Minggu pagi yang cerah. Kanaya membawa kanvas dan alat-alat lukis lainnya ke teras rumah. Ia ingin menikmati sinar matahari pagi sembari melukis. Akhir-akhir ini mood melukisnya sangat bagus. Ide-ide segar terus bermunculan di benaknya. Menunggu untuk direalisasikan dalam objek nyata sebuah lukisan. Mungkin semua ini dipengaruhi oleh makin membaiknya hubungannya dengan Haikal dari hari ke hari. Sehingga hormon dopaminnya keluar dengan sendirinya karena hatinya tengah berbahagia. Walau hubungannya dengan Haikal belum bisa dikategorikan dalam couple goals, tetapi setidaknya mereka berdua kini sudah lebih bisa berkompromi. Mereka berusaha saling menyamankan satu sama lain. Untuk saat ini, itu saja sudah cukup.
Setelah memandangi kanvas kosong sekian menit, Kanaya mulai melukis. Ia bermaksud melukis pantai yang indah seperti pantai Kuta di Bali. Kanaya menarik garis lurus horizontal di tengah-tengah kertas. Garis ini ini ada
Selamatan rumah baru Tante Menik menjadi petaka. Fauzan yang secara tidak sengaja mendengar perkataan Marsya mengenai orang yang paling dicintainya sepanjang masa, berbuntut panjang. Fauzan meninggalkan rumah baru mertuanya sebelum acara selesai dengan membawa serta kedua buah hatinya. Sejurus kemudian Thoriq juga menyusul. Thoriq pasti tidak senang karena merasa adiknya telah dibohongi oleh Marsya. Dan seperti biasa, Marsya si ratu drama menyalahkan Kanaya. Marsya mendramatisir keadaan seolah-olah Kanaya lah yang memancing-mancingnya, dirinya sanpai berbicara yang tidak-tidak. Tante Menik emosi karena mengira Kanaya sengaja mengail di air keruh. Untung saja Haikal segera bertindak dan menyelamatkan Kanaya dari amukan Tante Menik dan Marsya. Sebelum Kanaya dan Haikal berlalu, Tante Menik sempat memperingati Haikal akan satu hal. Tante Menik mengatakan bahwa suatu hari Haikal akan menyesal karena membela istri tukang bohongnya, alih-alih keluarga besarnya
Kanaya menghampiri Haikal yang mematung di depan jendela kamar. Air mukanya tidak terbaca. Begitu dingin dan datar. Kanaya membuka mulut namun akhirnya ia menutupnya kembali. Ia belum menemukan topik pembicaraan yang cocok. Saat pandangannya tertuju pada kemeja putih Haikal yang terlihat kotor, sesuatu melintasi pikirannya. "Mas mau mandi? Kalau mau, biar Naya siapkan pakaian gantinya," Kanaya memilih topik pembicaraan yang ia anggap aman. Haikal menggeleng tanpa sedikit pun melihat ke arahnya. Tatapannya masih mengembara ke luar jendela. Kanaya menarik napas panjang. Haikal jelas-jelas enggan berkomunikasi dengannya. Kanaya menyerah. Ia membalikkan tubuh. Bermaksud keluar dari kamar dan membiarkan Haikal dengan lamunannya sendiri. Namun saat ia teringat akan kata-kata Safa kemarin, ia mengurungkan niatnya."Perjuangin kakak gue, Nay. Buat Mas Haikal jatuh cinta beneran sama lo!"
Kanaya baru mengerti ungkapan yang mengatakan kalau kesakitan di dalam hati, mampu mengalahkan kesakitan fisik. Buktinya saat akan melahirkan seperti ini, ia seperti tidak merasakan sakit akibat kontraksi. Pikirannya semua tercurah pada keadaan Haikal. Ia tidak tau apa yang telah terjadi pada suaminya. Sesaat setelah ia masuk ke dalam ruang bersalin, ia tidak boleh lagi memegang ponsel. Alhasil pikirannya terus mengembara ke mana-mana. Ia membayangkan kalau suaminya itu tengah tergeletak berdarah-darah di jalanan, tanpa ada yang memberitahukannya. Memikirkan semua kengerian-kengerian itu, ia kembali berteriak histeris. Demi Tuhan, ia ketakutan!"Jangan begini, Nay. Jangan terus menyiksa dirimu dengan pikiran yang tidak-tidak. Ingat ada bayi yang harus kamu lahirkan dengan selamat. Dengar baik-baik, dengan selamat, Nay. Kamu tidak ingin terjadi sesuatu pada bayimu, bukan?" ancam dokter Kirana.Sebenarnya dokt
Kehidupan baru setelah Juang lahir, membuat kediaman mereka yang sebelumnya sepi mereka menjadi lebih semarak. Tangisan melengkingnya, aroma khas bayi di seantero rumah, hingga jemuran segala atribut bayi yang melambai-lambai di belakang rumah. Bayi tampannya juga membuat Haikal semakin betah di rumah. Setiap sore sepulang kerja, Haikal kerap mengajak Juang bercanda heboh di dalam kamar. Padahal Juang masih bayi merah yang belum bisa apa-apa. Seperti saat ini misalnya. Suara bariton Haikal terdengar hingga ke dapur. Suaminya itu tengah mengajak Juang bernyanyi. Kanaya dan Ika yang tengah mempersiapkan makan malam tertawa geli. Yang mengajari bernyanyi saja buta nada. Bagaimana ia bisa sukses mengajari Juang bernyanyi bukan?"Pak Haikal sekarang bawaannya gembira terus ya, Bu? Padahal dulu Pak Haikal galak banget lho, Bu. Boro-boro bisa melihat Pak Haikal tertawa lepas begini. Senyum aja susah." Ika yang tengah menggoreng ikan terkekeh."Ma
