Haikal berulang kali meremas jalinan tangannya di pangkuan. Saat ini ia tengah duduk gelisah di studio kecil ayah mertuanya. Ia bermaksud membawa Kanaya pulang ke rumah. Dan untuk itu tentu saja ia harus meminta izin pada ayah mertuanya. Haikal tau, tidak mudah mengajuk hati ayah mertuanya yang eksentrik ini. Bara Sudibyo, sang ayah mertua, sikapnya memang tidak bisa diprediksi. Buktinya sudah hampir satu jam ia duduk di studio ini, namun kehadirannya sama sekali tidak dianggap oleh ayah mertuanya.
Sedari tadi, ayah mertuanya hanya sibuk melukis. Sesekali ayah mertuanya ini menelengkan kepala. Mengamati hasil lukisannya dari berbagai sisi. Di saat lain, ayah mertuanya akan menggerutu sendiri. Mungkin ayah mertuanya merasa hasil lukisannya kurang memuaskan hatinya. Kehadirannya sekian lama di sini hanya dianggap seperti kuas cat saja sepertinya.
"Mau ngapain kamu ke sini?" Bara melirik sekilas laki-laki muda di sampingnya. Selanjutnya ia ke
"Cukup, Nay. Aku sudah kenyang."Marsya menolak suapan bubur ayam dari Kanaya. Sungguh ia tidak berselera makan sama sekali. Bayangan ia akan benar-benar kehilangan hak asuh kedua anaknya, menggentarkannya. Marsya sadar, dirinya memang gagal menjadi orang baik. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak gagal. Ia berusaha mendidik Attar dan Azizah dengan baik. Mengajari ilmu pengetahuan, hingga adab dan kesopanan. Sejahat-jahatnya dirinya, sebagai seorang ibu, tetap saja ia menginginkan yang terbaik bagi kedua anaknya. Makanya Marsya sangat depresi membayangkan kalau dirinya bukan saja kehilangan hak asuh, tetapi akan dijauhkan dari anak-anak kandungnya sendiri. Demi apapun, ia tidak sanggup!"Sedikit lagi ya, Mbak? Dari tadi pagi Mbak belum makan apa-apa lho. Mbak bisa sakit yang lain nanti," bujuk Kanaya.
Kanaya beringsut dari kursi kafe sembari memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Berarti sekitar setengah jam lagi, Pak Yaman dan Bu Maryam, akan menemuinya di restaurant ini. Kemarin kedua mantan mertuanya itu meneleponnya. Bu Maryam berbicara dari hati ke hati dengannya hampir selama satu jam penuh. Bu Maryam mengatakan bahwa ia telah mengetahui jati diri Juang yang sebenarnya. Dan sebagai nenek dan kakek, mereka berdua memohon agar diperbolehkan untuk menjenguk Juang. Kedua mertuanya juga berjanji kalau mereka tidak akan berbuat macam-macam, seperti ingin merebut Juang darinya misalnya. Mereka berdua hanya ingin melihat rupa cucu kandung mereka, katanya. Dari cara berbicara Bu Maryam di telepon, Kanaya bisa menangkap satu hal. Bahwa kedua mantan mertuanya ini telah banyak berubah. Setelah tertangkapnya Ghifari dan beberapa perusahaannya dinyatakan pailit, sikap kedua mantan mertuanya ini pun ikut berubah."Apa
Lima bulan kemudian. Kanaya merapikan pakaian Juang yang tengah berada dalam gendongan Ika. Anak seusia Juang memang sedang aktif-aktifnya menarik-narik sesuatu. Alhasil baik pakaian Juang sendiri, atau pun pakaian orang yang menggendongnya, harus siap diacak-acak sewaktu-waktu. Pokoknya setiap ada bentuk dan warna yang mencolok, pasti akan menarik perhatian Juang. "Kalau kamu capek terus menggendong Juang, sini gantian, Ka. Kamu makan saja dulu. Tuh, makanannya enak-enak 'kan?" ujar Kanaya pada Ika. Ika kasihan melihat Ika yang ngos-ngosan karena terus menggendong Juang."Ah jangan dong, Bu. Perut Ibu sudah sebesar itu. Kasihan adek-adek bayinya kalau Ibu harus menggendong Juang. Belum lagi nanti saya diomelin Bapak." Ika nyengir. ARTnya ini sangat memahami sifat Haikal. Kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh, dan ia meng
Tiga bulan kemudian. Kanaya bernapas sesuai dengan intruksi dokter Kirana. Perutnya mulas luar biasa. Bayi-bayi yang selama sembilan bulan lebih menghuni rahimnya ini, seperti tidak sabar berebutan ingin keluar. Kanaya sampai berkeringat dingin karenanya. Rasanya baru kemarin ia melahirkan Juang, dan kini ia harus kembali melahirkan lagi. Sebenarnya Haikal menginginkannya melahirkan dengan operasi caesar. Karena menurut Haikal dan kedua mertuanya, lebih aman mengingat ia harus melahirkan dua orang bayi. Dikhawatirkan ia kehabisan tenaga atau letak bayinya sungsang dan lain sebagainya. Tetapi Kanaya bersikeras ingin melahirkan secara normal. Karena Juang juga ia lahirkan secara normal. Untungnya keinginannya itu didukung oleh dokter Kirana. Menurut dokter Kirana bayi kembar bisa dilahirkan secara normal apabila keadaannya memungkinkan. Misalnya pada saat akan dilahirkan keadaan b
