59. Marah
***
"Kayaknya semua bakal sama saja." Rasya memecah keheningan setelah ia dan Kafka hanya diam di koridor rumah sakit.
Kafka yang mendengar menoleh, menatap sang kakak dengan satu alis yang menukik tanda tidak mengerti. "Maksudnya?"
Rasya mengembuskan napasnya dalam. "Kayaknya Papa bakal tetep mempertahankan rumah tangga kami," ucapnya lirih yang masih bisa didengar Kafka.
Kafka tahu kami yang dimaksud kakaknya pasti sang kakak dan juga Ava. Jujur saja, ia tidak menyukai perkataan itu. Detik selanjutnya pandangan mereka bertemu.
"Kau lihat sendiri, kan,
60. Pengadilan *** Semenjak Tuan Yarendra keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, Rasya dan juga Ava tidak pernah lagi tinggal di rumah mereka. Keduanya sama-sama tinggal di rumah keluarga Tuan Yarendra. Hal itu dilakukan karena permintaan Ava beberapa waktu lalu mengenai perceraian. Jangan tanyakan bagaimana bahagianya Kafka saat itu. Ia selalu melayani Ava bak dia adalah suami siaga di mana sang istri tengah hamil. Beberapa kali Desi yang memang marah pada Ava menegur putra bungsunya akan sikap berlebihan itu. Pernah mulut Desi kembali berulah dengan kata-katanya yang sangat menyakiti Ava. "Katanya dia hamil dengan kamu, yang berarti bukan suaminya. Jangan-jangan, itu juga bukan anak kamu melainkan Pria lain." "Mama!" Kafka yang mendengar itu tentu saja marah. Bahkan ia sampai berdiri dan membanting sendok pada tangannya. Jan
61. Pembatalan *** Rasya menjalankan kendaraannya setelah memastikan Ava memasuki lobi apartemen. Ia melirik Clara yang hanya membuang pandangan ke arah luar kaca. Padahal, seingatnya tadi sang kekasih hanya menatap ke depan. "Kamu kenapa tidak membalas ucapan Ava?" tanya Rasya yang memecah keheningan di dalam mobil. Tidak ada jawaban dari Clara membuat pria itu menghela napas dalam. "Seharusnya kamu tidak bersikap demikian, Cla." Tepat setelah ia mengatakan hal demikian, Clara menatapnya cepat. Betapa terkejutnya ia mendapati wajah sang kekasih yang sembab karena air mata. "Kamu pikir, aku setega itu? Kamu pikir, aku tidak merasa bersalah pada Ava? Aku tertekan, Sya. Aku sedih," ucap Clara dengan air mata yang masih mengalir. "Bagaimanapun dia adalah sahabat aku. Karena aku kehidupanny
62. Lamaran *** Kafka menatap apa yang ia siapkan dengan perasaan puas. Semua yang ia lakukan seharian ini, terpampang nyata di hadapannya. Sesuai dengan keinginannya. Perasaan bahagia membuncah seketika dalam hati. Sebentar lagi, sebentar lagi apa yang ia inginkan akan segera terwujud. "Semuanya sudah siap. Tinggal kau membawa Ava datang kemari dan lakukan apa yang mau kau lakukan," ucap Ziqry yang berdiri di samping Kafka. Kafka menepuk pundak temannya itu dengan keras, tidak menghiraukan Ziqry yang meringis kesakitan. Pasalnya, ia terlalu bahagia saat ini. "Terima kasih karena sudah mau membantuku mempersiapkan semua ini." Sedikit ditambah remasan pada bahu pria di sampingnya, bukan menyakiti akan tetapi sebagai penyalur rasa bahagianya saat ini. "Sialan, kau!" Ziqry menepis tangan Kafka. Tidak ada kemarahan, hanya ada tawa dari bibir pria bermat
63. Kecelakaan *** "I can't," ucap Ava. Degupan jantung Kafka terasa semakin kencang. Kekhawatiran menguasainya dirinya, tetapi Kafka masih tetap berusaha untuk tenang. Pria bermata tajam itu tersenyum. "Aku tahu. Kamu tidak bisa. Tidak bisa menolak, bukan?" Terdengar tangis Ava yang menjadi isakan kecil. Perempuan yang ia cintai itu kembali menggelengkan kepalanya. "Maaf, Kaf. Maaf. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menerima kamu." Raut kekecewaan kini terpatri di wajah Kafka. Genggaman tangannya pada tangan putih mulus milik Ava mulai melonggar, pertanda bahwa si empunya mulai melepaskan diri dari jeratannya. Setelahnya ia melihat Ava yang pergi menjauh dari dirinya dengan pandangan kosong. Kafka yang masih terkejut akan jawaban itu hanya bisa mematung, berusaha mencerna bahwa wanita yang ia cintai hanya mengerjai dirinya. *** Ava terus berl
