Demi biaya pengobatan ibunya yang sakit, Eva Alyson terpaksa menikah dengan Henry Yonatan Harrison, pewaris keluarga kaya raya. Namun, kehadirannya di keluarga Henry selalu direndahkan karena kondisi matanya yang tidak sempurna. Setelah bertahun-tahun dihina dan dipermalukan, Eva memutuskan untuk bercerai. Namun, di tengah proses perceraian, Henry mengeluarkan pernyataan mengejutkan, "Aku tidak akan membiarkan orang lain memilikimu." Bagaimana Eva menghadapi takdir yang terus mengekangnya? Follow IG author: _lili_lotus
View More“Wah, coba lihat. Menantu cacat dari keluarga Harrison ikut bergabung di sini.”
Baru saja Eva terduduk. Ia sudah mendapatkan sambutan sinis dari kerabat suaminya.
Hari ini, Eva ikut menghadiri pesta pernikahan kerabat jauh dari Henry, suaminya. Namun, kehadirannya tidak disambut dengan baik.
Salah satu dari mereka, Bibi Maria, mulai menyahuti. “Henry, kenapa kau harus membawa perhiasan tidak layak sepertinya? Tampaknya dia lebih cocok berada di etalase daripada di keluarga kita.”
Anggota kerabat lainnya menatap Eva dengan tatapan mengejek. “Wanita yang berasal dari latar belakang biasa dan juga memiliki penyakit mata, ya. Aku tidak yakin dia bisa melakukan tugas-tugas sebagai istri dengan benar.”
“Kami bisa mengenalkanmu pada wanita yang layak denganmu. Kenapa kau harus memilih wanita rendahan sepertinya, Henry?”
Eva menundukkan, menyembunyikan wajahnya. Ia berusaha bersikap tenang, tetapi rasa sakit hati mulai membanjiri hatinya. Dia tahu, bahwa setiap acara seperti ini, ia hanya dianggap sebagai perhiasan atau aksesoris dari Henry.
Yang lain ikut menambahi. “Aku rasa jika dia hanya menjadi beban dan tidak bisa diharapkan. Untuk apa kau masih mempertahankannya sampai sekarang?”
Semua hinaan dari keluarga Henry seperti belati tajam yang mengiris perasaannya. Eva merasa tenggorokannya tercekat, membuatnya sulit untuk menjawab.
Air mata Eva mulai menggenang. Dia menatap ke arah Henry, berharap jika suaminya menyadari betapa sulitnya situasi yang dia alami saat ini.
Namun dukungan yang dia harapkan tak kunjung datang. Henry hanya diam tanpa berekspresi sedikitpun.
Keberadaannya di acara tersebut semakin memperjelas betapa tidak diharapkan dirinya di keluarga Harrison. Dengan ketiadaan dukungan dari suaminya, Eva merasa semakin terasingkan.
Kedatangannya berniat untuk memperbaiki hubungan dan menunjukkan bahwa dia bisa menjadi bagian keluarga tersebut. Namun, kedatangannya malah disambut dengan hinaan dan penilaian negatif keluarga Henry yang tidak menyukainya.
Bibi Maria kembali berkata dengan nada sinis. “Jadi, Eva, bagaimana rasanya menjadi bagian dari keluarga Harrison? Sepertinya tidak mudah, ya, untukmu.”
Eva menatap Bibi Maria, memaksakan senyumnya sebelum akhirnya menjawab. “Saya berusaha keras untuk beradaptasi dan memberikan yang terbaik, Bibi.”
“Apa waktu selama 4 tahun pernikahan itu hanya kau habiskan untuk beradaptasi?” Bibi Maria tersenyum mengejek.
Bibi Maria terus menimpali. Sementara yang lain enggan untuk berbicara dengan Eva. Mereka semua menatap sinis ke arah Eva.
Eva kembali menunduk, ia merasa semakin tertekan.
Sementara itu, Henry tetap diam, tidak menunjukkan dukungan atau interaksi apapun.
Eva berdiri dan meminta izin lembut. “Maaf, Bibi. Saya ke belekang sebentar.”
Eva berjalan menjauh dari kerumunan keluarga besar Henry. Tak ada yang memerdulikan perasaannya, bahkan suaminya sendiri.
Di tempat duduk, Henry hanya menatap punggung Eva yang semakin menjauh tanpa berniat mengejarnya.
Eva melangkah menuju taman belakang, berusaha untuk menenangkan diri di sana. Sesampainya di taman, Eva mengeluarkan emosi yang terpendam selama di dalam. Dadanya terasa sesak, air matanya deras membasahi pipi.
Eva dan Henry sudah menikah selama 4 tahun. Namun, rumah tangga mereka hanya berisi kekosongan. Meski statusnya sudah berubah menjadi seorang istri, tetapi selama waktu itu, dia seperti wanita lajang.
Tak pernah tersentuh. Bahkan Henry selalu bersikap dingin dan cuek. Menganggapnya tidak pernah ada.
