Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan, saat Zila terlelap. Berarti sudah lebih dari satu jam, Mas Elman ngobrol dengan tamunya. Perlahan aku beringsut dari tempat tidur, bermaksud menyusul suamiku. Penasaran, obrolan apa yang membuat mereka berlama-lama di ruang tamu. "Terimakasih ya, El, kamu memang berhati baik. Coba kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu apa yang terjadi padaku malam itu." Tunggu, kok ada suara perempuan? Perasaan tadi Dito sendirian, mana suaranya familiar sekali di telingaku. Itu suara Mbak Dita. "Sama-sama, aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan," balas Mas Elman. "Aku harap kamu mempertimbangkan tawaran ku, kalau kamu takut istrimu melarang, kamu diam aja nggak usah cerita. Toh kamu bisa melakukannya setelah pulang kerja." Duh, bikin penasaran aja. Apa sih maksud Mbak Dita ngomong kayak gitu? Jangan-jangan dia minta dinikahi Mas Elman, bisa jadi kan? Itu tidak boleh terjadi, aku harus menggagalkan rencana mereka. "Eh, ada Mbak Dita. Apa kabar, Mbak
Sejak malam kedatangan Mbak Dita dan adiknya, sikap Mas Elman berubah 180°, tak lagi hangat dan mesra, seperti saat hubungan kami membaik. Bahkan dia sering pulang malam dalam keadaan capek, kalau sudah begitu, dia akan langsung tidur setelah mandi. Ritual sarapan pagi pun, dia lewatkan begitu saja. Alasannya, pekerjaan sudah menunggu. Sesibuk itukah suamiku? Aku dan Zila terpaksa berangkat ke day care berdua, naik motor matic yang kubeli sebelum menikah. Rasanya hubunganku dengan Mas Elman lebih buruk daripada awal menikah dulu. Kalau dulu masih ada Eyang, dia masih bersikap mesra, meski hanya pura-pura. Tapi sekarang? Ingin sekali aku menjadi detective dadakan, menyelidiki kegiatan suamiku bila sedang di luaran. Namun apa daya, aku harus bekerja, dan masih harus mengurus Zila. Untuk menyewa orang membuntuti suamiku, aku tak tahu harus menyuruh siapa. Aku belum lama tinggal di kota ini, tak banyak kenalan. Hanya Riyanti teman dekatku, tapi gadis itu pun sama denganku, dia pendatang
Atas ide Riyanti, aku meretas WA Mas Elman. Meski terlihat polos, ternyata gadis itu lihai juga urusan sadap menyadap HP. "Nih! Kamu sudah memantau komunikasi suamimu," ucap gadis yang usianya lebih muda tiga tahun dariku itu, sambil menyerahkan ponsel. "Makasih ya?" Aku menerima ponsel itu, sambil men scrol riwayat chat suamiku. Nggak ada yang aneh, semuanya normal. Percakapan pun membahas seputar pekerjaan. "Aman aja, Ri. Nggak ada yang aneh," gumamku. "Mungkin chat lama sudah dihapus, sementara belum ada chat baru yang masuk. Biasanya orang selingkuh itu lihai, pinter nyari celah. Mereka sudah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa membongkar kebejatan mereka." Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Riyanti. Masa iya Mas Elman sudah se-ekspert itu? Perasaan dia orangnya kalem. Selama ini tidak ada gejala-gejala yang aneh, hanya sering pulang malam itu saja. "Kalau misalnya mereka pakai aplikasi lain gimana? Kan ada telegram, messenger, we chat, atau mungkin kak
Aku bisa saja melabrak mereka, menampar keduanya, melampiaskan semua amarah, melampiaskan kekecewaan atas penghianatan mereka. Tapi apa daya, nyatanya aku tak sanggup melihat mereka bersikap mesra, aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya. Apakah mereka sekedar makan malam, atau berlanjut hingga ke ranjang. Kuputuskan untuk segera pulang, bagiku pertemuan ini sudah cukup membuktikan, bahwa selama ini Mas Elman membohongiku. Tak ada lagi kompromi, penghianatan tak bisa dimaafkan. Setengah mati aku berusaha menjadi istri dan ibu yang baik untuk anaknya, tapi mendapat balasan yang sangat menyakitkan. Sepanjang jalan aku hanya bisa menangis, meski awalnya sudah menduga, tapi melihat kenyataannya ternyata sakit luar biasa. Kenapa Mas Elman tidak jujur saja, kalau masih mencintai Mbak Dita. Kenapa dia memintaku membuatnya jatuh cinta, kalau nyatanya hati dia masih milik Mbak Dita. Rasanya tidak akan sesakit ini, kalau aku tidak terlanjur jatuh cinta. Hal yang palin
