Beranda / Rumah Tangga / Menjadi Istri yang Dilupakan / Bab 2: Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Share

Bab 2: Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Penulis: Le Vant
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-10 17:01:42

Udara di rumah sakit terasa pengap bagi Nadia, meskipun AC berhembus lembut di sudut ruangan. Suara mesin medis yang berdengung seolah membekukan waktu. Jantung Nadia berdebar kencang, tangannya masih gemetar setelah mendengar pengakuan pria yang berdiri di hadapannya. Indra Pratama, nama itu terdengar asing, tapi rasa penyesalan yang terpancar dari sorot matanya membuat Nadia tak bisa segera mengeluarkan kata-kata. Yang ada di pikirannya hanyalah ayahnya—Pak Amir—sedang terbaring tak berdaya, melawan maut di dalam ruang ICU.

Bu Ningsih, yang berdiri di samping Nadia, tak kuasa menahan tangisnya. Sesekali isakannya terdengar di antara keheningan. Nadia mencoba menenangkan ibunya, meski dalam dirinya sendiri rasa cemas dan takut seakan menghimpit. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bereaksi. Semua terjadi begitu cepat.

Indra, yang terlihat tak kalah tegang, berusaha menyampaikan lebih banyak. "Saya... tidak sengaja. Mobil saya lepas kendali saat menghindari motor yang tiba-tiba berbelok. Ayah Anda sedang menyeberang dan... saya benar-benar minta maaf."

Nadia menatap pria di hadapannya. Postur tubuhnya tinggi dengan raut wajah yang terpahat tegas, tapi di balik itu ada rasa bersalah yang jelas terlihat. Nadia merasakan campuran amarah dan kebingungan. Amarah karena insiden ini, namun bingung karena pria itu tampaknya tulus dalam permintaan maafnya.

"Maaf? Apa dengan maaf saja semuanya bisa selesai?" gumam Nadia dalam hati. Dia menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Bagaimana mungkin hidup seseorang berubah drastis dalam hitungan detik? pikirnya.

"Dokter bilang apa?" tanya Nadia akhirnya, suaranya sedikit serak.

Indra menunduk sejenak, seolah merasa bersalah untuk mengucapkannya. "Dokter bilang kondisinya kritis... mereka sedang berusaha yang terbaik."

Kata-kata itu menusuk jantung Nadia. Rasanya seperti tubuhnya terhuyung ke dalam jurang ketidakpastian. Kritis. Kata itu terus berulang-ulang di pikirannya, mencengkeram setiap harapan yang ia coba pertahankan. Nadia menoleh ke arah pintu ruang ICU yang tertutup rapat, membayangkan ayahnya yang dulu selalu tersenyum lembut padanya, kini terbaring di ranjang rumah sakit dengan alat bantu di sekelilingnya.

"Ya Tuhan..." bisik Bu Ningsih di sampingnya, tubuhnya hampir rubuh jika Nadia tidak segera menopangnya.

"Ma, sabar ya..." Nadia memeluk ibunya, mencoba memberikan kekuatan meskipun dirinya pun hampir runtuh. Ayah tidak boleh pergi sekarang. Hanya itu yang ada di pikiran Nadia. Ia harus bertahan, meski dalam hatinya rasa takut mulai merambat ke seluruh dirinya.

Indra tampak semakin gelisah. Ia mendekati mereka, mencoba berbicara lagi. "Saya akan bertanggung jawab... apa pun yang dibutuhkan, saya akan bantu. Saya sudah berbicara dengan dokter dan memastikan semua biaya pengobatan akan saya tanggung."

Nadia menatapnya tajam. Uang mungkin bisa membantu dalam hal perawatan, tapi itu tak akan bisa menghapus rasa sakit yang saat ini menghantam keluarganya. Namun, di balik tatapannya yang marah, Nadia tahu bahwa bantuan ini mungkin satu-satunya hal yang bisa mereka andalkan saat ini.

Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. "Yang penting sekarang adalah Ayah selamat... bukan soal uang atau apa pun." Suaranya tegas, meski hatinya bergetar hebat.

Indra mengangguk dengan cepat. "Tentu... saya benar-benar menyesal atas apa yang terjadi."

Situasi di rumah sakit itu terasa semakin mencekam seiring berjalannya waktu. Setiap detik berlalu dengan perlahan, seolah waktu menahan napas bersama mereka. Sesekali, suara langkah perawat yang bergegas atau suara monitor di ruang ICU terdengar, tapi tak ada satu pun kabar baik yang datang.

Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan. Nadia segera menghampiri, napasnya tertahan.

"Bagaimana kondisi Ayah saya, Dok?" Nadia bertanya dengan suara gemetar, berusaha bersikap tegar di depan ibunya yang sudah terlihat begitu rapuh.

Dokter itu menghela napas panjang, kemudian berbicara dengan nada hati-hati. "Kondisinya masih sangat kritis, namun kami sudah melakukan yang terbaik. Sekarang kita hanya bisa menunggu dan melihat bagaimana tubuhnya merespon perawatan ini. Saya sarankan kalian berdoa dan tetap berharap."

Kalimat itu seolah menjadi akhir dari semua harapan yang tersisa bagi Nadia. "Menunggu dan melihat" bukanlah jawaban yang ingin ia dengar. Namun, dia hanya bisa mengangguk lemah. Tidak ada pilihan lain selain berdoa.

Setelah dokter pergi, Nadia mengajak ibunya duduk di ruang tunggu. Sementara itu, Indra berdiri di kejauhan, tampak bingung harus bagaimana. Ia melihat keluarga itu berusaha menahan diri di tengah cobaan berat, dan rasa bersalah semakin menghimpitnya. Ini bukan sekadar kecelakaan bagi Nadia dan keluarganya. Ini adalah bencana yang bisa menghancurkan hidup mereka.

Beberapa jam berlalu. Malam mulai turun, dan rumah sakit yang tadinya sibuk kini terasa lebih sunyi. Nadia tak bisa menahan kantuknya lagi, kepalanya terasa berat setelah sekian lama berjaga. Matanya nyaris terpejam ketika tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Saat membuka mata, ia melihat Indra berdiri di depannya lagi.

"Nadia," panggilnya pelan, seolah ragu untuk mengganggu.

Nadia menoleh dengan tatapan lelah. "Apa lagi yang mau kamu katakan?"

Indra tampak ragu sesaat, tapi kemudian berkata, "Saya... saya ingin memastikan semuanya akan baik-baik saja. Jika ada apa-apa, tolong kabari saya. Ini semua tanggung jawab saya."

Nadia menatapnya lama, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa. Baginya, tidak ada yang bisa diucapkan lagi sekarang. Semua kata seakan kehilangan makna di tengah situasi yang begitu berat ini.

Kabar tentang kondisi ayah Nadia masih menggantung, sementara Indra mulai menunjukkan keseriusan untuk bertanggung jawab.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 123: Luka yang Makin Terbuka

    Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 122: Ketegangan yang Makin Menjauh

    Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 121: Menjaga Sisa Harapan

    Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 120: Di Persimpangan Hati

    Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 119: Tersesat di Antara Janji dan Kenyataan

    Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,

  • Menjadi Istri yang Dilupakan   Bab 118: Pendar yang Mulai Redup

    Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status