Share

11

last update Last Updated: 2021-04-09 19:36:26

Wisnumurti menatap sekeliling. Selalu saja tak pernah ada yang tak ia sukai dari kota ini. Ia merasa Kenipir adalah rumahnya juga, selain Karang Bendan dan tentunya Cakrabuana. Ia menyukai penduduknya, dan juga keahlian mereka memasak segala hal yang datang dari laut.

Mereka tiba tepat ketika azan dzuhur berkumandang dari masjid besar tepat di pusat kota. Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul memimpin di depan dengan kuda, sedang keluarga Ki Tanu naik pedati sederhana yang ditarik seekor kuda. Arah tujuan tentu langsung ke Gedong Gede, rumah besar Ki Gede Nipir yang terletak tak jauh dari alun-alun.

Berdasar penuturan orang-orang tua yang ia dengar, kedudukan Kenipir sebagai tanah perdikan didapat berkat peran almarhum Ki Wanacaya saat membantu mendiang Sultan Sindunagara bertakhta lebih dari 30 tahun lalu. Ia merupakan salah satu pembantu terpercaya Sultan kala itu.

Sebagai tanah perdikan, Kenipir bebas dari kewajiban untuk membayar pajak atau upeti kesetiaan pada Sultan. Mereka boleh melakukan apa saja sebagai sebuah daerah mandiri, kecuali membentuk pasukan tentara.

Saat Ki Wanacaya meninggal, putranya yang bernama Ki Rangganata melanjutkan gelar sebagai Ki Gede Nipir atas restu sultan kedua Pasir, Giriwangsa. Ayah Jaladri adalah putra kedua Ki Wanacaya. Sejak kecil memang ia tak menunjukkan minat pada dunia kepemimpinan dan ilmu bela diri. Bakat terbesarnya ada pada ranah perdagangan.

Dengan cepat mereka memasuki pekarangan lebar Gedong Gede. Wisnumurti sudah sangat akrab dengan tempat ini. Hanya saja sepertinya ada yang berbeda siang ini.

Banyak orang berkeliaran di sekitar halaman depan. Mereka menghias pendapa dengan memasang banyak sekali lentera. Obor-obor besar juga dijajar di pekarangan tepat di kanan-kiri pendapa. Ki Gede Nipir bahkan terlihat ada di depan, mengawasi langsung semua kesibukan.

“Wah, mau ada keramaian apa ini?” tanya Jaladri pelan, sambil mengamati suasana di sekelilingnya.

Sudah pasti Ki Gede Nipir membelalak senang melihat tamu-tamu yang datang tanpa pemberitahuan itu. Terlebih karena Wisnumurti si tukang keluyuran ada pula bersama mereka.

“Kudengar kau baru saja mengembara ke timur dan utara,” kata Ki Gede Nipir penuh semangat, dan tak sabar untuk bisa segera latihan adu otot melawan Wisnumurti besok pagi.

“Betul, Paman Gede. Karena sudah rindu rumah, saya pun balik kemari,” kata Wisnumurti sopan.

Ki Gede Nipir baginya adalah salah satu kenalan terdekat. Ia kenal pria tegap berewokan berusia akhir 40-an itu justru lebih dahulu daripada perkenalannya dengan keluarga Ki Soma. Sang penguasa Kenipir berkali-kali berkunjung ke Gunung Cakrabuana, dan ia mengenal Ki Gede Nipir dalam salah satu kunjungan itu sekitar delapan atau sembilan tahun lalu.

“Nah, ini siapa?” lalu mata Ki Gede mampir ke keluarga Ki Tanu.

“Mereka dari Brabo, ingin suwita di sini, jika diperkenankan,” kata Wisnumurti, menyebut kata “suwita” yang berarti keinginan untuk bekerja dalam arti mengabdi, dan bukan semata-mata untuk mencari penghasilan semata. “Ki Tanu ini pandai besi. Mungkin ada lowongan pekerjaan di sini. Sedang Nyai Tanu pintar memasak.”

“Wah, wah, kebetulan sekali. Aku memang perlu pandai besi baru. Bilik kerjaku baru saja menerima pesanan arit dan cangkul dalam jumlah besar dari Saba.”

Ki Gede memanggil salah seorang pembantunya, yang diberi perintah agar memberikan tempat tinggal sementara pada keluarga Ki Tanu. Mereka pun mengikuti sang pembantu ke tempat lain, setelah mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga pada Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul.

