Share

10

last update Last Updated: 2021-04-09 12:13:24

Alis Senopati Natpada berkerut.

Kaki kanannya kemudian terulur, mengangkat dagu pria di depannya hingga kepalanya terdongak.

“Apa? Apa yang mau kausampaikan padaku?”

Pria rapuh itu makin kencang gemetar. Sebagian karena kedinginan, sebagian lagi karena keder berhadapan langsung dengan seorang senopati Keraton.

“D-dia... anak... Ki Soma...”

“Apa?” Senopati Natpada mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, dengan tangan menjambak rambut kuat sekali. “Tidak dengar.”

“Katanya, anak muda yang kemarin kurang ajar terhadap Gusti Senopati adalah putra Ki Somanagara,” kata prajurit yang bernama Pangat.

“Anak Ki Somanagara? Pedagang beras dan perhiasan dari Karang Bendan itu?”

“Betul, Gusti. Orang ini warga Brabo juga, dan semalam ikut berkumpul makan-makan dengan mereka bertiga. Begitu ia sudah memastikan jadi diri mereka, ia langsung menyusul Gusti kemari. Semua ini demi cinta dan baktinya pada Keraton Pasir.”

Senopati Natpada meremas tinjunya. “Jadi dia bohong waktu bilang namanya Bajul?”

“Betul, Gusti. Agar Gusti tidak mengenai siapa dirinya, karena nama dan wajahnya sudah dikenal di seluruh wilayah Karang Bendan. Sedang Bajul tak lain ada pria satunya lagi, yang mengaku pada Gusti bernama Murti. Dia tak lain adalah pengawal pribadi Jaladri. Sementara itu, Murti adalah orang yang mengaku bernama Seta kepada Gusti. Tapi dia memang benar-benar berasal dari Gunung Cakrabuana. Bahkan anak itu merupakan salah satu wisudawan terbaik dari sana. Namanya Wisnumurti.”

Kepala yang mendidih menggerakkan kakinya menyepak sembarangan. Pria di depannya mengaduh, mencelat berguling masuk sesemakan lebat berduri dan lalu tak ada gerakan lagi dari sana.

“Bajingan! Aku dikerjai anak-anak kecil!”

Para prajurit seketika berlutut.

“Mohon perintah! Hamba dan kawan-kawan akan bereskan mereka bertiga!” kata Bekel Damar mewakili yang lainnya.

Senopati Natpada mengibaskan tangannya.

“Tidak perlu! Itu nanti saja. Sekarang kita harus sesegera mungkin tiba di istana. Ayo, cepat!”

Para serdadu bergegas mendatangi kuda masing-masing begitu sang pemimpin melesat pergi dengan kudanya. Mereka menghilang dengan cepat. Dan tempat itu kembali dicekam kesunyian seperti biasanya.

***

Pondok kecil itu terletak di salah satu sisi terluar sebelah utara dari Kenipir. Ada kebun ketela dan pisang di sekelilingnya. Pada pagi menjelang siang seperti sekarang ini, tak aneh bila rumah warga berada dalam keadaan sepi. Sang suami pasti sedang bekerja, atau ke sawah. Sedang sang istri barangkali tengah sibuk memasak di dapur.

Maka ketika kemudian Remak si bongkok menghentikan kudanya beberapa hasta dari pintu depan, ia sempat tak yakin ini tempatnya. Ia lalu menambatkan kuda di pohon terdekat, lalu melangkah masuk dengan santai seperti tengah akan menuju rumah sendiri.

Remak berumur akhir 30-an, memiliki ketidakberuntungan berupa bentuk punggung dan tengkuk yang tak sempurna. Bentuknya mirip punuk sapi, dan membuatnya selalu jauh dari lawan jenis. Kata mendiang ayahnya dulu, yang telah hampir tak ia ingat lagi wajahnya, itu ia terima karena karma buruk sang ayah pada masa lalu.

Atau barangkali karena ada gendruwo masuk ke rahim ibunya saat mengandungnya.

Apa pun itu, ia tak peduli lagi kini. Selalu ada hal besar yang jauh lebih penting untuk diurus. Dan itu membuat langkahnya mantap. Toh kalau ada yang mengganggu, ia tinggal sabet menggunakan tongkat kayu di tangannya. Habis perkara.

Mata tajam pada wajah yang penuh bekas bercak jerawat parah itu menghunjam ke satu arah. Ada aroma yang menggoda datang dari belakang. Ia melangkah melintasi ruang tengah yang hanya memuat satu amben besar dan satu peti tempat menyimpan pakaian. Di dapur, sumber aroma memastikan bahwa tempat ini tidaklah keliru.

“Sudah jadi?” tanya dia pendek.

“Kedatanganmu sangat tepat,” Suwung Saketi mengangkat daging dari penggorengan dan meletakkannya pada piring tanah liat yang dilapisi daun pisang. “Ambil nasinya!”

