Wisnumurti menangkap tali kekang kuda Jaladri, sementara Bajul dengan sigap menurunkan orang yang terluka itu ke tanah.
“Dengan luka sayatan yang sama?” tanya Wisnumurti.
“Ya, sama persis” sahut Jaladri. “Bapak yang satu ini kemungkinan tak ada di tempat saat peristiwa terjadi, lalu dia sempat lari menyelamatkan diri. Luka-luka di tubuhnya disebabkan oleh hal lain. Mungkin dia bertemu macan atau ditabrak celeng.”
Wisnumurti dan Bajul memeriksa pria itu, yang berumuran kira-kira sebaya dengan Ki Soma. Dia tergolek tak sadarkan diri. Darah di sekujur badannya keluar dari begitu banyak luka cabikan di sekitar dada, perut, dan bahkan leher. Sepertinya itu memang luka akibat binatang buas.
Mengingat darah yang keluar terlalu banyak, pria itu tak akan bertahan. Yang jelas ia masih hidup. Dadanya naik turun, tersengal oleh napas satu-satu yang diperjuangkan sepenuh daya di tengah deraan rasa sakit yang pasti tak tertanggungkan. Warga biasa yang tak menekuni ilmu bela diri atau keprajuritan seringkali tewas bukan karena luka atau cederanya, melainkan hanya karena tubuh tak kuasa menanggung rasa sakit.
Wisnumurti lalu menotok beberapa jalan darah di tubuh pria itu untuk mencegah pendarahan yang lebih parah.
“Bagaimana peluangnya?” tanya Jaladri kemudian.
“Tak ada. Tapi kita masih bisa membuatnya sadar satu kali saja. Dia mungkin masih cukup kuat untuk memberi keterangan mengenai pelaku pembantaian ini.”
Jaladri berdebar menyaksikan apa yang sedang diupayakan Wisnumurti pada pria itu. Sebentar kemudian napasnya sedikit lebih teratur, dan saat Wisnumurti menyentuh salah satu urat di lehernya, pria itu mendadak membuka mata.
Jaladri sedikit meringis. Jika omongan Wisnumurti benar, itu adalah tatapan mata terakhir pria itu.
“Ki Sanak, bisa katakan padaku siapa yang melakukan ini pada desamu?” tanya Wisnumurti pelan, dengan nada halus seperti pada anak kecil yang ketakutan.
Bibir orang itu terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tak kunjung keluar.
“Apa?” Wisnumurti mendekatkan telinganya ke mulut pria itu.
Mata lelaki itu melotot, mengerahkan segenap daya yang masih tersisa untuk mengucapkan sepatah kata,
“K-Ki Ja... Ki Jalung... !”
Alis Wisnumurti berkerenyit. “Ki Jalung?”
Orang itu mengangguk kepayahan.
“Siapa itu Ki Jalung?”
Yang ditanya menarik napas dengan penuh perjuangan, hanya untuk mengucap kata berikutnya.
“Tamu. Orang penting...”
“Apakah beliau bangsawan, atau ulama...?”
Pria itu menggeleng, lalu terdiam kaku. Wisnumurti terpaku sesaat. Bibirnya mengucap “Inalillahi” saat jarinya terulur untuk rnenutup kedua mata lelaki malang itu.
“Ki Jalung...?” gumam Jaladri kemudian, melipat tangan jenazah pria itu menangkup di perut.
“Si pembunuh mencari tamu penting bernama Ki Jalung itu, yang melewati Srumbung dan kemudian Jati, barangkali sedang dalam perjalanan menemui Ki Gede Nipir. Karena dia tak menemukan yang dia cari, kemarahannya tertumpah pada para penduduk.”
“Kira-kira siapa ya Ki Jalung itu?” kata Bajul.
“Kemungkinan besar dia orang persilatan. Tapi jika arah tujuannya memang ke Kenipir, bisa saja saat ini dia sudah aman dalam perlindungan pakdenya Jaladri. Ada desa apa lagi setelah Jati, sebelum kita sampai ke Kenipir?”
Bajul malah mencorong memandangi Wisnumurti. “Kau terlalu lama minggat ke timur dan utara sehingga lupa tempat-tempat di sekitar sini apa memang sudah sepenuhnya kehilangan ingatan karena usia tua?”
Pemuda itu tertawa. “Usia tua dengkulmu sempal! Aku memang agak lupa. Lagipula wajar kan kalau ada peristiwa pembasmian desa semacam ini lalu ada desa-desa baru bermunculan.”
