Share

7

Gadis kencur itu pastilah yang tengah dikehendaki Pangeran Candrakumala untuk menjadi selirnya yang kesekian. Mungkin sang pangeran mendengar berita tentangnya dari para bawahan yang melewati desa-desa tertentu, seperti Brabo sekarang ini. Lalu ia tertarik dan mengirimkan senopatinya untuk melakukan penjemputan.

Sebagai makhluk yang kerap keluyuran, Wisnumurti sudah terlalu sering melihat peristiwa semacam itu. Biasanya ia akan cuek saja, tak mau ikut campur dalam urusan orang-orang kerajaan. Kali ini masalahnya adalah kekerasan yang dilakukan para anak buah senopati itu terhadap keluarga sang gadis.

Ia bisa memahami mengapa Jaladri begitu marah barusan. Mereka baru saja melihat bayi dan anak-anak balita terbunuh di dua tempat. Maka ada bayi bergulir tergelincir lepas dari tangan ibunya yang didorong-dorong kasar ke tanah oleh tiga pria sekaligus jelas sangat mudah membuat tekanan darah naik.

Barangkali saja sebentar tadi sempat muncul sikap yang kurang legawa dan bersahabat dari keluarga sang gadis, sehingga mereka diseret seperti itu. Atau mungkin gadis itu sendiri yang terlihat tak rela, karena ia masih belum mau dilepas dari keluarga untuk seterusnya seumur hidup.

Wisnumurti berpikir cepat. Karena ada Jaladri, urusan jadi rumit. Nama dan wajah anak itu sudah dikenal luas di antara Karang Bendan dan Kenipir. Orang sedesa sini tahu siapa dia. Jika jati dirinya sampai terungkap, ia bisa saja dicap sebagai pemberontak. Keluarga Ki Soma akan berada dalam bahaya besar.

Maka tak ada pilihan lain selain mengalah. Satu kali kedipan penuh isyarat dari Wisnumurti untungnya membuat Jaladri dengan cepat paham pula peliknya keadaan. Pemuda itu, meski enggan, ikut berlutut.

Sayang semua ternyata tak berlalu dengan mudah begitu saja. Sang senopati memang menyarungkan kerisnya, tapi itu ternyata hanya untuk membuatnya bisa leluasa menapakkan kaki menghampiri tiga pendatang baru yang memang lancang itu. Dalam jarak seratus langkah, siapapun harus berjongkok atau bersimpuh di hadapan warga Keraton pusat, tanpa kecuali. Dan karena tak tahu sedang ada apa, ketiganya tadi masih ada di punggung kuda tepat di hadapan senopati itu dan para pengawalnya.

Tentu saja, karena tadi yang berulah paling awal adalah Jaladri, dialah yang kemudian didatangi Senopati Natpada.

“Kamu siapa?” tanya senopati itu, pelan dan datar namun penuh aura membunuh.

Jaladri meneguk ludah. Sial! Ia sangat tidak bersiap untuk kejadian begini. Kalau ia jawab terus terang siapa dirinya, yang kena hukuman bukan hanya ia satu orang. Ayah, ibu, dan adiknya bisa-bisa bakal kena juga. Terlebih ini bukan tentara dari negeri bawahan, melainkan langsung dari pusat.

“S-saya...” mati-matian ia mengarang nama. “Mohon beribu ampun. Hamba... Bajul.”

Bajul mendelik. Kalau Jaladri memakai nama itu, dirinya sendiri harus menggunakan nama apa jika nanti ditanyai juga?

Wisnumurti hampir tak sanggup menahan tawa.

“Bajul, kau dari mana?” Senopati Natpada menampol kepala Jaladri hingga ikat kepala anak itu mencelat, lalu menjambak rambutnya sekuat tenaga. “Perkasa sekali kau ya, di depan senopati Keraton tidak turun dari kuda lalu menyembah hingga hidung dan mulutmu yang tak berharga itu mencium tanah becek!”

Jaladri menggeram pelan dengan urat leher menegang sempurna. Bajingan orang ini! Jambakannya kuat sekali!

“H-hamba dari Karang Bendan.”

“Apakah semua orang Karang Bendan begitu? Merasa jumawa karena kota kalian makmur dan kaya? Ha!?”

Jaladri sudah membuka mulut untuk menjawab, tapi Senopati Natpada menoleh pada Bajul.

“Dan kau, siapa namamu!?”

Pria itu tercekat sesaat. “Hamba... hamba Murti.”

Alis Senopati Natpada berkerut. “Murti? Wajah? Pilihan nama yang salah untuk orang dengan muka sejelek kau. Bukankah itu sama saja dengan membohongi seisi alam semesta?”

Wisnumurti kembali nyaris tertawa.

“Dan siapa pula kau ini? Melihat ototmu, kau pastilah pakar bela diri. Aku betul, bukan?”

Wisnumurti batal ketawa. Kembali waspada tingkat dewa. Senopati satu ini ternyata seorang pengamat yang tajam dan cerdas.

“Nama hamba Seta. Hamba dari Gunung Cakrabuana.”

Seta berarti putih. Cocok dengan baju yang dipakainya saat ini. Dan ia menyebut nama perguruannya dengan harapan senopati di hadapannya ini akan segan lalu mengurusi kembali tugas utamanya di situ, dan bukan malah sibuk dengan dirinya, Jaladri, dan Bajul.

