhar sehingga dia tidak akan bisa mengenaliku.Nyonya menyuruhku untuk terus berdiri di hadapannya. "Jangan pergi dulu, kau harus menunggu sampai teh ini kuhabiskan."Aku berdiri mematung, kulihat nyonya Alisha tersenyum licik. Tuhan, apa yang sedang dia rencanakan ? Belum habis rasa penasaranku tiba-tiba nyonya berdiri."Dasar pelayan tak tahu diri, a