Nadia Putri, seorang gadis berusia 18 tahun, mendapati hidupnya berubah setelah ayahnya mengalami kecelakaan tragis yang disebabkan oleh Indra Pratama, seorang pria berusia 25 tahun. Demi menghindari masalah hukum yang dapat merusak karier Indra, keluarga Nadia menerima usulan pernikahan antara Nadia dan Indra sebagai bentuk tanggung jawab Indra. Meskipun awal pernikahan mereka tampak stabil, hubungan ini berubah drastis ketika Indra kehilangan minat pada Nadia dan mulai berselingkuh. Dengan dukungan keluarganya, yang memandang rendah Nadia karena status sosialnya, Indra secara terang-terangan mengkhianati istrinya. Nadia, yang awalnya sudah jatuh cinta pada suaminya, harus menghadapi tekanan dari berbagai arah: pengkhianatan, penghinaan dari keluarga Indra, dan kekerasan fisik ringan dari suaminya. Meski terus berusaha mempertahankan pernikahannya demi anak mereka, Reza, Nadia akhirnya menyerah dan bercerai dari Indra. Tidak lama setelah itu, Indra mulai menyadari bahwa wanita barunya tidak memiliki kebaikan hati seperti Nadia. Namun, penyesalannya datang terlambat. Nadia sudah menemukan kebahagiaan bersama seorang pria yang lebih baik, Aditya, dan menolak untuk kembali kepada Indra, meskipun Indra terus memohon.
View MoreNadia Putri menatap papan tulis di depannya dengan tatapan hampa, meskipun di sana tertulis materi ujian akhir yang seharusnya menarik perhatiannya. Sekilas ia mendengar suara gurunya berbicara, namun pikirannya sudah jauh melayang, membayangkan hari besar yang tak lama lagi tiba. Kelulusan. Hanya tinggal beberapa hari, dan masa-masa SMA yang penuh dengan kenangan akan berakhir.
Di luar jendela, cahaya matahari pagi menembus daun-daun pohon mangga di halaman sekolah. Udara terasa lebih hangat dari biasanya, seakan menyambut masa depan yang sudah begitu dekat. Nadia tersenyum kecil, mencoba menenangkan dirinya dari rasa tegang akan ujian, dan mulai berkhayal tentang rencana-rencana sederhana yang telah ia susun.
"Kamu mau daftar ke universitas mana, Nad?" tanya Sarah, teman sebangkunya, yang tiba-tiba menyadarkan Nadia dari lamunannya.
Nadia menoleh sambil tersenyum lembut. "Aku mau coba di Universitas Jakarta, dekat rumah. Biar tetap bisa bantu Mama sama Ayah di rumah. Kamu?"
"Universitas Jakarta, ya? Lumayan sih, nggak jauh juga dari sini," sahut Sarah sambil mengangguk-angguk. "Aku juga mau daftar di sana, sih. Semoga kita bisa satu kampus!"
Nadia mengangguk, berharap hal itu benar-benar terjadi. Sarah sudah menjadi teman dekatnya sejak SMP, dan akan menyenangkan jika mereka tetap bersama di masa kuliah. Namun, jauh di dalam hatinya, Nadia tahu bahwa fokus utamanya adalah keluarganya, terutama ayahnya yang sudah semakin sering pulang larut malam karena bekerja keras.
Sejak kecil, Nadia selalu kagum dengan kerja keras ayahnya, Pak Amir. Meskipun hanya seorang supir angkot, Pak Amir tak pernah mengeluh. Setiap pagi ia bangun dini hari, mempersiapkan segala keperluannya dengan senyum yang selalu hangat, dan pulang larut malam dengan wajah lelah tapi penuh kepuasan. Nadia mengingat jelas kata-kata ayahnya suatu malam ketika mereka duduk bersama di teras rumah.
"Ayah nggak butuh kaya, Nad. Yang penting kamu sama Mama bisa hidup layak, nggak kekurangan. Itu sudah lebih dari cukup buat Ayah."
Kata-kata itu selalu membekas di hati Nadia. Ia tahu, di balik tubuh kekar ayahnya, tersembunyi keinginan besar untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya, meski dengan keterbatasan yang mereka miliki.
Hari itu, setelah jam sekolah berakhir, Nadia berjalan pulang dengan langkah ringan. Teman-temannya sudah mulai merencanakan pesta kelulusan, tapi pikiran Nadia sudah terfokus pada rumah. Setiap kali ia pulang, ia disambut dengan senyuman hangat ibunya, Bu Ningsih, yang selalu menyiapkan makanan di meja makan. Meskipun kehidupan mereka sederhana, Nadia tak pernah merasa kekurangan kasih sayang.
Namun, hari itu, suasana rumah terasa berbeda. Begitu Nadia membuka pintu rumah, ia langsung merasakan ada sesuatu yang salah. Ruang tamu yang biasanya dipenuhi dengan suara percakapan ibu dan tetangganya, sekarang sepi. Nadia mengernyit, memperhatikan keheningan itu sebelum akhirnya melihat sosok ibunya yang duduk di kursi, wajahnya pucat dan matanya sembab, seolah baru saja menangis.
"Ma... ada apa?" suara Nadia gemetar, jantungnya berdegup cepat.
Bu Ningsih menatap putrinya dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya berkaca-kaca, dan tangannya gemetar saat mencoba meraih sesuatu di saku bajunya. Nadia merasa seolah waktu berhenti sesaat ketika ibunya menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Ayahmu... kecelakaan..."
Dunia Nadia terasa runtuh dalam sekejap. Kata-kata ibunya seperti petir yang menyambar pikirannya. Tangannya gemetar, seakan tubuhnya tak mampu lagi menopang berat badannya. "Apa yang terjadi? Di mana Ayah sekarang?" Nadia mencoba untuk tetap tenang, meski dalam hatinya ketakutan itu semakin besar.
"Dia... di rumah sakit sekarang. Kondisinya kritis..." Suara Bu Ningsih bergetar, dan Nadia bisa melihat air mata yang jatuh dari sudut mata ibunya.
Tanpa berpikir panjang, Nadia segera meraih tasnya dan menarik tangan ibunya, "Ayo kita ke rumah sakit sekarang, Ma!"
Jalanan menuju rumah sakit terasa seperti perjalanan terpanjang dalam hidupnya. Nadia mencoba menghubungi ponsel ayahnya beberapa kali, tetapi tak ada jawaban. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan buruk, meskipun ia terus berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera akan berakhir.
Ketika mereka tiba di rumah sakit, Nadia berlari menuju ruang gawat darurat. Di depan ruangan itu, ia melihat beberapa orang yang tampak sibuk, namun yang paling menarik perhatiannya adalah seorang pria yang berdiri di sudut ruangan, mengenakan setelan jas hitam. Pria itu tampak tegang, memegangi ponselnya erat-erat. Sesaat, Nadia tak mengenalinya, tapi ketika pria itu menoleh dan mata mereka bertemu, Nadia merasa ada sesuatu yang salah.
Pria itu berjalan menghampiri mereka, dan tanpa menunggu pertanyaan dari Nadia, dia berbicara dengan nada penuh penyesalan. "Saya... Indra Pratama. Saya yang menyebabkan kecelakaan itu... saya sangat menyesal."
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments