Share

8

Pintu kamar terbuka. Wisnumurti masuk sambil menguap. Pintu ia tutup kembali. Jaladri dan Bajul yang sudah berbaring di amben lebar seketika bangkit. Mereka sudah sama-sama bersiap tidur, meringkuk di balik kain sarung yang dibekalkan oleh Ki Soma dari rumah.

“Kupikir kau mau melek sampai subuh,” kata Jaladri, menguap juga.

“Ki Buyut dan yang lainnya berharap begitu,” kata Wisnumurti, melepas kain bawahan dan meraih sarung pula dari kantung perbekalannya. “Mereka senang tiap kali ada pesilat yang mampir, terlebih ada kau. Para bapak itu cerita macam-macam, terutama kejadian penampakan hantu dan tempat-tempat angker.”

Jaladri duduk, bersandar ke dinding bambu rumah itu. Ia pun setali tiga uang. Asal sudah ada Wisnumurti, ia bisa tahan melek sampai pagi mendengarkan cerita-cerita orang itu.

“Jadi betul keluarga Sarni tadi nyaris dihukum penggal kepala Senopati Natpada hanya karena Sarni sedang sakit?” tanya dia. “Tadi aku dengar Pak Rantang bilang begitu pas makan-makan.”

Karena peristiwa tak biasa tadi sore, ketiganya memang tak jadi melanjutkan perjalanan menuju Kenipir. Lagipula Ki Buyut Brabo langsung meminta dengan sangat agar mereka menginap begitu tahu putra sulung Ki Somanagara yang terhormat tengah berkunjung. Ki Buyut bahkan menyediakan rumahnya untuk mereka tempati semalam. Wisnumurti yang merasa pakewuh mengatakan bahwa mereka hanya perlu satu kamar, bukan keseluruhan rumah.

Baru setelah berdebat agak lama, Ki Buyut bisa menerima. Tapi tetap saja ia menyembelih cukup banyak ayam sehingga para warga dapat bersantap bersama-sama dengan ketiga tamu agung di luar, beralas tikar dan beratapkan langit penuh bintang. Mereka merasa berhutang budi karena hanya berkat kehadiran mereka bertiga, hal-hal yang tak diinginkan dapat dicegah.

Tapi mereka juga tak mengerti mengapa mendadak Senopati Natpada memerintah rombongannya untuk mengundurkan diri dan batal sepenuhnya membawa Sarni ke Keraton untuk dipersembahkan bagi Pangeran Candrakumala. Yang jelas para pria terus duduk berbincang hingga larut malam sesudah para wanita dan anak-anak pulang.

Jaladri dan Bajul yang tak kuat menahan kantuk mengundurkan diri menjelang tengah malam. Tak seberapa lama kemudian baru Wisnumurti muncul. Yang lain termasuk Ki Buyut dan Pak Tanu, ayah Sarni, masih ada di luar. Suara perbincangan mereka jelas sekali terdengar dari sini.

“Aku dengar juga gitu,” Wisnumurti naik ke amben, berada di kedudukan paling pinggir. “Senopati Natpada berpikir sakitnya Sarni tak bisa dijadikan alasan. Ia seret Sarni keluar. Ibunya agak nggondheli. Lalu terjadilah tarik-menarik.”

Jaladri mendengus. “Aku tadi aku nyaris tak tahan lihat si adik bayi jatuh lepas dari gendongan Bu Tanu gara-gara didorong-dorong kasar seperti itu. Untung dia tidak apa-apa.”

“Nah, sekarang kita masuk ke pokok permasalahan yang paling menarik. Tadi itu ada apa sebenarnya?”

Wajah Jaladri dalam keremangan nyala lentera di kamar terlihat lucu saat melongo.

“Ada apa apanya?”

Wisnumurti duduk bersila. Sarung menutup hingga kepala. Lalu ia memutar sehingga tepat menghadap Jaladri. Karena tertarik dengan bahan obrolan, Bajul ikut bangun juga. Tak jadi tidur.

“Mari kita urutkan kejadiannya. Karena mangkel kamu hampir saja melabraknya saat si bayi jatuh, Natpada lalu menyepakmu tepat di dada. Dan itu tadi benar-benar tendangan yang kuat. Orang biasa pasti langsung tewas karena tulang dadanya jebol. Dan kamu memang mencelat tadi. Tapi kenapa malah si Senopati yang jatuhnya lebih jauh, sampai menimpa pohon besar dan pohonnya tumbang seperti itu!?”

Jaladri termangu. “Nah, itu aku juga heran. Tadi aku tidak bisa menjelaskan waktu para bapak bertanya Senopati Natpada kenapa kok bisa sampai terbang melayang asyik sekali gitu.”

“Maka pertanyaan Bajul tadi harus kaujawab. Kauapakan Senopati Natpada tadi sebenarnya?”

Jaladri terdiam, garuk-garuk kepala.

“Kuapakan? Aku kan tidak kenapa-kenapa.”

