Share

10

Alis Senopati Natpada berkerut.

Kaki kanannya kemudian terulur, mengangkat dagu pria di depannya hingga kepalanya terdongak.

“Apa? Apa yang mau kausampaikan padaku?”

Pria rapuh itu makin kencang gemetar. Sebagian karena kedinginan, sebagian lagi karena keder berhadapan langsung dengan seorang senopati Keraton.

“D-dia... anak... Ki Soma...”

“Apa?” Senopati Natpada mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, dengan tangan menjambak rambut kuat sekali. “Tidak dengar.”

“Katanya, anak muda yang kemarin kurang ajar terhadap Gusti Senopati adalah putra Ki Somanagara,” kata prajurit yang bernama Pangat.

“Anak Ki Somanagara? Pedagang beras dan perhiasan dari Karang Bendan itu?”

“Betul, Gusti. Orang ini warga Brabo juga, dan semalam ikut berkumpul makan-makan dengan mereka bertiga. Begitu ia sudah memastikan jadi diri mereka, ia langsung menyusul Gusti kemari. Semua ini demi cinta dan baktinya pada Keraton Pasir.”

Senopati Natpada meremas tinjunya. “Jadi dia bohong waktu bilang namanya Bajul?”

“Betul, Gusti. Agar Gusti tidak mengenai siapa dirinya, karena nama dan wajahnya sudah dikenal di seluruh wilayah Karang Bendan. Sedang Bajul tak lain ada pria satunya lagi, yang mengaku pada Gusti bernama Murti. Dia tak lain adalah pengawal pribadi Jaladri. Sementara itu, Murti adalah orang yang mengaku bernama Seta kepada Gusti. Tapi dia memang benar-benar berasal dari Gunung Cakrabuana. Bahkan anak itu merupakan salah satu wisudawan terbaik dari sana. Namanya Wisnumurti.”

Kepala yang mendidih menggerakkan kakinya menyepak sembarangan. Pria di depannya mengaduh, mencelat berguling masuk sesemakan lebat berduri dan lalu tak ada gerakan lagi dari sana.

“Bajingan! Aku dikerjai anak-anak kecil!”

Para prajurit seketika berlutut.

“Mohon perintah! Hamba dan kawan-kawan akan bereskan mereka bertiga!” kata Bekel Damar mewakili yang lainnya.

Senopati Natpada mengibaskan tangannya.

“Tidak perlu! Itu nanti saja. Sekarang kita harus sesegera mungkin tiba di istana. Ayo, cepat!”

Para serdadu bergegas mendatangi kuda masing-masing begitu sang pemimpin melesat pergi dengan kudanya. Mereka menghilang dengan cepat. Dan tempat itu kembali dicekam kesunyian seperti biasanya.

***

Pondok kecil itu terletak di salah satu sisi terluar sebelah utara dari Kenipir. Ada kebun ketela dan pisang di sekelilingnya. Pada pagi menjelang siang seperti sekarang ini, tak aneh bila rumah warga berada dalam keadaan sepi. Sang suami pasti sedang bekerja, atau ke sawah. Sedang sang istri barangkali tengah sibuk memasak di dapur.

Maka ketika kemudian Remak si bongkok menghentikan kudanya beberapa hasta dari pintu depan, ia sempat tak yakin ini tempatnya. Ia lalu menambatkan kuda di pohon terdekat, lalu melangkah masuk dengan santai seperti tengah akan menuju rumah sendiri.

Remak berumur akhir 30-an, memiliki ketidakberuntungan berupa bentuk punggung dan tengkuk yang tak sempurna. Bentuknya mirip punuk sapi, dan membuatnya selalu jauh dari lawan jenis. Kata mendiang ayahnya dulu, yang telah hampir tak ia ingat lagi wajahnya, itu ia terima karena karma buruk sang ayah pada masa lalu.

Atau barangkali karena ada gendruwo masuk ke rahim ibunya saat mengandungnya.

Apa pun itu, ia tak peduli lagi kini. Selalu ada hal besar yang jauh lebih penting untuk diurus. Dan itu membuat langkahnya mantap. Toh kalau ada yang mengganggu, ia tinggal sabet menggunakan tongkat kayu di tangannya. Habis perkara.

Mata tajam pada wajah yang penuh bekas bercak jerawat parah itu menghunjam ke satu arah. Ada aroma yang menggoda datang dari belakang. Ia melangkah melintasi ruang tengah yang hanya memuat satu amben besar dan satu peti tempat menyimpan pakaian. Di dapur, sumber aroma memastikan bahwa tempat ini tidaklah keliru.

“Sudah jadi?” tanya dia pendek.

