Share

6

Wisnumurti menangkap tali kekang kuda Jaladri, sementara Bajul dengan sigap menurunkan orang yang terluka itu ke tanah.

“Dengan luka sayatan yang sama?” tanya Wisnumurti.

“Ya, sama persis” sahut Jaladri. “Bapak yang satu ini kemungkinan tak ada di tempat saat peristiwa terjadi, lalu dia sempat lari menyelamatkan diri. Luka-luka di tubuhnya disebabkan oleh hal lain. Mungkin dia bertemu macan atau ditabrak celeng.”

Wisnumurti dan Bajul memeriksa pria itu, yang berumuran kira-kira sebaya dengan Ki Soma. Dia tergolek tak sadarkan diri. Darah di sekujur badannya keluar dari begitu banyak luka cabikan di sekitar dada, perut, dan bahkan leher. Sepertinya itu memang luka akibat binatang buas.

Mengingat darah yang keluar terlalu banyak, pria itu tak akan bertahan. Yang jelas ia masih hidup. Dadanya naik turun, tersengal oleh napas satu-satu yang diperjuangkan sepenuh daya di tengah deraan rasa sakit yang pasti tak tertanggungkan. Warga biasa yang tak menekuni ilmu bela diri atau keprajuritan seringkali tewas bukan karena luka atau cederanya, melainkan hanya karena tubuh tak kuasa menanggung rasa sakit.

Wisnumurti lalu menotok beberapa jalan darah di tubuh pria itu untuk mencegah pendarahan yang lebih parah.

“Bagaimana peluangnya?” tanya Jaladri kemudian.

“Tak ada. Tapi kita masih bisa membuatnya sadar satu kali saja. Dia mungkin masih cukup kuat untuk memberi keterangan mengenai pelaku pembantaian ini.”

Jaladri berdebar menyaksikan apa yang sedang diupayakan Wisnumurti pada pria itu. Sebentar kemudian napasnya sedikit lebih teratur, dan saat Wisnumurti menyentuh salah satu urat di lehernya, pria itu mendadak membuka mata.

Jaladri sedikit meringis. Jika omongan Wisnumurti benar, itu adalah tatapan mata terakhir pria itu.

“Ki Sanak, bisa katakan padaku siapa yang melakukan ini pada desamu?” tanya Wisnumurti pelan, dengan nada halus seperti pada anak kecil yang ketakutan.

Bibir orang itu terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tak kunjung keluar.

“Apa?” Wisnumurti mendekatkan telinganya ke mulut pria itu.

Mata lelaki itu melotot, mengerahkan segenap daya yang masih tersisa untuk mengucapkan sepatah kata,

“K-Ki Ja... Ki Jalung... !”

Alis Wisnumurti berkerenyit. “Ki Jalung?”

Orang itu mengangguk kepayahan.

“Siapa itu Ki Jalung?”

Yang ditanya menarik napas dengan penuh perjuangan, hanya untuk mengucap kata berikutnya.

“Tamu. Orang penting...”

“Apakah beliau bangsawan, atau ulama...?”

Pria itu menggeleng, lalu terdiam kaku. Wisnumurti terpaku sesaat. Bibirnya mengucap “Inalillahi” saat jarinya terulur untuk rnenutup kedua mata lelaki malang itu.

“Ki Jalung...?” gumam Jaladri kemudian, melipat tangan jenazah pria itu menangkup di perut.

“Si pembunuh mencari tamu penting bernama Ki Jalung itu, yang melewati Srumbung dan kemudian Jati, barangkali sedang dalam perjalanan menemui Ki Gede Nipir. Karena dia tak menemukan yang dia cari, kemarahannya tertumpah pada para penduduk.”

“Kira-kira siapa ya Ki Jalung itu?” kata Bajul.

“Kemungkinan besar dia orang persilatan. Tapi jika arah tujuannya memang ke Kenipir, bisa saja saat ini dia sudah aman dalam perlindungan pakdenya Jaladri. Ada desa apa lagi setelah Jati, sebelum kita sampai ke Kenipir?”

Bajul malah mencorong memandangi Wisnumurti. “Kau terlalu lama minggat ke timur dan utara sehingga lupa tempat-tempat di sekitar sini apa memang sudah sepenuhnya kehilangan ingatan karena usia tua?”

Pemuda itu tertawa. “Usia tua dengkulmu sempal! Aku memang agak lupa. Lagipula wajar kan kalau ada peristiwa pembasmian desa semacam ini lalu ada desa-desa baru bermunculan.”

“Tidak ada desa yang baru. Masih sama seperti sebelum kau kelayapan. Antara Jati dan Kenipir hanya ada Brabo. Kita dulu pernah menginap di sana, lalu Jaladri digoda janda gatal, hahaha...!”

Mereka tertawa, sedang Jaladri hanya bisa tersenyum kecut. Rombongan Ki Soma memang pernah bermalam di sana. Dan karena Jaladri sangat bersih dan terlihat bertampang kaya raya, ia dengan gencar didekati beberapa perempuan setempat, termasuk seorang janda yang sudah lama tak bersama laki-laki dan memang sedang mencari pasangan baru.

“Tapi itu berarti kita harus cepat ke Brabo,” Wisnumurti bergegas menghampiri kudanya. “Kalau Ki Jalung juga melewati Brabo, tempat itu bisa-bisa sudah ludes seperti ini.”