30 menit sudah ia berada di taman belakang. Namun tidak ada satupun dari kerabat atau Henry yang mencarinya. Dia memutuskan kembali bergabung ke dalam acara.
Ketika Eva kembali, kedua matanya menangkap keberadaan Julia, sekertaris Henry. Ia tidak tahu bagaimana bisa Julia berada di acara itu.
Eva merasa iri ketika para kerabat menyambut Julia dengan baik. Bahkan Henry sendiri sangat asik berbicara dengan Julia. Julia terlihat menonjol di tengah-tengah kerumunan itu.
“Masih di sini rupanya.” Bibi Maria muncul tiba-tiba di samping Eva melayangkan tatapan sinis. “Aku kira kau pulang lebih dulu dan menangis sepanjang perjalanan.”
Bibi Maria menatap kerumunan, melihat interaksi Julia dan Henry dari kejauhan. “Mereka benar-benar sangat cocok. Wanita berkelas, dan sangat berkilau seperti mutiara. Aku dengar jika wanita itu dulu adalah kekasih Henry, tapi kau datang dan menjadi penghalang kebahagian mereka!”
Kekasih?
Eva menatap kearah Henry dan Julia tidak percaya. Yang dia tahu jika Julia adalah sekertaris Henry di kantornya.
Mata Eva kembali memanas. Benarkah jika dirinya hanyalah penghalang untuk dua orang tersebut? Mau tidak percaya, tetapi interaksi mereka cukup meyakinkan.
Ia juga teringat jika Henry selalu membawa Julia di setiap acara dari pada membawanya pergi.
Rasa bersalah mulai menyelimuti hatinya. Jika saja dari awal dia menolak menikah dengan Henry, kedua orang itu pasti sudah hidup bahagia saat ini.
“Eem … apa Bibi tahu seberapa jauh hubungan mereka?” Awalnya Eva enggan bertanya, tetapi ia ingin tahu lebih lanjut.
“Mereka bahkan benar-benar sudah merencanakan pernikahan. Tapi tiba-tiba dia harus menikah dengan wanita sepertimu. Setidaknya sadar dirilah, jangan hanya menjadi beban untuknya!”
Kata-kata tajam yang dilontarkan Bibi Maria itu seolah-olah menggaris bawahi kesalahan Eva.
Eva menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir menetes. “A-aku-,”
Dengan gerakan cepat, Bibi Maria berbalik meninggalkan Eva dengan perasaan yang membebani hati.
Eva berdiri terabaikan di antara kerumunan itu. Ia merasakan kesepian yang mendalam di tengah-tengah keramaian orang.
Eva memutuskan untuk meninggalkan acara lebih awal. Namun, saat dia melangkah meninggalkan area. Kedua matanya terasa perih, pandangan matanya mulai buram.
“Kenapa harus di saat seperti ini?”
Julia meneguk champagne hingga tetes terakhir, lalu meletakkan gelasnya di atas meja. Alexander menarik kursinya lebih dekat dengan Julia. “Terus terang, aku menyukainya. Tapi, apa yang bisa kau tawarkan padaku? Henry bukan lawan yang mudah.”“Aku punya segalanya.” Julia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Suaranya menyimpan dendam yang mendalam. “Aku tahu akses inti perusahaan. Bentuk proposal, desain, dan konsep setiap proyek Henry. Entah itu sebelum, atau di masa mendatang.” Mendengar itu, mata Alexander berbinar, kilatan licik muncul di dalam matanya. Dia meletakkan gelasnya perlahan, dan memfokuskan dirinya pada Julia. Itu informasi yang menarik, tak boleh terlewatkan. Dengan begitu, dia akan dengan mudah menggeser posisi Henry dari posisi puncaknya. “Sungguh?” Ada rasa tidak percaya, tetapi rasa penasarannya lebih besar. Julia tersenyum miring. Dia tahu betul, pasti Alexander sangat tertarik dengan informasi yang dia bawa saat ini. Julia melanjutkan, “Tentu. Aku ju
Henry menggandeng tangan Eva, langkah mereka berdua ringan saat memasuki kafe boutique—kafe yang biasa dikunjungi kalangan elit. Aroma kopi dan kue-kue manis begitu akrab ketika mereka memasuki kafe tersebut. Dua sosok di salah satu sudut sudah menunggunya dan melambai ke arah mereka. Sophia tersenyum lebar bersama Tuan Lawson. Begitu mereka dekat, Sophia segera bangkit lalu memeluk Eva. “Selamat, Eva. Aku sangat bahagia dengan kabar bahagia ini.” “Terima kasih.” Eva membalas pelukan itu dengan hangat. Tuan Lawson ikut berdiri, menjabat tangan Henry. “Selamat atas kabar bahagia ini, Tuan Henry. Semoga sehat selalu untuk kalian dan calon buah hati Anda.” Henry tersenyum cerah, rona bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya. “Terima kasih banyak, Tuan Lawson.” Mereka berempat kemudian duduk, menghabiskan waktu siang dengan obrolan ringan diisi dengan tawa. Sophia antusias bertanya mengenai bayi, bahkan dia memberikan seikat buket bunga pada Eva sebagai ucapan selamat. Sement