“Kedatanganmu sangat tepat,” Suwung Saketi mengangkat daging dari penggorengan dan meletakkannya pada piring tanah liat yang dilapisi daun pisang. “Ambil nasinya!”

Suwung Saketi berwajah dan berkulit bersih, mirip kalangan bangsawan tinggi. Wajahnya selalu halus, karena ia rajin memangkas kumis dan jenggotnya. Dan itu membuat mukanya seperti terlihat pucat. Dengan tubuh yang kurus ramping dan perut yang masih rata, orang kerap mengira ia 10 tahun lebih muda dari usia sebenarnya yang telah menginjak akhir kepala empat.

Beda dari Remak yang sekilas mirip onggokan sampah, Suwung Saketi adalah kebalikan yang sangat nyata. Ia seperti terlahir untuk menjadi orang penting.

Dapur kemudian penuh asap saat Remak mematikan nyala api dari kayu di luweng. Periuk gerabah yang ada di mulut kedua luweng tepat di sisi mulut pertama yang memuat wajan memang berisi nasi yang baru saja masak. Ia ambil seperlunya untuk ia pindahkan ke wadah nasi yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah itu ia bawa wadah nasi itu ke amben di ruang tengah.

Saketi sudah menunggu di sana, bersama dua potong daging goreng besar yang sungguh nampak menyelerakan. Satu piring lain selain dua piring yang akan mereka gunakan bersantap berisi sambal merah yang baunya sangat menggoda indera penciuman.

Memasak memang satu lagi keahlian pria itu selain membunuh dengan tangan kosong.

“Daging apa ini?” tanya Remak, mengambil satu potong daging yang masih panas membara tanpa kerepotan sama sekali.

“Kaki,” Suwung Saketi menjawab pendek, lalu menunggu. “Bagaimana?”

Remak menggigit daging, sekali lagi tanpa terpengaruh hawa panas daging yang baru saja dikeluarkan dari minyak mendidih. Berikutnya ia menyusulkan nasi yang kuyup sambal ke mulut.

“Enak. Matangnya pas. Renyah juga. Aku suka cita rasa gurihnya. Membuat kita ingin lebih dan lebih.”

“Dagingnya bagaimana? Masih terasa terlalu berserat?”

Remak menatap ke arah lain selagi ia mengamati tiap kunyahannya pada daging. Beberapa bagian gigi yang bolong dan patah sedikit menyulitkannya untuk itu.

“Tidak kok. Entah bagaimana caranya, kau bisa membuat seratnya tak terasa. Orang yang tak tahu pasti mengira ini ayam, atau kambing.”

Saketi mengangguk-angguk puas. “Tak sia-sia aku berlatih. Jadi bagaimana? Semua berjalan lancar?”

Remak mengangguk sambil sibuk terus mengunyah.

“Tak ada hambatan. Acaranya nanti malam. Sebelum dzuhur ini nanti kau sudah harus ada di dapur untuk mulai memasak. Karena akan ada hidangan tambahan, maka kau akan bekerja lebih keras dari para juru masak lainnya”

Suwung mengangguk. “Tak soal. Demi pembalasan dendam Trah Wiramukti, kita lakukan yang perlu kita lakukan.”

“Dan jangan lupa! Ada satu pembalasan dendam lagi menunggu, terkait Salem.”

“Kita akan segera sampai ke sana. Tak lama lagi, sesudah yang ini beres.”

“Sudah ada berita lebih lanjut dari Bocor di Pajang?”

“Tidak bagus. Dia malah menjauh dari tempat ia seharusnya melakukan pencarian.”

“Ada apa?”

“Dia dipindahtugaskan ke Kedu dan Bagelen, menjadi penarik pajak di kedua wilayah itu, entah sampai kapan.”

Remak terpaku sesaat. “Kedu dan Bagelen justru mendekat ke wewengkon Pasir. Adipati Karang Bendan pernah berpikir untuk memasukkan Bagelen ke wilayahnya, agar ia bisa dengan lebih mudah mengamati kelompok kita di Saba.”

“Tak apa. Barangkali saja ia justru menemukan petunjuk tak terduga di tempat penugasannya yang baru. Siapa tahu?”

“Semoga saja begitu. Hmm... aku tak mengira daging kaki bisa seempuk dan seenak ini. Rasanya lumer di mulut.”

Suwung Saketi hanya mengangkat alis, tak menyahut. Pria yang terbaring tengkurap di sisi amben itu sudah pasti tak bisa juga memberi sahutan.

Darah kental masih menggenang dari luka menganga yang membuat lehernya nyaris putus. Satu luka lagi yang menjadi sumber pengeluaran darah adalah pada tungkai kaki kanan. Dan ada yang tak biasa di situ.

Bagian bawah dari lutut hingga telapak kaki tak ada lagi pada tempat seharusnya ia berada.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status