Jaladri merinding.

“Betul juga.”

Seperti dicambuk, ketiganya dengan cepat naik ke kuda masing-mading dan berpacu secepat mungkin meninggalkan Srumbung. Di Jati, mereka hanya lewat dan tak sempat melakukan apa pun, padahal sedemikian banyak jenazah masih berserakan kacau sebagaimana saat peristiwa pembantaian terjadi. Tak ada pilihan lain memang. Wisnumurti berharap mereka masih bisa menyelamatkan Brabo sebelum desa itu mengalami nasib seburuk Srumbung dan Jati.

Selepas Jati, mereka melintasi hutan lebat di lereng pegunungan yang berpemandangan indah pada sore menjelang senja. Sayang itu semua tak sempat dinikmati. Dengan cukup cepat ketiganya mencapai Brabo, yang berukuran sedikit lebih besar dengan jumlah penduduk yang juga lebih banyak. Brabo berjarak sekitar 20 pal dari Kenipir. Warga di situ banyak yang bekerja di Kenipir. Dan karena jaraknya cukup dekat, mereka bisa berangkat dan pulang kerja pada hari yang sama.

Mereka lalu melambatkan laju kuda saat melewati kawasan perkebunan milik warga. Hawa mulai sejuk, seiring matahari yang makin jauh bergulir ke ufuk barat. Tak lama lagi senja akan sempurna menutup hari.

Tak lama kemudian, sebentuk rumah terlihat di kejauhan, menyembul di sesela gerumbul perdu dan dedaunan pohon. Lalu telinga ketiganya mendengar suara jeritan keras perempuan, berkali-kali. Dia menjerit, menangis, dan memohon-mohon.

Wisnumurti mengumpat kasar dan menghentakkan tali kekang kudanya. Debu mengepul saat tiga ekor kuda kembali berderap dalam kecepatan tertinggi menuju asal suara jeritan.

Dengan cepat mereka tiba di tempat kejadian. Di depan salah satu rumah warga, enam orang lelaki gagah bersenjata lengkap menyeret satu keluarga keluar dengan paksa dari rumah. Mereka terdiri atas sepasang pria dan wanita paruh baya dan seorang gadis remaja berumur antara 13 atau 14 tahun. Semuanya kemudian didorong kasar pria-pria itu sampai jatuh terjerembab ke tanah.

Baru kemudian Jaladri melihat bahwa di gendongan sang ibu terdapat seorang bayi. Jeritan tangisnya mengumandang saat jatuh terlepas sebelum kemudian diraih kembali oleh ibunya. Dengan darah seketika mencapai ubun-ubun, Jaladri melompat turun dari kuda untuk melindungi orang-orang itu. Sejenak ia lupa bahwa bekal kemampuan bela dirinya belum pernah satu kalipun dipakai untuk sungguh-sungguh berkelahi melawan orang dengan kedudukan berlawanan.

Ia baru tersadar, dan seketika menghentikan langkah, saat dari arah lain seseorang mengeluarkan seruan keras yang memiliki kekuatan luar biasa.

“Jangan ikut campur!”

Dan baik Wisnumurti maupun Bajul baru belakangan melihat orang itu, serta suasana sekeliling saat ini.

Keramaian ternyata tercipta di sekeliling rumah. Belasan dan bahkan puluhan warga diam dengan tertib di sisi kanan pekarangan, semua bersimpuh, tak ada satu pun yang berani bergerak atau apalagi buka suara.

Mereka bersimpuh untuk menghormati kehadiran seorang penggede negara, yang tak lain adalah yang baru saja meneriaki Jaladri.

Pria itu, bersama beberapa pria lain bertampang sangar di kanan-kirinya, berdiri dengan kaki kangkang sambil menghunus keris tepat di depan kerumunan warga. Tubuhnya gempal besar, mengenakan blangkon dan busana serba hitam, dan memelihara kumis yang sedemikian rapi dan indah sehingga untuk perawatannya saja mungkin memerlukan seorang ahli tersendiri.

Wisnumurti dan Bajul seketika ikut turun dari kuda, tapi lebih karena menghormati pria itu.

Melihat dari bentuk tubuh dan sikapnya yang sangat sempurna tertata, pria gempal itu sepertinya bangsawan dari kalangan keprajuritan. Barangkali ia seorang senopati.

“Ini urusan Keraton!” teriak pria itu lagi. “Aku Senopati Natpada, membawa kuasa langsung dari Kanjeng Pangeran Candrakumala, dan memegang nasib hidup atau mati mereka! Tak siapapun bisa mencegah atau mencampuri! Kata-kata dan kehendakku adalah juga kata-kata dan kehendak Kanjeng Pangeran!”

Wisnumurti menahan napas. Ia menggamit Jaladri untuk berlutut sopan. Bajul juga melakukannya. Dan mereka sudah langsung mudeng apa yang saat ini tengah terjadi.

Penyebabnya pastilah gadis remaja itu, yang memang berwajah manis. Kulitnya kusam khas orang desa pedalaman, namun itu tak mengurangi kecantikannya.

Adalah lazim bila para penguasa daerah beserta keluarga besar dan para pegawainya berkehendak mengambil perempuan mana pun sesuka hati. Dan tak siapapun boleh menghalangi, bahkan termasuk para suami. Karenanya menarik untuk diketahui apa yang melatarbelakangi peristiwa sekarang ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status