“Anak itu manis juga,” kata Ki Gede kemudian, setelah ia dan mereka bertiga menghadapi camilan dan minuman di pendapa. “Kau belum ingin beristri, Dri?”

“Belum, Wa,” Jaladri menggeleng. “Kata Bapak, tahun depan aku dicarikan calon istri.”

“Kenapa tidak mencari sendiri, seperti kebiasaan orang rimba persilatan?”

Jaladri melongo. “Bisa ya?”

Ki Gede tertawa. Wisnumurti juga.

Umumnya kalangan masyarakat memang menikah lewat perjodohan, yang dilakukan orangtua atau wali. Warga kasta rendah mengusahakan agar anak perempuan selekas mungkin diboyong pergi oleh seorang pria. Sedang bangsawan dan kalangan atas mengikatkan anak-anak mereka demi kerjasama usaha, penggabungan lahan tanah, atau persekutuan antarnegara.

Para anak juga tak pernah membantah alur penyatuan yang demikian itu. Mereka dipertemukan satu kali dengan calon jodoh, lalu pekan berikutnya pernikahan sudah terselenggara. Dan cara ini menjumpai kesimpulan yang paripurna saat ajaran Islam datang dan mengajarkan soal ta’aruf, yang kurang lebih juga menganjurkan pernikahan melalui alur serupa.

Hal beda terjadi di kalangan pesilat. Rata-rata berjiwa bebas dan penuh gairah pemberontakan, mereka nerak wewaler atau melawan tatanan dengan menolak perjodohan. Mereka akan menikmati ketertarikan pada lawan jenis sepuas mungkin, memilih satu calon yang paling cocok, dan baru kemudian menikah.

Ini tentu saja dianggap sebagai penyimpangan yang menyesatkan oleh sebagian besar kalangan masyarakat. Apalagi karena para perempuan yang seharusnya harus puas menerima peran sebagai kanca wingking atau teman di belakang--yaitu di dapur--pun nekad ingin mengambil peran menonjol dengan mempelajari ilmu bela diri atau bidang-bidang ilmu lainnya.

“Tentu saja bisa,” kata Ki Gede Nipir. “Lihat saja sekelilingmu! Kalau ada yang membuatmu tertarik, datangi saja. Ajak berkenalan! Gadis mana pun pasti mau didekati oleh anak kaya raya sepertimu. Lalu kau tinggal lapor pada bapakmu agar dia dilamar.”

“Dan Paman Gede benar, Sarni itu manis sekali,” sahut Wisnumurti. “Dia bisa menjadi calon Nyai Jaladri yang sempurna. Pangeran Candrakumala saja tertarik.”

Ki Gede melengak. “Astaga! Jadi itu alasannya dia dan keluarga kalian bawa ke sini?”

Wisnumurti mengangguk. “Bukan karena akan diambil Jaladri. Belum, setidaknya. Hanya saja, terjadi sedikit kerumitan saat kemarin para bawahan sang pangeran tengah berusaha menjemput Sarni dari rumahnya.”

Ia kemudian menceritakan peristiwa kemarin sore di Brabo. Ki Gede ngakak keras sekali waktu cerita Wisnumurti sampai pada bagian ketika Jaladri dan Bajul saling menukar-nukar nama kepada Senopati Natpada.

“Ki Buyut Brabo saya minta agar memberitahu bahwa keluarga Ki Tanu hijrah ke Paranggelung di timur laut untuk mencari kehidupan baru, jika suatu saat Pangeran Candrakumala mengirim utusan lagi untuk kembali mengambil Sarni,” kata Wisnumurti mengakhiri kisahnya. “Tapi sepertinya kecil kemungkinan itu terjadi. Dia pasti menerima puluhan laporan tentang gadis cantik tiap hari. Sarni hanya salah satu di antaranya, yang akan segera dia lupakan.”

“Dia sepertinya cukup cerdas. Aku akan coba memberinya sedikit pendidikan, agar dia tak menjadi seperti perempuan pada umumnya. Mungkin saja tulangnya cukup bagus untuk dilatih bela diri. Sekalipun tidak, itu setidaknya cukup untuk membuatnya berolahraga dan membuka wawasan pikirannya terhadap hal-hal baru.”

“Dan jika dia dipoles dengan cukup baik sehingga derajatnya naik, Paman Soma pasti akan dengan senang hati mengambilnya untuk Jaladri.”