"Setelah Dina ketahuan berbohong, hidup kami semua berantakan, Nak." Ramli mengusap matanya yang mendadak berair. Ia sama sekali tidak mengira, kalau di usia senjanya seperti ini, ia harus mengalami cobaan berat. Semua harta bendanya habis, demi membayar biaya pengobatan istri dan anak perempuannya. Sementara semua usahanya diobrak abrik oleh keluarga Albani. Relasi-relasi dagangnya diancam. Pelanggan-pelanggannya ditikung. Sampai nama baik gerai baksonya dirusak. Sekarang ia sudah tidak mempunyai apapun lagi selain nyawa di kandung badan.Terkadang ia bahkan ingin sekali mengakhiri hidupnya. Hanya saja memikirkan istri dan anak-anaknya yang tengah sakit fisik dan sakit jiwa seperti ini, ia mencoba menguat-nguatkan diri. Hanya anak bungsunya, Vina, yang bisa membuatnya tetap waras. Walau telah dipecat dari perusahaan karena sabotase keluarga Albani, Vina tidak malu jualan bakso seperti ini di depan rumah kontrakan mereka. Vina telah diblacklist ol
Haikal tiba di rumah pukul tujuh malam keesokan harinya. Air mukanya tampak letih. Haikal memang langsung kembali ke Jakarta begitu semua persoalan di perkebunan selesai. Jadi tidak heran kalau ia tampak capek lahir batin seperti ini. Satu hal yang sangat disyukuri oleh Kanaya adalah, berhasilnya mediasi antara Haikal dengan warga. Walau warga masih tidak senang karena Haikal mengkasuskan enam orang penduduk setempat, tetapi mereka sudah memahami duduk persoalannya. Bahwa maaf memang bisa diterima. Tetapi masalah hukum harus tetap berjalan untuk menghadirkan efek jera. Dan masalah hukum, tidak bisa dicampuri oleh pihak manapun. Ada perangkat hukum khusus yang akan menindaklanjutinya.Setelah membersihkan diri dan makan malam, Haikal mengurung diri di ruang kerja. Banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan katanya. Sesaat setelah Haikal masuk ke ruang kerja, Kanaya terus berpikir. Ia menimbang-nimbang, apakah sebaiknya ia membicarakan masalah Ghifari sekaran
Mobilpick upbaru saja menurunkan barang-barang terakhir. Enam boxs besar berisi peralatan dapur dan barang pecah belah, diturunkan dengan hati-hati dari ataspick up.Kanaya yang tengah memasang tirai jendela menarik napas lega. Akhirnya, semua barang-barang di kediamannya dan Haikal dulu, telah diangkut semua ke rumah kontrakan ini. Ya, kini mereka mengontrak rumah. Akibat dari perseteruan hebat Haikal dengan keluarganya minggu lalu, membuat suaminya itu harus menanggalkan nama besar Baihaqi yang sudah di sandangnya selama tiga puluh lima tahun lebih. Pertikaian terjadi saat Haikal meminta izin untuk menikah ulang setelah bulan lalu permintaannya ditolak. Dan seperti yang telah mereka berdua duga, kali ini pun kedua orang tua Haikal tetap menolak. Lebih dari itu, kedua orang tua Haikal meminta Haikal memilih antara keluarga besarnya atau anak istrinya. Konsekuensinya cukup besar. Kalau Haikal memilih keluarga besa
Seperti yang dikatakan Jihan beberapa hari lalu, kalau baru saja merintis usaha itu butuh waktu, kesabaran dan tentu saja keberuntungan. Ketiga hal itu saling terkait satu sama lain. Kanaya sudah membuktikan sendiri kebenaran kata-kata Jihan. Sudah tiga hari ini ia berjualan bakso di warung Jihan. Pada hari pertama berjualan, ia hanya mampu menjual lima mangkok bakso. Hari kedua, tujuh mangkok. Dan hari ke tiga ini sembilan mangkok sampai pukul lima sore. Penghasilannya selama dua hari ini masih jauh dari kata cukup. Ia masih terus menombok. Untungnya sisa baksonya masih bisa dijual. Setiap malam saat warung akan tutup, Pak Ramli selalu mengambil sisa dagangan. Pak Ramli akan menjual keliling sisa baksonya dengan gerobak hingga larut malam. Bila masih tidak habis juga, Vina lah yang akan menjualnya di rumah. Kanaya sangat bersyukur karenanya. Dengan begitu ia tidak akan terlalu merugi karena sisa bakso yang terbuang."Pecel ayamnya lima porsi ya? Mau menco