Kanaya menghampiri Haikal yang mematung di depan jendela kamar. Air mukanya tidak terbaca. Begitu dingin dan datar. Kanaya membuka mulut namun akhirnya ia menutupnya kembali. Ia belum menemukan topik pembicaraan yang cocok. Saat pandangannya tertuju pada kemeja putih Haikal yang terlihat kotor, sesuatu melintasi pikirannya.
"Perjuangin kakak gue, Nay. Buat Mas Haikal jatuh cinta beneran sama lo!"<
Kanaya baru mengerti ungkapan yang mengatakan kalau kesakitan di dalam hati, mampu mengalahkan kesakitan fisik. Buktinya saat akan melahirkan seperti ini, ia seperti tidak merasakan sakit akibat kontraksi. Pikirannya semua tercurah pada keadaan Haikal. Ia tidak tau apa yang telah terjadi pada suaminya. Sesaat setelah ia masuk ke dalam ruang bersalin, ia tidak boleh lagi memegang ponsel. Alhasil pikirannya terus mengembara ke mana-mana. Ia membayangkan kalau suaminya itu tengah tergeletak berdarah-darah di jalanan, tanpa ada yang memberitahukannya. Memikirkan semua kengerian-kengerian itu, ia kembali berteriak histeris. Demi Tuhan, ia ketakutan!"Jangan begini, Nay. Jangan terus menyiksa dirimu dengan pikiran yang tidak-tidak. Ingat ada bayi yang harus kamu lahirkan dengan selamat. Dengar baik-baik, dengan selamat, Nay. Kamu tidak ingin terjadi sesuatu pada bayimu, bukan?" ancam dokter Kirana.Sebenarnya dokt
Kehidupan baru setelah Juang lahir, membuat kediaman mereka yang sebelumnya sepi mereka menjadi lebih semarak. Tangisan melengkingnya, aroma khas bayi di seantero rumah, hingga jemuran segala atribut bayi yang melambai-lambai di belakang rumah. Bayi tampannya juga membuat Haikal semakin betah di rumah. Setiap sore sepulang kerja, Haikal kerap mengajak Juang bercanda heboh di dalam kamar. Padahal Juang masih bayi merah yang belum bisa apa-apa. Seperti saat ini misalnya. Suara bariton Haikal terdengar hingga ke dapur. Suaminya itu tengah mengajak Juang bernyanyi. Kanaya dan Ika yang tengah mempersiapkan makan malam tertawa geli. Yang mengajari bernyanyi saja buta nada. Bagaimana ia bisa sukses mengajari Juang bernyanyi bukan?"Pak Haikal sekarang bawaannya gembira terus ya, Bu? Padahal dulu Pak Haikal galak banget lho, Bu. Boro-boro bisa melihat Pak Haikal tertawa lepas begini. Senyum aja susah." Ika yang tengah menggoreng ikan terkekeh."Ma
"Setelah Dina ketahuan berbohong, hidup kami semua berantakan, Nak." Ramli mengusap matanya yang mendadak berair. Ia sama sekali tidak mengira, kalau di usia senjanya seperti ini, ia harus mengalami cobaan berat. Semua harta bendanya habis, demi membayar biaya pengobatan istri dan anak perempuannya. Sementara semua usahanya diobrak abrik oleh keluarga Albani. Relasi-relasi dagangnya diancam. Pelanggan-pelanggannya ditikung. Sampai nama baik gerai baksonya dirusak. Sekarang ia sudah tidak mempunyai apapun lagi selain nyawa di kandung badan.Terkadang ia bahkan ingin sekali mengakhiri hidupnya. Hanya saja memikirkan istri dan anak-anaknya yang tengah sakit fisik dan sakit jiwa seperti ini, ia mencoba menguat-nguatkan diri. Hanya anak bungsunya, Vina, yang bisa membuatnya tetap waras. Walau telah dipecat dari perusahaan karena sabotase keluarga Albani, Vina tidak malu jualan bakso seperti ini di depan rumah kontrakan mereka. Vina telah diblacklist ol
Haikal tiba di rumah pukul tujuh malam keesokan harinya. Air mukanya tampak letih. Haikal memang langsung kembali ke Jakarta begitu semua persoalan di perkebunan selesai. Jadi tidak heran kalau ia tampak capek lahir batin seperti ini. Satu hal yang sangat disyukuri oleh Kanaya adalah, berhasilnya mediasi antara Haikal dengan warga. Walau warga masih tidak senang karena Haikal mengkasuskan enam orang penduduk setempat, tetapi mereka sudah memahami duduk persoalannya. Bahwa maaf memang bisa diterima. Tetapi masalah hukum harus tetap berjalan untuk menghadirkan efek jera. Dan masalah hukum, tidak bisa dicampuri oleh pihak manapun. Ada perangkat hukum khusus yang akan menindaklanjutinya.Setelah membersihkan diri dan makan malam, Haikal mengurung diri di ruang kerja. Banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan katanya. Sesaat setelah Haikal masuk ke ruang kerja, Kanaya terus berpikir. Ia menimbang-nimbang, apakah sebaiknya ia membicarakan masalah Ghifari sekaran