“Lebih bagus lagi kalau dia kuangkat sebagai anak. Jaladri bisa bisa jadi mantuku, meski hanya mantu angkat.”

Wisnumurti tertawa. “Setuju, setuju.”

Jaladri memukul-mukul lantai pendapa tepat di depannya.

“Maaf ya. Menggunjingkan orang lain itu harusnya dilakukan saat orangnya sedang tidak ada di sini! Mudeng tidak!?”

Mereka semua tertawa. Dan suasana langsung menjadi hiruk pikuk saat dari dalam rumah muncul para perempuan kesayangan Ki Gede. Siapa lagi kalau bukan Nyai Gede yang ramah dan keibuan serta Pratiwi yang bandel dan sejak kecil bertingkah polah mirip anak laki-laki. Mereka berdua sudah pasti jauh lebih heboh dari Ki Gede menyambut mereka, terutama pada Wisnumurti.

“Lha kok pas. Ini mau ada acara,” kata Nyai Gede sumringah, sementara Pratiwi dengan santainya langsung nemplok di pangkuan Wisnumurti.

“Acara apa, Bibi Gede?” sahut pemuda itu sambil menguyel-uyel pipi Pratiwi. “Sepertinya bakal ramai banget nanti malam.”

“Cuma bersih desa, dan mengirim sesajian ke pantai. Tapi Ki Gede mau yang kali ini mengundang beberapa demang di sekitar sini. Makanya nanti pesertanya agak banyak, dan orang-orang penting semua.”

“Wah, pasti ada kambing guling tuh!” celetuk Jaladri.

“Jelas. Dan salah satu pembantu baru di sini menyarankan seorang tukang masak baru yang masakannya luaaaar biasa enak katanya. Dia yang akan khusus memasak santapan nanti malam. Kita nanti akan cicip seperti apa cita rasanya,” Ki Gede lalu menoleh ke anak gadisnya. “Heh, yang sopan sama tamu! Masa langsung diduduki seperti itu?”

Pratiwi tertawa, malah merangkulkan kedua tangannya ke leher Wisnumurti.

“Si Kakang ini kan bukan tamu, tapi warga sini juga,” kata dia dengan logat yang lucu. “Jadi sah-sah saja kalau diduduki.”

Wisnumurti tertawa, tapi sambil menahan napas.

Putri tunggal Ki Gede itu berkulit bersih, kecoklatan sawo matang, dengan mata yang lebar dan alis yang tebal pekat. Tindak tanduknya yang mirip anak laki-laki membuat sang ayah kemudian melatihnya ilmu bela diri. Dan dia cukup bisa mengikuti semua pelajaran dengan baik.

Terakhir kali Wisnumurti singgah kemari tahun lalu, Pratiwi sudah cukup enak diajak bertarung satu lawan satu maupun dengan senjata. Gerakannya cekatan dan mantap. Dalam beberapa hal, sebagai sesama pembelajar yang tak secara khusus memang ingin hidup di jalan pedang yang keras, Pratiwi lebih berbakat dalam olah kanuragan daripada Jaladri.

Tapi bukan itu yang kini muncul di pikiran Wisnumurti.

Setahun lalu, saat berusia 13 tahun lebih sedikit, Pratiwi masih berwujud layaknya anak kecil yang lucu dan konyol. Tapi hari ini mendadak dia sudah jauh berubah. Di mata Wisnumurti, kulit Pratiwi terutama pada bagian wajah makin nampak terang. Selain itu dadanya sudah terbentuk sempurna.

Dan sekarang, dengan gadis itu masih bertingkah seperti anak kecil padanya dengan tahu-tahu duduk di pangkuannya bahkan merangkul, satu perbedaan yang amat khusus sangat jelas terasa. Dulu memangku Pratiwi kecil adalah sebuah kebiasaan sehari-hari. Kini hal itu membuatnya berpikir tentang satu bentuk kehangatan yang menyenangkan sekaligus mendebarkan. Dan ia menikmatinya, serta mendadak merasa sungkan—hanya karena saat ini ada banyak orang di sekeliling mereka.

Baru kemudian pemuda itu menyadari sesuatu. Pratiwi pasti telah mendapatkan haidnya yang pertama. Tak aneh dia berubah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menuju Matahari   79

    Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den

  • Menuju Matahari   78

    Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta

  • Menuju Matahari   77

    “Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai

  • Menuju Matahari   76

    “Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi

  • Menuju Matahari   75

    Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya

  • Menuju Matahari   74

    Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status