“Tidak ada desa yang baru. Masih sama seperti sebelum kau kelayapan. Antara Jati dan Kenipir hanya ada Brabo. Kita dulu pernah menginap di sana, lalu Jaladri digoda janda gatal, hahaha...!”
Mereka tertawa, sedang Jaladri hanya bisa tersenyum kecut. Rombongan Ki Soma memang pernah bermalam di sana. Dan karena Jaladri sangat bersih dan terlihat bertampang kaya raya, ia dengan gencar didekati beberapa perempuan setempat, termasuk seorang janda yang sudah lama tak bersama laki-laki dan memang sedang mencari pasangan baru.
“Tapi itu berarti kita harus cepat ke Brabo,” Wisnumurti bergegas menghampiri kudanya. “Kalau Ki Jalung juga melewati Brabo, tempat itu bisa-bisa sudah ludes seperti ini.”
Jaladri merinding.
“Betul juga.”
Seperti dicambuk, ketiganya dengan cepat naik ke kuda masing-mading dan berpacu secepat mungkin meninggalkan Srumbung. Di Jati, mereka hanya lewat dan tak sempat melakukan apa pun, padahal sedemikian banyak jenazah masih berserakan kacau sebagaimana saat peristiwa pembantaian terjadi. Tak ada pilihan lain memang. Wisnumurti berharap mereka masih bisa menyelamatkan Brabo sebelum desa itu mengalami nasib seburuk Srumbung dan Jati.
Selepas Jati, mereka melintasi hutan lebat di lereng pegunungan yang berpemandangan indah pada sore menjelang senja. Sayang itu semua tak sempat dinikmati. Dengan cukup cepat ketiganya mencapai Brabo, yang berukuran sedikit lebih besar dengan jumlah penduduk yang juga lebih banyak. Brabo berjarak sekitar 20 pal dari Kenipir. Warga di situ banyak yang bekerja di Kenipir. Dan karena jaraknya cukup dekat, mereka bisa berangkat dan pulang kerja pada hari yang sama.
Mereka lalu melambatkan laju kuda saat melewati kawasan perkebunan milik warga. Hawa mulai sejuk, seiring matahari yang makin jauh bergulir ke ufuk barat. Tak lama lagi senja akan sempurna menutup hari.
Tak lama kemudian, sebentuk rumah terlihat di kejauhan, menyembul di sesela gerumbul perdu dan dedaunan pohon. Lalu telinga ketiganya mendengar suara jeritan keras perempuan, berkali-kali. Dia menjerit, menangis, dan memohon-mohon.
Wisnumurti mengumpat kasar dan menghentakkan tali kekang kudanya. Debu mengepul saat tiga ekor kuda kembali berderap dalam kecepatan tertinggi menuju asal suara jeritan.
Dengan cepat mereka tiba di tempat kejadian. Di depan salah satu rumah warga, enam orang lelaki gagah bersenjata lengkap menyeret satu keluarga keluar dengan paksa dari rumah. Mereka terdiri atas sepasang pria dan wanita paruh baya dan seorang gadis remaja berumur antara 13 atau 14 tahun. Semuanya kemudian didorong kasar pria-pria itu sampai jatuh terjerembab ke tanah.
Baru kemudian Jaladri melihat bahwa di gendongan sang ibu terdapat seorang bayi. Jeritan tangisnya mengumandang saat jatuh terlepas sebelum kemudian diraih kembali oleh ibunya. Dengan darah seketika mencapai ubun-ubun, Jaladri melompat turun dari kuda untuk melindungi orang-orang itu. Sejenak ia lupa bahwa bekal kemampuan bela dirinya belum pernah satu kalipun dipakai untuk sungguh-sungguh berkelahi melawan orang dengan kedudukan berlawanan.
Ia baru tersadar, dan seketika menghentikan langkah, saat dari arah lain seseorang mengeluarkan seruan keras yang memiliki kekuatan luar biasa.
“Jangan ikut campur!”
Dan baik Wisnumurti maupun Bajul baru belakangan melihat orang itu, serta suasana sekeliling saat ini.
Keramaian ternyata tercipta di sekeliling rumah. Belasan dan bahkan puluhan warga diam dengan tertib di sisi kanan pekarangan, semua bersimpuh, tak ada satu pun yang berani bergerak atau apalagi buka suara.
Mereka bersimpuh untuk menghormati kehadiran seorang penggede negara, yang tak lain adalah yang baru saja meneriaki Jaladri.