Mobilpick upbaru saja menurunkan barang-barang terakhir. Enam boxs besar berisi peralatan dapur dan barang pecah belah, diturunkan dengan hati-hati dari ataspick up.Kanaya yang tengah memasang tirai jendela menarik napas lega. Akhirnya, semua barang-barang di kediamannya dan Haikal dulu, telah diangkut semua ke rumah kontrakan ini. Ya, kini mereka mengontrak rumah. Akibat dari perseteruan hebat Haikal dengan keluarganya minggu lalu, membuat suaminya itu harus menanggalkan nama besar Baihaqi yang sudah di sandangnya selama tiga puluh lima tahun lebih. Pertikaian terjadi saat Haikal meminta izin untuk menikah ulang setelah bulan lalu permintaannya ditolak. Dan seperti yang telah mereka berdua duga, kali ini pun kedua orang tua Haikal tetap menolak. Lebih dari itu, kedua orang tua Haikal meminta Haikal memilih antara keluarga besarnya atau anak istrinya. Konsekuensinya cukup besar. Kalau Haikal memilih keluarga besa
Seperti yang dikatakan Jihan beberapa hari lalu, kalau baru saja merintis usaha itu butuh waktu, kesabaran dan tentu saja keberuntungan. Ketiga hal itu saling terkait satu sama lain. Kanaya sudah membuktikan sendiri kebenaran kata-kata Jihan. Sudah tiga hari ini ia berjualan bakso di warung Jihan. Pada hari pertama berjualan, ia hanya mampu menjual lima mangkok bakso. Hari kedua, tujuh mangkok. Dan hari ke tiga ini sembilan mangkok sampai pukul lima sore. Penghasilannya selama dua hari ini masih jauh dari kata cukup. Ia masih terus menombok. Untungnya sisa baksonya masih bisa dijual. Setiap malam saat warung akan tutup, Pak Ramli selalu mengambil sisa dagangan. Pak Ramli akan menjual keliling sisa baksonya dengan gerobak hingga larut malam. Bila masih tidak habis juga, Vina lah yang akan menjualnya di rumah. Kanaya sangat bersyukur karenanya. Dengan begitu ia tidak akan terlalu merugi karena sisa bakso yang terbuang."Pecel ayamnya lima porsi ya? Mau menco
Kanaya membolak balik tubuhnya dengan gelisah. Sedari di warung tadi, ia sudah tidak sabar menunggu waktu untuk menjelaskan soal ancaman Ghifari pada Haikal. Setelah Ghifari berlalu dari warung, Haikal memang tidak mengatakan apa-apa. Suaminya itu tetap ramah dalam melayani pembeli. Terhadapnya pun biasa saja. Hanya sinar matanya saja yang berubah. Ada kekecewaan yang kental di sana. Saat ia ingin menjelaskan pun, Haikal menolak. Jangan membawa-bawa masalah pribadi ke pekerjaan katanya. Kanaya baru tau kalau Haikal itu selalu bersungguh-sungguh dalam bekerja, walau apapun jenis pekerjaannya. Termasuk berdagang bakso. Pantas saja Haikal selalu sukses dalam semua bidang pekerjaannya. Haikal fokus setiap melakukan sesuatu.Suara pintu kamar mandi yang terbuka memutus lamunan Kanaya. Inilah saatnya. "Mas, sebenarnya--" Kanaya kehilangan kata-kata. Bagaimana tidak, Haikal keluar dari kam
Dengan tangan gemetar Kanaya mencoba menelepon ayah mertuanya. Pada saat seperti ini ia sudah tidak memikirkan soal janjinya pada Haikal lagi. Semenjak keluarganya memutuskan hubungan kekerabatan, Haikal memang bertekad untuk mandiri. Haikal melarang keras segala hal yang intinya meminta bantuan pada kedua orang tuanya. Dan Kanaya pun sebelumnya telah berjanji untuk mematuhi segala larangan suaminya. Tapi keadaan sedang genting begini, mana mungkin ia diam saja saat Haikal celaka bukan? Kanaya mendesah kecewa saat panggilannya tidak tersambung. Sepertinya ponsel ayah mertuanya sedang tidak aktif. Namun Kanaya tidak yakin. Ia kembali mencoba menelepon. Siapa tau jaringan telepon ayah mertuanya sedang tidak baik. Makanya panggilan tidak masuk. Saat panggilan tetap tidak bisa terhubung, barulah Kanaya menyerah. Ponsel ayah mertuanya sepertinya memang dalam keadaan tidak aktif. Tidak