"Mas," ucapku ragu. "Mulai hari ini dan seterusnya, tolong kamu urus Zila. Aku mengundurkan diri jadi istrimu." Akhirnya kata-kata itu lolos dari bibirku. Rahang Mas Elman mengetat, matanya menatapku tajam. Jelas sekali terlihat dia tidak suka mendengar ucapanku.. "Maksudmu apa?" "Aku menyerah, Mas. Aku tidak sanggup lagi menjadi istrimu," ucapku pelan, bahkan nyaris tidak terdengar. Mas Elman menghembuskan nafas kasar, dia menatapku dalam-dalam. "Kenapa tiba-tiba? Pernikahan kita baik-baik saja. Aku merasa kita tidak ada masalah. Tolong jelaskan apa alasannya, apa ini ada hubungannya dengan pergimu semalam?" Aku mengangguk tanpa bersuara. "Memangnya kamu pergi kemana? Ketemu siapa?" cercanya."Jawabannya ada dikamu, Mas.""Maksudmu?""Kamu bisa jawab pertanyaanmu sendiri, Mas.""Nira, tolong jelaskan sejelas-jelasnya, nggak usah muter-muter. Kepalaku pusing, kamu pergi tanpa sepengetahuanku, dan tiba-tiba minta cerai. Kenapa aku yang harus menjelaskan." Nada suara Mas Elman terd
"Aku mencintaimu""Aku nggak mau kehilangan kamu""Aku nggak sanggup hidup tanpamu""Aku mohon jangan pergi""Jangan tinggalkan kami"Entah berapa kali Mas Elman mengulang kata-kata itu sepanjang perjalanan kami, tapi aku memilih membisu. Untuk apa bersuara, kalau dia tetap pada pendiriannya. Menyimpan rapat rahasia, dengan alasan belum saatnya aku tahu. Bukankah dalam sebuah pernikahan harus landasi keterbukaan, kejujuran. Emang dia nggak tahu, komunikasi itu penting banget agar hubungan tetap langgeng? Kalau dia tetap teguh dengan pendiriannya, aku juga bisa. Usai berbalas pesan dengan kepala daycare, minta ijin tidak masuk, aku memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu menoleh ke arah jendela. Bagiku pemandangan lebih menarik, daripada mendengar ocehan Mas Elman. Percuma dia keluarkan segala rayuan gombal, nggak mempan. Hatiku sudah terlanjur membatu. "Ra!" Mas Elman meraih jemariku dalam genggamannya, tapi buru-buru ku tarik. Malas aku bersentuhan dengan laki-laki pembohong seperti d
"Lho, Nak Elman nggak ikut nginep sekalian?" Suara Ibu bernada kecewa. Saat Mas Elman berpamitan. "Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, Bu. Lagipula saya dan Zila tidak bawa baju ganti, memang dari awal niatnya hanya ngantar Dek Nira saja." Mas Elman menolak permintaan Ibu. "Padahal sejak menikah, Nak Elman belum pernah nginep di sini lho." Setelah ijab kabul terucap, Mas Elman langsung memboyongku ke rumah Eyang tanpa menunggu malam. Waktu itu pernikahan kami digelar secara sederhana, hanya akad dan resepsi kecil-kecilan. "Ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal, Bu.""Ya .... Sayang sekali, padahal sudah sampai sini, kenapa nggak nginep sekalian?" Ibu menatap kecewa Mas Elman. "Maaf, Bu. Saya terlanjur membuat janji. Insya Allah saya akan menginap di sini, kalau ada waktu longgar." Elak Mas Elman. Aku jadi mikir, apa dia janjian sama Mbak Dita? Menang banyak dong, Mas Elman. Aku nggak di rumah, dia bisa bebas ketemuan sama mantan pacarnya itu. Eh, ngapain aku mikirin mer
Pov Elman"El!" Baru saja aku turun dari mobil, hendak membuka pintu pagar, Dita datang berjalan ke arahku. "Kamu kemana aja seharian? Ponselmu mati, aku cari di kantor nggak ada. Aku khawatir banget tahu, nggak?" Wajah Dita nampak khawatir. "Aku ngantar Nira pulang tadi. Ada apa?" jawabku datar. Harusnya aku senang, mendapat perhatian dari wanita secantik Dita, tapi sayangnya hatiku terlanjur membencinya. Sebenernya bukan dia yang aku benci, melainkan ayahnya. Tapi sikapnya yang terus mengejarku, membuatku tidak nyaman. Benar-benar wanita nggak punya hati, berusaha merebut laki-laki yang sudah menjadi milik wanita lain. "Ck, cuek banget sih, jadi orang! Aku bingung tahu! Kamu nggak bisa dihubungi, orang kantor juga nggak tahu kamu kemana? Kan aku jadi panik! Takut kamu kenapa-napa! Ngabarin apa susahnya sih!" Dita bersungut-sungut dengan bibir mengerucut. Kalau ini terjadi lima tahun yang lalu, pasti aku sudah mengacak rambutnya, karena gemas. Tapi itu dulu, saat di hatiku dipe