Share

5. Memeriksakan Kandungan

Bab 5

Hari berganti dan Laila tetap pada kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Setelah melaksanakan kewajiban dua rakaatnya sebagai umat muslim, kini wanita itu tengah menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan sarapan. Di kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, terdengar juga suara mesin cuci yang sedang berputar. Tujuh tahun menjadi ibu rumah tangga, membuat Laila terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah lebih dari satu secara bersamaan. 

"Laila, kamu mencuci baju-bajuku?" Ibram bertanya setibanya ia di dapur. Ia baru saja pulang dari masjid dan berencana akan mengumpulkan baju kotornya untuk dibawa ke tempat laundry. Dia bahkan masih menggunakan baju yang biasa ia kenakan ketika ke masjid. 

Laila menoleh ke arah Ibram, kemudian mengangguk. "Itu masih dicuci, Mas." Ia menunjuk ke arah kamar mandi dengan dagunya. 

Ibram menghela napas pelan. "Laila, dengar! Mulai sekarang kita hidup masing-masing, oke? Jangan urusi urusanku, dan aku juga tidak akan mengurusi urusanmu. Paham?" 

Bukannya tersinggung, Laila justru tersenyum tipis ke arah Ibram. 

"Aku bukannya mau mengurusi urusan Mas Ibram, tapi seperti yang kubilang tadi malam, aku akan membayar biaya tinggal di sini dengan cara mengerjakan semua pekerjaan rumah. Anggap saja aku pembantu di sini, jadi Mas Ibram tidak perlu terganggu dengan apa yang aku lakukan," kata Laila panjang lebar. 

Ibram menatap Laila dengan pandangan tajam. Laki-laki itu mulai merasa jika keputusannya untuk membiarkan Laila tetap tinggal di rumah ini adalah kesalahan besar. Sepertinya ia akan terus terikat dengan wanita itu jika mereka masih tinggal dalam satu atap. 

Akhirnya, karena tak ingin memperpanjang masalah, Ibram memilih pergi dari dapur. Mulai sekarang sepertinya ia harus mengunci pintu kamar setiap tidak ada di rumah, supaya Laila tidak bisa mengambil baju kotor atau pun membereskan kamar tidurnya. 

Sementara itu, Laila hanya menatap kepergian Ibram dengan pandangan nanar. Ia kadang masih tak menyangka, hubungan yang sebelumnya tampak baik-baik saja, ternyata bisa berubah menjadi sedingin ini dalam sekejap. 

Wanita itu menghela napas pelan, mencoba menenangkan hatinya yang kembali menjerit pilu. Berkali-kali ia membisikan istigfar, berharap hatinya mendapat kekuatan atas masalah yang sedang menimpanya. Ia kemudian kembali pada kesibukan memasaknya yang tadi sempat terjeda karena kedatangan Ibram.

***

Acara sarapan pagi ini tak jauh berbeda dengan kemarin. Tak ada obrolan, hanya ada suara denting sendok yang beradu dengan piring di ruangan itu. 

"Mas," panggil Laila pelan, di tengah-tengah sarapan mereka. 

Ibram menoleh, tapi tak bersuara. 

"Hari ini jadwal aku periksa kandungan. Aku minta izin keluar rumah, ya," lanjut Laila. 

"Kenapa harus minta izin? Aku bukan suamimu lagi, jadi aku tidak berhak tahu apa pun yang hendak kamu lakukan," jawab Ibram datar, kemudian kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. 

"Mas Ibram memang bukan suamiku lagi, tapi bagi perempuan yang sedang dalam masa idah, kami dilarang keluar dari rumah tanpa seizin mantan suami, karena biar bagaimana pun, sebelum aku melahirkan dan masa idahku selesai, aku masih menjadi tanggung jawab Mas Ibram." Laila memberi penjelasan dengan menatap wajah Ibram yang tampak tak acuh. 

"Terserah kamu saja, tapi aku tidak bisa menemanimu memeriksakan kandungan," balas Ibram tanpa menatap wajah mantan istrinya.

Laila mengangguk. Toh selama ini memang Ibram juga tak pernah menemainya ke dokter untuk memeriksakan kandungannya.

"Terima kasih, Mas," kata wanita itu.

"Hm." Hanya itu tanggapan Ibram. 

Setelah selesai dengan sarapannya, Ibram segera meninggalkan ruang makan. Ia bergegas berangkat kerja tanpa berpamitan pada Laila. 

Laila menghela napas melihat hal itu. Ia harus bisa membiasakan diri sebagai orang lain di mata Ibram. 

***

Seperti ucapannya pada Ibram tadi pagi, selepas jam makan siang, Laila memeriksakan dirinya ke dokter kandungan yang sudah menjadi langganannya sejak pertama ia mengetahui kehamilannya. 

Saat tiba di ruang tunggu pemeriksaan, suasana di tempat itu sudah ramai karena dipenuhi oleh ibu hamil yang mengantre di kursi besi. Kebanyakan ibu-ibu hamil itu ditemani oleh suami mereka, meski ada beberapa yang ditemani oleh perempuan lain, mungkin mertua, ibu, atau saudara mereka. 

Melihat hal itu Laila hanya bisa menunduk seraya mengusap-usap perut buncitnya. Padahal biasanya ia juga memeriksakan kandungannya seorang diri, karena memang Ibram selalu beralasan tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Namun, entah kenapa sekarang Laila baru merasa iri saat melihat wanita-wanita hamil yang berada di ruangan itu. Mereka begitu beruntung karena ada suami yang menemani, sementara dirinya? Ibram bahkan memberinya sebuah talak saat ia tengah berjuang dengan kehamilannya. 

Hampir setengah jam lamanya Laila duduk di kursi tunggu yang keras itu. Pinggannya mulai sakit dan kakinya sudah kesemutan. Hingga tak lama kemudian, namanya di panggil oleh perawat. 

"Selamat siang, Bu Laila." Seorang dokter perempuan berambut pendek menyapa ramah, begitu Laila duduk di depannya. 

"Siang, Dok," balas Laila dengan senyum tipisnya. 

Dokter perempuan bernama Devita itu menanyakan beberapa hal basa-basi terlebih dulu pada Laila, kemudian meminta suster yang mendampinginya untuk membawa Laila ke ranjang pasien yang berada di ruangan itu.  

Laila diperiksa tekanan darahnya terlebih dulu, ditanya apa saja keluhannya akhir-akhir ini, kemudian mereka melakukan USG pada kandungan Laila.

Padahal, ini adalah kali ke-tujuh Laila melakukan pemeriksaan rutin setiap bulannya. Namun, baru kali ini ia merasa sedih saat Dokter Devita menjelaskan tentang keadaan janin yang berada di dalam perutnya. Bukan karena kandungannya bermasalah, tapi Laila sedih karena saat bayinya lahir nanti, anak itu sudah tidak lagi memiliki keluarga yang utuh. 

Setelah pemeriksaan selesai dan Dokter Devita memberikan resep obat, Laila pamit undur diri. 

Sepanjang langkahnya keluar dari ruangan Dokter Devita, Laila seperti orang linglung. Kesedihannya seperti merenggut sisi kewarasan wanita hamil itu. Banyak ketakutan-ketakutan yang ia pikirkan atas perceraiannya dengan Ibram. Ia mengkhawatirkan nasib anaknya, mengkhawatirkan bagaimana perasaan orang tuanya, dan banyak hal yang kini menyesaki kepalanya. 

"Mbak! Awas!" 

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status