Nama padepokan sekaligus pondok pesantren Cakrabuana memang sangat berpengaruh, sehingga para penguasa pun harus berpikir dua kali saat bertemu orang-orang dari sana.

“Kau murid Panembahan Singgih?” tanya Senopati Natpada, dengan nada suara sedikit melunak.

“Hamba hanya pembantu rendahan di sana. Sama sekali tak berharga.”

Senopati Natpada mendengus. “Karena kau murid Panembahan Singgih, aku tidak mengganggumu. Tapi temanmu yang satu ini benar-benar kurang aj...!”

Makin gondok karena tak bisa melakukan tindak kekerasan pada pemuda bernama Seta itu, sasaran sang senopati yang paling empuk kembali ke anak muda yang mengaku bernama Bajul. Kakinya terangkat, menendang dengan sekuat tenaga ke arah si anak muda kurang ajar. Sesudah terjengkang kelenger dengan napas megap-megap nanti, anak itu akan bisa belajar lagi tentang perlunya memupuk rasa hormat pada para bangsawan Keraton.

Sayang bukan itu yang terjadi. Senopati Natpada bahkan tak sempat menyelesaikan kalimatnya.

Sebab mendadak ia hilang dari hadapan hidung Wisnumurti dan Bajul.

Mereka hanya sempat mendengar suara keras saat kaki tepat mendupak dada, dan Jaladri mencelat terjengkang sejauh satu tombak sambil mengaduh keras.

Di mana senopati itu berada baru terjawab oleh suara lengkingannya, yang mirip bunyi jeritan bakul pasar dikejar kuda ngamuk.

Wisnumurti menoleh dan melongo takjub. Sesaat ia bingung sejak kapan manusia bisa terbang seperti burung.

Ia baru mudeng setelah melihat betapa kepala sang senopati ada di bawah saat menimpa pohon mahoni besar di kejauhan sana dan pohonnya ambruk dengan menimbulkan suara luar biasa keras. Oh, iya, itu namanya mencelat dan jatuh, bukan terbang!

Para warga menoleh takjub, lalu beberapa di antaranya bangkit berlarian membantu sang senopati bangun.

Di sisi sebelah sini, Wisnumurti dan Bajul sibuk menarik Jaladri berdiri. Wajah anak itu pucat, tapi lebih karena kaget, bukan karena sekarat ditendang seorang senopati tepat di dada.

“Ini berapa?” Wisnumurti mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tepat di depan mata Jaladri.

Wedhus! Aku masih sadar,” Jaladri menyingkirkan tangan Wisnumurti. “I-itu... itu Senopati Natpada kenapa?”

“Dia mencelat terbang, kena pohon sampai pohonnya roboh!” sahut Bajul. “Kau apakan dia?”

Jaladri melongo. “Hah? Aku? Kok malah aku yang disalahkan? Yang tidak sopan nendang kan dia!”

“Bukan itu, dasar bodoh! Maksudku, kamu apakan dia sampai mencelat seperti itu? Ilmu sihir ya!?”

Jaladri bengong, mata menatap lurus ke kejauhan sana, empat tombak dari kedudukan ketiganya saat itu. Kerumunan warga dan para prajurit berhasil membantu Senopati Natpada berdiri. Namun pria gagah itu mendadak seperti sedang mabok. Lututnya goyang. Jika tak kembali dipegangi dua tentara, ia pasti akan nyungsep dengan muka kena tanah becek terlebih dulu.

Sorot matanya bahkan sejenak tak terpusat. Kosong seperti orang mau kesurupan. Baru sekian helaan napas kemudian ia menemukan kembali mana atas mana bawah.

“Lin... Lintang Abyor...” ia mendesis, pelan tapi terdengar hingga telinga Wisnumurti. “Mun... mundur...!”

Alis pemuda itu berkerut. Lintang Abyor? Apa itu?

Dan yang lebih heran adalah prajurit jangkung yang ikut memegangi Senopati Natpada.

“Mundur? Tapi, Gusti...”

“Jangan membantah!” Senopati Natpada mendelik, sudah bisa kembali marah-marah. “Turuti saja perintahku! Kita mundur! Urusan di sini bisa diselesaikan belakangan.”

Para prajurit mengangguk patuh.

Sendika, Gusti Senopati.”

Beberapa di antaranya terlihat belum rela. Mereka melirik tajam ke arah Jaladri dengan amarah membara. Bahkan ada yang masih sempat menuding-nuding gahar, menandakan bahwa dia sudah mengenali Jaladri dan akan menyelesaikan perhitungan di lain waktu.

Tapi yang jelas mereka memang mundur teratur, kembali melompat ke kuda masing-masing. Cepat sekali mereka menghilang utara, ke arah Kotaraja Pasir. Dan Wisnumurti masih belum sepenuhnya paham ketika kemudian tempat itu sunyi, lalu para warga bangkit berdiri dan berani kembali berceloteh.

“Hah? Kok langsung pada pergi...?” gumam Jaladri bingung.

Wisnumurti dan Bajul juga hanya bisa terdiam tak mudeng,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status