64. Kehilangan *** Kafka merasa tidak sabar melihat brankar yang masih didorong dari ambulance yang ditumpangi menuju rumah sakit. Ia merasa para perawat laki-laki itu terlalu lama melakukannya. Padahal, para perawat itu juga bertindak dengan cekatan ketika ambulance sudah memasuki area Rumah Sakit. Tanggapilah dengan wajar sikap Kafka ini. Perasaan panik yang pria itu rasakan saat ini membuat semuanya terasa salah di matanya. Kafka terus menggenggam erat tangan Ava. Tidak melepaskannya sedetik pun saat barankar berjalan menyusuri lorong panjang rumah sakit. Sebuah ruangan sudah menyambut mereka, Kafka terus melangkah ingin turut masuk bermaksud menemani perempuan yang dicintai. Namun, seorang perawat wanita mencegahnya.
65. Pilu *** Kafka memegang erat tangan Ava yang masih terlelap. Beberapa saat lalu dokter harus menyuntikkan obat penenang untuk perempuan ini Karena di saat pertama kali sadar, Ava menanyakan keberadaan anaknya yang tidak lagi dapat dirasa dalam perutnya. Tentulah kabar yang diberikan dokter membuat Ava mengamuk. Perempuan itu syok tentunya. Merasa tidak terima, kecewa dan marah pada dirinya sendiri hingga ia menyakiti tubuhnya. Kafka semakin merasa tidak berdaya. Merasa semakin tidak berguna saat melihat keadaan Ava. Belum bisa dirinya mewujudkan kebahagiaan yang ia inginkan bersama Ava, semua musibah harus datang menerpa.
66. Pelajaran *** Kafka menutup pintu ruangan Ava ketika ia ingin menerima sebuah panggilan. Ia menatap dalam sebuah nama yang tertera pada layar benda pipih di tangannya. Digesernya warna hijau lalu mendekatkan ponsel pada telinga. "Bagaimana?" tanyanya ketika panggilan tersebut telah tersambung. Ia dengarkan dengan saksama penjelasan dari seseorang. "Baik. Aku akan segera ke sana." Ia memegang erat ponsel di tangannya, memandang ke depan dengan tatapan amarah. Seperti ada sesuatu yang sangat ingin ia tuntaskan. "Sebentar lagi." Memasuki kamar rawat Ava, Kafka bermaksud untuk berpamitan pada perempuan yang ia cintai. *** Kafka memarkirkan mobilnya di rumah tua yang tidak terpakai, terbengkalai karena yang punya meninggalkannya begitu saja. Ia menatap bangunan yang tampak kotor di mana tanaman merambat seolah menutupi beton yang ber
67. Pergi *** Seorang wanita paruh baya tengah menangis tergugu di dekapan sang suami. Pasangan suami istri itu menatap sedih keadaan putri mereka yang terbaring lemah di salah satu kamar rumah sakit. Kondisi putrinya sungguh memprihatinkan. Luka sayatan di wajah dan lengan tangannya meninggalkan bekas yang sangat kentara. Keluarga ini pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang mereka ingat, mereka mendengar teriakan putri mereka di tengah malam. Saat mereka menghampiri putrinya, mereka menemukan keadaan putri mereka dengan luka di sekujur tubuh. “Pa, sebenarnya apa yang terjadi dengan putri kita?” tanya wanita paruh baya itu pada sang suami. Wajahnya sembab dipenuhi air mata. Kulit putih kini sudah memerah akibat terlalu banyak tangis yang dikeluarkan. “Papa juga tidak tahu, Ma.” Keduanya kembali menatap nanar putri mereka yang masih belum sadarkan diri. Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat tiga ora