Wisnumurti menarik napas. “Jadi gini. Dalam bidang keilmuan pencak silat, ada yang disebut tenaga dalam, yaitu kekuatan linuwih dari dalam tubuh yang bersumber dari latihan pernapasan. Orang yang pandai pencak belum tentu bisa membangkitkan tenaga itu. Maka kalau kena tendang seperti kau tadi, dia bisa saja nyungsep dan tidak bangun lagi. Tapi pada orang yang punya, kekuatan linuwih itu akan dengan sendirinya keluar melindungi saat tubuh kena serangan mematikan seperti tendangan si Natpada itu tadi padamu. Senopati Natpada jelas punya. Namanya juga senopati. Tapi bahwa dia lantas mencelat sejauh itu gara-gara menyerangmu, tidak ada kesimpulan lain kecuali bahwa dia kena dorong hentakan tenaga yang jauh lebih besar daripada punya dia sendiri. Dan bahwa yang ditendang dari kita bertiga hanya kau, itu artinya tenaga sakti yang mendobrak keluar menyerang Natpada itu datangnya dari dalam tubuhmu, bukannya dari bawah pohon bayem atau dari sari air kelapa. Mudeng?”

Baru kemudian Jaladri tertegun.

Mosok sih?”

“Yang lucu kan bahwa kau tidak mudeng. Soalnya kalau kau sudah mudeng, karena sudah mulai berlatih pernapasan untuk membangkitkan tenaga itu, pastinya kau juga mengerti apa yang terjadi tadi.”

Jaladri garuk kepala lagi. “Iya ya?”

“Padahal kau kan belum latihan aneh-aneh sendiri tanpa sepengetahuanku, kan?” celetuk Bajul.

“Belum lah. Kan baru tempo hari kau membahas soal latihan pernapasan yang harus pakai puasa mutih, puasa ngebleng, pati geni, dan lain-lain. Belum latihan saja aku sudah pusing memikirkan puasa-puasanya.”

Wisnumurti mendadak mencengkeram bahu Jaladri, dan seketika sebentuk aliran hawa hangat menjalar dari situ.

“Anehnya, kau jelas sudah punya. Terasa sekali ini. Hanya saja, keberadaannya belum sepenuhnya kausadari. Yang jelas dia ada, dan keluar melindungi dirimu saat ada bahaya maut mengancam, yaitu tendangan Senopati Natpada tadi. Dan perlawanannya begitu kuat sampai dia bisa kaubikin nyangsang di pohon. Coba ceritakan lagi sosok yang kaulihat semalam saat tindhihen!”

Jaladri ternganga.

“Astaga! Masa dia? Dari dia? Ini maksudnya yang dia bilang mau dia ajarkan padaku?”

“Nyatanya, habis itu ada perubahan tak masuk akal pada dirimu, kan? Tingkat dobrakan tenaga dalam yang sehebat itu umumnya baru bisa tercapai setelah kita latihan pernapasan tanpa henti lebih dari sebulan. Tapi kau, yang kemarin sepertinya masih recehan, mendadak sekarang punya itu jauh tersembunyi di dalam tubuhmu.”

“Ingat-ingat lagi, apa yang dia lakukan terhadapmu semalam!” kata Bajul, penasaran.

Jaladri berpikir.

“Setelah aku ingat lagi, sepertinya dia menabok ulu hatiku, lalu aku merasa nyeri bukan main sampai untuk bernapas pun susah. Entah kenapa habis itu aku tak ingat apa-apa lagi. Mungkin saking kesakitannya lalu semaput, sampai pagi.”

“Bisa ya tenaga inti diberikan dengan cara segampang itu?” Bajul menoleh pada Wisnumurti. “Bukankah yang wajar adalah dengan dilatih pelan-pelan tiap hari?”

“Kalangan mahaguru tertinggi bisa melakukannya. Mereka bisa menyentuh, memukul, atau menabok untuk membuka aliran tenaga seseorang. Tapi hanya untuk membuka saja. Si penerima bisa saja tak menyadari bahwa dia sudah punya. Nanti penerapannya tinggal terpulang latihan dan ketekunannya saja.”

“Itu berarti, kalau yang dialami Jaladri semalam itu benar-benar nyata, dia baru saja didatangi seorang tokoh dengan tingkat kemampuan tertinggi...!” kata Bajul.

“Masalahnya, siapa?” sahut Wisnumurti. “Dan mengapa dia tahu-tahu saja mendatangi Jaladri? Itu terencana apa sekadar pilihan acak?”

“Katanya, dia tahu aku mau keluar bertualang untuk pertama kalinya,” kata Jaladri. “Maka dia lantas mengajariku sesuatu. Mungkin maksudnya sebagai bekal.”

Wisnumurti lekat menatap kawannya itu. “Dia bilang begitu?”

“Beberapa hal muncul satu-satu setelah aku ingat-ingat lagi. Salah satunya itu.”

“Berarti ini bukan kejadian acak,” Wisnumurti mendesis. “Dia memang sengaja memilihmu...!”

Jaladri tercengang. “Tapi siapa? Dan kenapa...?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status