Suwung Saketi berwajah dan berkulit bersih, mirip kalangan bangsawan tinggi. Wajahnya selalu halus, karena ia rajin memangkas kumis dan jenggotnya. Dan itu membuat mukanya seperti terlihat pucat. Dengan tubuh yang kurus ramping dan perut yang masih rata, orang kerap mengira ia 10 tahun lebih muda dari usia sebenarnya yang telah menginjak akhir kepala empat.

Beda dari Remak yang sekilas mirip onggokan sampah, Suwung Saketi adalah kebalikan yang sangat nyata. Ia seperti terlahir untuk menjadi orang penting.

Dapur kemudian penuh asap saat Remak mematikan nyala api dari kayu di luweng. Periuk gerabah yang ada di mulut kedua luweng tepat di sisi mulut pertama yang memuat wajan memang berisi nasi yang baru saja masak. Ia ambil seperlunya untuk ia pindahkan ke wadah nasi yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah itu ia bawa wadah nasi itu ke amben di ruang tengah.

Saketi sudah menunggu di sana, bersama dua potong daging goreng besar yang sungguh nampak menyelerakan. Satu piring lain selain dua piring yang akan mereka gunakan bersantap berisi sambal merah yang baunya sangat menggoda indera penciuman.

Memasak memang satu lagi keahlian pria itu selain membunuh dengan tangan kosong.

“Daging apa ini?” tanya Remak, mengambil satu potong daging yang masih panas membara tanpa kerepotan sama sekali.

“Kaki,” Suwung Saketi menjawab pendek, lalu menunggu. “Bagaimana?”

Remak menggigit daging, sekali lagi tanpa terpengaruh hawa panas daging yang baru saja dikeluarkan dari minyak mendidih. Berikutnya ia menyusulkan nasi yang kuyup sambal ke mulut.

“Enak. Matangnya pas. Renyah juga. Aku suka cita rasa gurihnya. Membuat kita ingin lebih dan lebih.”

“Dagingnya bagaimana? Masih terasa terlalu berserat?”

Remak menatap ke arah lain selagi ia mengamati tiap kunyahannya pada daging. Beberapa bagian gigi yang bolong dan patah sedikit menyulitkannya untuk itu.

“Tidak kok. Entah bagaimana caranya, kau bisa membuat seratnya tak terasa. Orang yang tak tahu pasti mengira ini ayam, atau kambing.”

Saketi mengangguk-angguk puas. “Tak sia-sia aku berlatih. Jadi bagaimana? Semua berjalan lancar?”

Remak mengangguk sambil sibuk terus mengunyah.

“Tak ada hambatan. Acaranya nanti malam. Sebelum dzuhur ini nanti kau sudah harus ada di dapur untuk mulai memasak. Karena akan ada hidangan tambahan, maka kau akan bekerja lebih keras dari para juru masak lainnya”

Suwung mengangguk. “Tak soal. Demi pembalasan dendam Trah Wiramukti, kita lakukan yang perlu kita lakukan.”

“Dan jangan lupa! Ada satu pembalasan dendam lagi menunggu, terkait Salem.”

“Kita akan segera sampai ke sana. Tak lama lagi, sesudah yang ini beres.”

“Sudah ada berita lebih lanjut dari Bocor di Pajang?”

“Tidak bagus. Dia malah menjauh dari tempat ia seharusnya melakukan pencarian.”

“Ada apa?”

“Dia dipindahtugaskan ke Kedu dan Bagelen, menjadi penarik pajak di kedua wilayah itu, entah sampai kapan.”

Remak terpaku sesaat. “Kedu dan Bagelen justru mendekat ke wewengkon Pasir. Adipati Karang Bendan pernah berpikir untuk memasukkan Bagelen ke wilayahnya, agar ia bisa dengan lebih mudah mengamati kelompok kita di Saba.”

“Tak apa. Barangkali saja ia justru menemukan petunjuk tak terduga di tempat penugasannya yang baru. Siapa tahu?”

“Semoga saja begitu. Hmm... aku tak mengira daging kaki bisa seempuk dan seenak ini. Rasanya lumer di mulut.”

Suwung Saketi hanya mengangkat alis, tak menyahut. Pria yang terbaring tengkurap di sisi amben itu sudah pasti tak bisa juga memberi sahutan.

Darah kental masih menggenang dari luka menganga yang membuat lehernya nyaris putus. Satu luka lagi yang menjadi sumber pengeluaran darah adalah pada tungkai kaki kanan. Dan ada yang tak biasa di situ.

Bagian bawah dari lutut hingga telapak kaki tak ada lagi pada tempat seharusnya ia berada.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menuju Matahari   79

    Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den

  • Menuju Matahari   78

    Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta

  • Menuju Matahari   77

    “Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai

  • Menuju Matahari   76

    “Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi

  • Menuju Matahari   75

    Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya

  • Menuju Matahari   74

    Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status