"Jadi saya beneran hamil ini, Dok?" Kanaya Prameswari nyaris tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Kedua tangannya bergetar saat membaca hasil urine dari laboratorium RSIA. Lima tahun penantiannya berakhir sudah. Selama lima tahun pernikahannya ini, Ghifari Albani, suaminya, sangat mengharapkan kehadiran seorang buah hati. Wajar saja, suaminya adalah seorang anak tunggal. Kehadiran generasi penerus pasti sudah pasti sangat dinanti-nantikan oleh seluruh keluarga besarnya. Dalam dua tahun terakhir ini suaminya sangat stress karena tekanan dari berbagai pihak. Baik itu dari keluarga besar Albani atau pun dari kedua orang tuanya. Mereka semua kerap menyindir-nyindir kehidupan rumah tangga mereka yang dianggap belum sempurna karena ketiadaan buah hati. Dengan kehamilannya ini pasti akan membuat suaminya bahagia luar biasa. Memikirkan hal itu rasa syukur tidak henti-henti diucapkan Kanaya pada yang Maha Kuasa.
Pak Rustam berulang kali melirik nyonya mudanya. Ia bingung melihat betapa berbedanya air muka sang nyonya muda saat kembali ke mobil. Terlebih lagi kepergian nyonya mudanya tidak lebih dari sepuluh menit. Tetapi ia hanya bisa menyimpan rasa penasarannya dalam hati saja. Ia toh hanya seorang supir."Kita mau ke mana, Bu?" Tanya Pak Rustam sopan. Namun kalimatnya sama sekali tidak direspon oleh sang nyonya muda. Nyonya mudanya hanya memandang lurus ke depan dengan tatapan nyalang."Bagaimana, Bu?" Tanya Pak Rustam untuk ke dua kalinya."Hah? Bapak menanyakan apa tadi?" Guman Kanaya linglung. Bukan hal mudah menyembunyikan perasaan hati yang gundah gulana dengan tampilan seolah baik-baik saja."Saya tadi bertanya, kita mau ke mana, Bu? Mau langsung pulang ke rumah atau mengunjungi orang tua Bu Naya dulu barangkali?" Ujar Pak Rustam hati-hati. Mata tuanya menangkap kesedihan di kedua bola mata nyonya mu
"Mas Fari, Naya." Melihat kehadiran mereka berdua Dina langsung berdiri dari sofa. Wajahnya terlihat kusut dengan air muka yang disedih-sedihkan. Ada satu hal ganjil yang Kanaya perhatikan. Dina sama sekali tidak berani memandang wajahnya. Ia sangat mengenal Dina. Kalau Dina bersikap seperti ini, itu artinya ia sedang merasa bersalah padanya. Dina pasti tengah merencanakan sesuatu yang akan menyakiti hatinya."Ada apa, Din? Mengapa kamu mencari saya sampai ke sini? Kamu ingat 'kan perjanjian kita?" Tukas Ghifari ketus. Kanaya tahu bahwa Ghifari mulai tidak nyaman melihat sikap Dina yang terlalu nekad."Maaf, Mas. Aku kemari karena ini," Dina membuka tas tangan dan menyerahkan sebuah amplop putih berlogo Rumah Sakit Ibu dan Anak ke tangan Suaminya.Sekarang Kanaya mengerti apa maksud kedatangan Dina ke rumahnya. Sama persis sama seperti yang ingin ia lakukan di kantor Ghifari sekitar satu jam yang lalu.
Setelah hampir seminggu bersitegang dengan Ghifari, akhirnya suaminya itu bersedia juga bercerai. Harus Kanaya akui, keberhasilannya kali ini sebagian besar adalah berkat andil ibu mertuanya. Ya, ibu mertuanya tidak henti-hentinya mendukung keinginannya untuk bercerai. Padahal selama lima tahun menjadi menantunya, ibu mertuanya ini tidak pernah sekalipun mendukungnya dalam hal apapun. Ini ini adalah kali pertama mereka berdua bersepakat dalam satu hal. Sepakat untuk mengakhiri statusnya sebagai menantu keluarga Albani tentu saja. Dan Kanaya memang sudah siap lahir batin untuk melepas singgasananya.Kanaya sekarang bisa bernapas lega karena gugatan cerainya atas Ghifari akhirnya diproses juga. Minggu depan adalah sidang pertama gugatan cerainya. Proses perceraian mereka bisa berjalan cepat karena ia memang hanya menginginkan perpisahan saja. Ia sama sekali tidak memasukkan soal klausual harta gono gini sama sekali. Makanya ibu mertuanya bersedia mendukung.