Pagi itu, Henry menggeliat, mencoba meraih ponselnya di atas nakas yang terus berbunyi. Ini pukul enam pagi. Terlalu pagi untuk memulai aktivitas di hari liburnya. Semalam, Henry memutuskan untuk bekerja di rumah, tak berniat meninggalkan Eva dalam kondisi seperti saat ini. Dengan mata tak sepenuhnya terbuka, ponselnya menyala, menampilkan nama Ryan di dalamnya. Henry mendengus sebal. Ryan membangunkannya di pagi ini. Seharusnya, dirinya masih tertidur lelap. Dia menekan tombol hijaunya. “Kau tidak tahu ini jam berapa?” katanya, tanpa basa-basi, dengan suara serak khas bangun tidur. Rasanya dia ingin melempar ponselnya. Ryan sudah mengganggu waktu tidurnya. Namun, dia benar-benar lupa, bahwa semalam, dia sempat menelepon Ryan jam tiga pagi. “Maaf mengganggu pagi-pagi, Tuan,” kata Ryan di seberang sana. “Saya menelpon karena melihat riwayat panggilan dan pesan Anda semalam. Saya tidak tahu karena ponsel saya dalam keadaan senyap.”Henry memutar kedua matanya jengah. “Kalau ponsel
Malam begitu larut, kamar hanya diterangi cahaya samar-samar lampu tidur. Henry terbangun. Dia mengerjap, berusaha membiasakan diri dengan kegelapan. Di sampingnya, Eva tertidur lelap, napasnya teratur. Henry mengamati Eva dengan intens. Selimut yang semula menutupi dirinya kini merosot, memperlihatkan bahunya yang terbuka. Dengan hati-hati dia menarik selimut itu ke atas hingga menutupi Eva dengan sempurna sampai leher.Gerakannya sangat hati-hati, takut mengusik tidur istrinya. Bahkan dia menyelipkan selimut itu di bawah punggung Eva agar tidak bergeser. Setelah memastikan Eva nyaman dan hangat, dia menghela napas panjang. Kantuknya kini hilang begitu saja.Henry melirik ke arah jam dinding. Pukul 03.00 pagi. Terlalu dini untuk memulai aktivitas. Dia menyingkap selimut. Perlahan, dia menggeser tubuhnya ke tepian ranjang. Dia melakukannya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara dan membangunkan Eva. Syukurlah, istrinya begitu lelap. Henry meraih ponselnya di atas nakas.
Eva melangkah pelan menuju ruang tengah, tubuhnya lemas akibat perutnya sensitif sejak tadi. Suasana di ruang tengah begitu hening. Eva meraih remote TV lalu duduk di salah satu sofa. “Rosa,” panggilnya pelan, dan sedikit serak. Merasa terpanggil, Rosa muncul dari arah dapur, berlari kecil mendatangi Eva. “Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Melihat wajah pucat Eva, dia melangkah mendekat lagi dengan raut wajah cemas. “Ya ampun, Nyonya! Anda terlihat pucat sekali. Anda kenapa?” Tanpa menunggu jawaban Eva, Rosa segera mengangkat tangan dan dengan hati-hati memijat pelipis Eva. “Apa Anda merasa pusing, Nyonya? Bagaimana pijatan saya, apa ini bisa meredakan pusing Anda?”Eva memejamkan matanya, merasakan pijatan Rosa, tetapi kepalanya semakin pusing mendengar serentetan pertanyaan dari Rosa. Pelayan itu menjadi sedikit berlebihan saat tahu dirinya tengah mengandung. Tak jauh beda seperti Henry. Atau … ini perintah Henry?“Bagian mana lagi yang sakit, Nyonya? Katakan pada saya,” kata
Henry membenamkan dirinya di balik semua dokumen yang menumpuk di hadapannya, berusaha keras memusatkan perhatiannya pada deretan kata dan angka yang berjejer di layar komputernya. Namun, rasanya sia-sia. Pikirannya terus melayang, terbang jauh ke Millbrook. Kota kecil yang tenang, di mana papanya bertemu dengan mama mertuanya. Bukan hal aneh. Besan saling mengunjungi, itu hal wajar. Akan tetapi, entah mengapa kedatangan sang papa itu terus mengganggu pikirannya. Sejak papanya keluar dari rumah mama mertuanya, ada kegelisahan yang terus menggerogotinya, seperti bisikan yang tidak bisa dia abaikan. Sekuat apapun dia menepis pikirannya, rasanya dia terus tersedot ke dalamnya. Ini bukan kunjungan biasa, dia yakin. Tapi … bagaimana jika mereka memiliki hubungan terlarang?Apa dia harus membenci papanya?Ataukah dia harus membenci mama mertuanya?Bahkan berimbas kebencian pada istrinya sendiri? Henry menggeleng pelan. Tidak. Tidak mungkin dia membenci Eva.Dia mencoba meyakinkan diri
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments