56. Kabar Bahagia
***
Kafka tampak gusar, sedari tadi ia berjalan bolak-balik bak sebuah setrikaan. Tatapannya sesekali menatap sebuah ruangan dengan pintu tertutup di hadapannya, dengan sebuah plakat UGD di atasnya. Menampilkan wajah khawatir akan sosok wanita yang saat ini berada di dalam ruangan itu dengan seorang dokter yang tengah memeriksanya.
Ya, saat kejadian yang baru saja Ava alami di rumahnya, perempuan itu diketahui pingsan begitu saja. Tanpa kata langsung saja Kafka dan juga papanya membawa Ava ke rumah sakit. Rasya? Jangan harap Yarendra membiarkan dia mendekati Ava setelah apa yang baru saja diperbuat.
Yarendra menatap putranya yang terlihat begitu khawatir. Pandangannya mengikuti pergerakan Kafka yang berjalan mondar-mandir. "Kaf, kamu tenang dulu. Duduk sini."
"Tidak bisa, Pa. Aku tidak bisa tenang sebelum para dokter itu keluar dan memberita
Ava hamil? Waw. Lalu bagaimana akhir kisah rumah tangga mereka? Apakah Tuan Yarendra akan menuruti ucapan istrinya?
57. Kebenaran *** "Ayo a." Kafka mengarahkan sendok yang berisikan bubur ke mulut Ava. Sedari tadi ia begitu telaten menyuapi Ava yang susah untuk memasukkan makanan ke dalam perutnya. "Sudah Kafka. Aku sudah kenyang." Ava menyingkirkan tangan Kafka yang ada di hadapannya pelan. Kafka menghela napas. "Kamu baru makan beberapa suap saja. Kamu itu butuh asupan banyak, Sayang! Buat kamu, dan anak kita." Tangan Kafka mendarat pada perut rata Ava dan membelainya sayang. Ava hanya diam tanpa kata. Entah apa yang terjadi dalam hidupnya saat ini. Semua ini begitu rumit baginya. "Kamu mikirin apa, sih? Hem?" Telapak tangan Kafka kini membelai rambut Ava dan turun ke pipinya, perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya. Suara pintu terbuka mengalihkan atensi mereka. Desi memasuki ruang rawat Ava dengan senyuman lebar. "Mantu Mama!" Perempuan
58. Permintaan Ava *** “Ternyata bayi yang dikandung Ava bukan anakku. Tapi anak Kafka,” ucap Rasya tanpa basa-basi saat ia memeluk Clara dari belakang. Ucapan Rasya tentu saja membuat Clara terkejut. Masih dalam pelukan Rasya, Clara membalikkan tubuhnya menghadap Rasya. “Bagaimana bisa?” Rasya menghela napas dalam. “Entahlah. Yang jelas, tadi Papa memintaku datang untuk membicarakan sesuatu. Sesampainya di sana aku mendengar teriakan Kafka. Aku pikir ada apa, ternyata soal pengakuan itu. Aku mendengarnya sendiri dari mulut Kafka saat ia bicara dengan Papa. Setelahnya aku tidak tahu lagi karena langsung memutuskan pergi dari sana.” Clara mendengarkan baik setiap ucapan Rasya. "Keputusan yang papa kamu ambil benar-benar menghancurkan semua anaknya." Perempuan itu menghela napas dalam. "Aku tidak tahu.