Pria itu, bersama beberapa pria lain bertampang sangar di kanan-kirinya, berdiri dengan kaki kangkang sambil menghunus keris tepat di depan kerumunan warga. Tubuhnya gempal besar, mengenakan blangkon dan busana serba hitam, dan memelihara kumis yang sedemikian rapi dan indah sehingga untuk perawatannya saja mungkin memerlukan seorang ahli tersendiri.
Wisnumurti dan Bajul seketika ikut turun dari kuda, tapi lebih karena menghormati pria itu.
Melihat dari bentuk tubuh dan sikapnya yang sangat sempurna tertata, pria gempal itu sepertinya bangsawan dari kalangan keprajuritan. Barangkali ia seorang senopati.
“Ini urusan Keraton!” teriak pria itu lagi. “Aku Senopati Natpada, membawa kuasa langsung dari Kanjeng Pangeran Candrakumala, dan memegang nasib hidup atau mati mereka! Tak siapapun bisa mencegah atau mencampuri! Kata-kata dan kehendakku adalah juga kata-kata dan kehendak Kanjeng Pangeran!”
Wisnumurti menahan napas. Ia menggamit Jaladri untuk berlutut sopan. Bajul juga melakukannya. Dan mereka sudah langsung mudeng apa yang saat ini tengah terjadi.
Penyebabnya pastilah gadis remaja itu, yang memang berwajah manis. Kulitnya kusam khas orang desa pedalaman, namun itu tak mengurangi kecantikannya.
Adalah lazim bila para penguasa daerah beserta keluarga besar dan para pegawainya berkehendak mengambil perempuan mana pun sesuka hati. Dan tak siapapun boleh menghalangi, bahkan termasuk para suami. Karenanya menarik untuk diketahui apa yang melatarbelakangi peristiwa sekarang ini.
Gadis kencur itu pastilah yang tengah dikehendaki Pangeran Candrakumala untuk menjadi selirnya yang kesekian. Mungkin sang pangeran mendengar berita tentangnya dari para bawahan yang melewati desa-desa tertentu, seperti Brabo sekarang ini. Lalu ia tertarik dan mengirimkan senopatinya untuk melakukan penjemputan.Sebagai makhluk yang kerap keluyuran, Wisnumurti sudah terlalu sering melihat peristiwa semacam itu. Biasanya ia akan cuek saja, tak mau ikut campur dalam urusan orang-orang kerajaan. Kali ini masalahnya adalah kekerasan yang dilakukan para anak buah senopati itu terhadap keluarga sang gadis.Ia bisa memahami mengapa Jaladri begitu marah barusan. Mereka baru saja melihat bayi dan anak-anak balita terbunuh di dua tempat. Maka ada bayi bergulir tergelincir lepas dari tangan ibunya yang didorong-dorong kasar ke tanah oleh tiga pria sekaligus jelas sangat mudah membuat tekanan darah naik.Barangkali saja sebentar tadi sempat muncul sikap yang kurang legawa d
Pintu kamar terbuka. Wisnumurti masuk sambil menguap. Pintu ia tutup kembali. Jaladri dan Bajul yang sudah berbaring di amben lebar seketika bangkit. Mereka sudah sama-sama bersiap tidur, meringkuk di balik kain sarung yang dibekalkan oleh Ki Soma dari rumah.“Kupikir kau mau melek sampai subuh,” kata Jaladri, menguap juga.“Ki Buyut dan yang lainnya berharap begitu,” kata Wisnumurti, melepas kain bawahan dan meraih sarung pula dari kantung perbekalannya. “Mereka senang tiap kali ada pesilat yang mampir, terlebih ada kau. Para bapak itu cerita macam-macam, terutama kejadian penampakan hantu dan tempat-tempat angker.”Jaladri duduk, bersandar ke dinding bambu rumah itu. Ia pun setali tiga uang. Asal sudah ada Wisnumurti, ia bisa tahan melek sampai pagi mendengarkan cerita-cerita orang itu.“Jadi betul keluarga Sarni tadi nyaris dihukum penggal kepala Senopati Natpada hanya karena Sarni sedang sakit?” tanya di
“Makanya. Ini jadi menarik, kan? Apalagi karena lingkunganmu yang berpeluang melatihmu dalam soal ilmu bela diri kan sudah jelas kita semua tahu siapa saja. Bajul, lalu ada Ki Gede, ada Pratiwi. Kalau mereka tertarik bakatmu, misalnya, lalu ingin membantumu berlatih, kan tinggal dipanggil saja. Atau langsung diajak bertarung. Yang satu ini kenapa malah sok main rahasia begitu? Alasannya apa? Siapa dia? Mengapa memilihmu dan bukan Bajul?”“Dan kau sekarang tak merasa kenapa-kenapa, kan?” tanya Bajul. “Soalnya tendangan si senopati itu tadi benar-benar tendangan yang dimaksudkan untuk mencelakai. Kupikir kau bakal modar. Setidaknya pingsan sepekan lah. Tapi kau masih bisa bangun dan sepertinya baik-baik saja.”Jaladri meraba bagian dada yang tadi kena tendang.“Tadi cuma ngilu di sini, lalu aku sempat tidak bisa napas sebentar. Lalu ya biasa-biasa saja. Masih bisa jalan.”“Malah Senopati Natpada yang ter
Alis Senopati Natpada berkerut.Kaki kanannya kemudian terulur, mengangkat dagu pria di depannya hingga kepalanya terdongak.“Apa? Apa yang mau kausampaikan padaku?”Pria rapuh itu makin kencang gemetar. Sebagian karena kedinginan, sebagian lagi karena keder berhadapan langsung dengan seorang senopati Keraton.“D-dia... anak... Ki Soma...”“Apa?” Senopati Natpada mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, dengan tangan menjambak rambut kuat sekali. “Tidak dengar.”“Katanya, anak muda yang kemarin kurang ajar terhadap Gusti Senopati adalah putra Ki Somanagara,” kata prajurit yang bernama Pangat.“Anak Ki Somanagara? Pedagang beras dan perhiasan dari Karang Bendan itu?”“Betul, Gusti. Orang ini warga Brabo juga, dan semalam ikut berkumpul makan-makan dengan mereka bertiga. Begitu ia sudah memastikan jadi diri mereka, ia langsung menyusul Gusti kemari. S
Wisnumurti menatap sekeliling. Selalu saja tak pernah ada yang tak ia sukai dari kota ini. Ia merasa Kenipir adalah rumahnya juga, selain Karang Bendan dan tentunya Cakrabuana. Ia menyukai penduduknya, dan juga keahlian mereka memasak segala hal yang datang dari laut.Mereka tiba tepat ketika azan dzuhur berkumandang dari masjid besar tepat di pusat kota. Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul memimpin di depan dengan kuda, sedang keluarga Ki Tanu naik pedati sederhana yang ditarik seekor kuda. Arah tujuan tentu langsung ke Gedong Gede, rumah besar Ki Gede Nipir yang terletak tak jauh dari alun-alun.Berdasar penuturan orang-orang tua yang ia dengar, kedudukan Kenipir sebagai tanah perdikan didapat berkat peran almarhum Ki Wanacaya saat membantu mendiang Sultan Sindunagara bertakhta lebih dari 30 tahun lalu. Ia merupakan salah satu pembantu terpercaya Sultan kala itu.Sebagai tanah perdikan, Kenipir bebas dari kewajiban untuk membayar pajak atau upeti kesetiaan pada Sul
“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota
Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.“Sendika, Gusti Pangeran!”Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, at
Bagian depan kediaman Ki Gede Nipir terang benderang dan meriah malam itu. Pendapa dan halaman di sekelilingnya dipenuhi deretan obor yang dipasang pada tiang-tiang bambu setinggi kepala orang dewasa. Tamu-tamu mulai berdatangan sejak sebelum beduk magrib dibunyikan di Masjid Besar, dan makin menyemut selepas waktu salat magrib berlalu.Empat pemimpin kademangan terdekat dari Kenipir diundang oleh Ki Gede dalam pesta makan kali ini, yaitu Kajoran, Kalang Wetan, Kalang Kulon, dan Gebang. Mereka datang hampir bersamaan. Tiga demang naik kuda bersama rombongan masing-masing, satu lagi naik tandu seperti para bangsawan kerajaan.Keempatnya mendapat kehormatan duduk di meja pendapa bersama keluarga dekat dan pembantu Ki Gede Nipir. Jaladri tentu ikut berada di sana, duduk tepat di samping Pratiwi. Sejak awal ada di situ, yang dicarinya belum ketemu.Sore tadi ia diberitahu bahwa Wisnumurti sedang keluar sebentar karena disuruh Ki Gede mengerjakan satu urusan, entah a