59. Marah *** Selepas Ava memasuki kamar rawat Tuan Yarendra, juga Desi yang berpamitan ke kantin untuk membeli minuman, kedua kakak beradik ini tengah duduk termenung di ruang tunggu depan ruang rawat. Mereka sama-sama terdiam dan bermain dengan pikiran masing-masing. "Kayaknya semua bakal sama saja." Rasya memecah keheningan setelah ia dan Kafka hanya diam di koridor rumah sakit. Kafka yang mendengar menoleh, menatap sang kakak dengan satu alis yang menukik tanda tidak mengerti. "Maksudnya?" Rasya mengembuskan napasnya dalam. "Kayaknya Papa bakal tetep mempertahankan rumah tangga kami," ucapnya lirih yang masih bisa didengar Kafka. Kafka tahu kami yang dimaksud kakaknya pasti sang kakak dan juga Ava. Jujur saja, ia tidak menyukai perkataan itu. Detik selanjutnya pandangan mereka bertemu. "Kau lihat sendiri, kan,
60. Pengadilan *** Semenjak Tuan Yarendra keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, Rasya dan juga Ava tidak pernah lagi tinggal di rumah mereka. Keduanya sama-sama tinggal di rumah keluarga Tuan Yarendra. Hal itu dilakukan karena permintaan Ava beberapa waktu lalu mengenai perceraian. Jangan tanyakan bagaimana bahagianya Kafka saat itu. Ia selalu melayani Ava bak dia adalah suami siaga di mana sang istri tengah hamil. Beberapa kali Desi yang memang marah pada Ava menegur putra bungsunya akan sikap berlebihan itu. Pernah mulut Desi kembali berulah dengan kata-katanya yang sangat menyakiti Ava. "Katanya dia hamil dengan kamu, yang berarti bukan suaminya. Jangan-jangan, itu juga bukan anak kamu melainkan Pria lain." "Mama!" Kafka yang mendengar itu tentu saja marah. Bahkan ia sampai berdiri dan membanting sendok pada tangannya. Jan
61. Pembatalan *** Rasya menjalankan kendaraannya setelah memastikan Ava memasuki lobi apartemen. Ia melirik Clara yang hanya membuang pandangan ke arah luar kaca. Padahal, seingatnya tadi sang kekasih hanya menatap ke depan. "Kamu kenapa tidak membalas ucapan Ava?" tanya Rasya yang memecah keheningan di dalam mobil. Tidak ada jawaban dari Clara membuat pria itu menghela napas dalam. "Seharusnya kamu tidak bersikap demikian, Cla." Tepat setelah ia mengatakan hal demikian, Clara menatapnya cepat. Betapa terkejutnya ia mendapati wajah sang kekasih yang sembab karena air mata. "Kamu pikir, aku setega itu? Kamu pikir, aku tidak merasa bersalah pada Ava? Aku tertekan, Sya. Aku sedih," ucap Clara dengan air mata yang masih mengalir. "Bagaimanapun dia adalah sahabat aku. Karena aku kehidupanny
62. Lamaran *** Kafka menatap apa yang ia siapkan dengan perasaan puas. Semua yang ia lakukan seharian ini, terpampang nyata di hadapannya. Sesuai dengan keinginannya. Perasaan bahagia membuncah seketika dalam hati. Sebentar lagi, sebentar lagi apa yang ia inginkan akan segera terwujud. "Semuanya sudah siap. Tinggal kau membawa Ava datang kemari dan lakukan apa yang mau kau lakukan," ucap Ziqry yang berdiri di samping Kafka. Kafka menepuk pundak temannya itu dengan keras, tidak menghiraukan Ziqry yang meringis kesakitan. Pasalnya, ia terlalu bahagia saat ini. "Terima kasih karena sudah mau membantuku mempersiapkan semua ini." Sedikit ditambah remasan pada bahu pria di sampingnya, bukan menyakiti akan tetapi sebagai penyalur rasa bahagianya saat ini. "Sialan, kau!" Ziqry menepis tangan Kafka. Tidak ada kemarahan, hanya ada tawa dari bibir pria bermat
63. Kecelakaan *** "I can't," ucap Ava. Degupan jantung Kafka terasa semakin kencang. Kekhawatiran menguasainya dirinya, tetapi Kafka masih tetap berusaha untuk tenang. Pria bermata tajam itu tersenyum. "Aku tahu. Kamu tidak bisa. Tidak bisa menolak, bukan?" Terdengar tangis Ava yang menjadi isakan kecil. Perempuan yang ia cintai itu kembali menggelengkan kepalanya. "Maaf, Kaf. Maaf. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menerima kamu." Raut kekecewaan kini terpatri di wajah Kafka. Genggaman tangannya pada tangan putih mulus milik Ava mulai melonggar, pertanda bahwa si empunya mulai melepaskan diri dari jeratannya. Setelahnya ia melihat Ava yang pergi menjauh dari dirinya dengan pandangan kosong. Kafka yang masih terkejut akan jawaban itu hanya bisa mematung, berusaha mencerna bahwa wanita yang ia cintai hanya mengerjai dirinya. *** Ava terus berl
64. Kehilangan *** Kafka merasa tidak sabar melihat brankar yang masih didorong dari ambulance yang ditumpangi menuju rumah sakit. Ia merasa para perawat laki-laki itu terlalu lama melakukannya. Padahal, para perawat itu juga bertindak dengan cekatan ketika ambulance sudah memasuki area Rumah Sakit. Tanggapilah dengan wajar sikap Kafka ini. Perasaan panik yang pria itu rasakan saat ini membuat semuanya terasa salah di matanya. Kafka terus menggenggam erat tangan Ava. Tidak melepaskannya sedetik pun saat barankar berjalan menyusuri lorong panjang rumah sakit. Sebuah ruangan sudah menyambut mereka, Kafka terus melangkah ingin turut masuk bermaksud menemani perempuan yang dicintai. Namun, seorang perawat wanita mencegahnya.