Aku dan Gus Aaraf semakin dekat, apa lagi saat kelulusan sekolahku, ia menghadiahkan banyak buku. Aku memendam hubungan kami selama satu tahun setengah, bahkan Mbak Naya tidak tahu sama sekali.Gus Aaraf tidak pernah bertindak tidak menyenangkan terhadapku, ia selalu manis. Namun, ia masih menyembunyikanku dari Abah Yai dan Bu Nyai. Sampai akhirnya hari ini Gus Aaraf mengajakku ke suatu bukit yang terletak tidak begitu jauh dari Pondok Pesantren."Aku mau bikin perusahaan, Ay. Aku mau bikin usaha sendiri di luar nama Abah."Aku sontak menoleh, "kenapa, Gus?""Aku lelah kalau harus menjadi bayang-bayang. Aku nggak bisa menjadi diriku sendiri saat menjalankan pabrik.""Njenengan sudah yakin?"Gus Aaraf menganggukkan kepala, sesekali ia akan menghela napas dalam, dan menghembuskannya kasar. Angin sore di atas bukit ini begitu sepoi, tetapi sepertinya Gus Aaraf merasakan sesak yang begitu menghimpit di dadanya."Aku bisa menebak pasti Abah akan marah.""Kenapa dilanjutkan? Bukannya ridho
"Sudah sampai, Mas?" tanyaku saat Mas Mahesa menghentikan laju mobilnya. Pria itu mengangguk, ia melepas seat belt dan lantas keluar dari mobil.Mas Mahesa berjalan mengitari mobil menuju pintuku, ia lantas membukakannya untukku. Sangat manis, bukan?Aku turun dan netraku langsung terpaku pada kedai makan bergaya klasik bertulis Ling Ling di gapura masuknya. Pandanganku langsung beralih kepada Mas Mahesa."Masuklah, aku akan menunggu di sini.""Kamu nggak capek nungguin aku?"Ia menggeleng, "sudah, Adek tenang saja. Yang penting Adek nanti harus tenang, baca surat Al-Insyirah, sama minta perlindungan hati sama Allah. Insya Allah semuanya akan mudah.""Iya, Mas. Kalau begitu aku masuk dulu, ya.""Hati-hati, Dek."Aku mengangguk dan lantas masuk ke kedai tersebut. Kakiku melangkah bergantian seiring dengan jantung yang berdegup kencang, aku tahu kalau pertemuan ini untuk menjelaskan bahwa hubungan kita sudah benar-benar selesai, meskipun di sudut hatiku ada sedikit rasa tidak rela. Kare
"Mas Mahesa pria hebat yang terang-terangan datang ke hadapan Paman, meskipun melalui perantara Abah Yai, tetapi ia bisa membuktikan kalau memang menginginkanku. Mas Mahesa nggak banyak bicara, Gus. Tapi dia langsung datang kepada Paman dan menawarkan keseriusan, padahal sebelumnya kami nggak pernah berinteraksi, selain sebagai ustadz dan santri," jelasku panjang lebar.Aku berbicara dengan tegas dan lugas, bahkan aku menatap tajam ke dalam manik matanya. Aku ingin membuktikan bahwa perasaanku sudah sepenuhnya melupakannya, tetapi siapa yang tahu bahwa ada belati tak kasat mata yang menyayat hatiku."Ka-Kamu mencintanya, Ay?""Cinta bisa dipelajari, Gus." Aku menundukkan kepala, menghindari berlama-lama kontak mata dengannya."Seperti apa kedekatan kalian selama ini?""Kami dekat, lebih dari teman. Tapi nggak sedekat seperti njenengan dengan Ning Kayshilla. Kami berteman akrab, berusaha saling mengenal sebelum hari pernikahan.""Kamu yakin sama dia?" tanyanya yang jelas saja menyentil
"Mau langsung pulang? Atau mampir ke mana dulu?""Pulang ke hotel saja, Mas. Aku capek," jawabku dengan suara yang sangat lirih.Mas Mahesa lantas mengangguk, ia mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Sementara aku fokus memandang jalanan luar, menatap pada deretan daun yang menghiasi pinggir jalan raya. Aku meraup banyak udara guna memenuhi rongga dada, tetapi tetap saja rasanya sesak."Bagaimana pertemuan kalian tadi?"Aku sontak menoleh kepada Mas Mahesa yang masih fokus kepada kemudinya."Kami sudah menyelesaikan semuanya, Mas. Kami sudah sama-sama ikhlas dan nggak ada yang menahan untuk melepaskan. Kami sama-sama sadar diri, mau bagaimanapun takdir Tuhan adalah yang terbaik.""Kamu sedih?" tanya Mas Mahesa yang aku sendiri juga tidak tahu jawabannya.Mau bilang sedih, takut ia akan sakit hati. Mau bilang tidak, itu sama saja membohongi perasaanku. Hingga selama sepuluh menit lamanya aku masih terdiam. Mas Mahesa juga tidak membuka suaranya, mungkin ia mau memberiku waktu."M
Aku membelokkan mobil ke dalam gerbang pondok dengan malas, bahkan saat sudah menghentikan laju mobil, kakiku masih enggan turun. Aku masih terduduk di dalam mobil dengan punggung bersandar dan kelopak mata terpejam.'Njenengan harus bisa melupakan aku, Gus!' kata-kata itu terus saja terngiang.Tangan terkepal erat memukul stir mobil dengan pelan. Ia tidak tahu kalau selama beberapa bulan ini aku mati-matian berusaha melupakannya, saat itu juga bayangannya semakin nyata di pelupuk mataku.Aku tidak berdaya, terbelenggu dalam keputusan sakral Abah dan Umik hingga bersatu dengan wanita yang tidak aku cintai. Bukan namanya yang aku sebut di setiap sepertiga malam, tetapi nama wanita lain, wanita yang selama lima tahun ini mengisi hari-hariku.Ingatanku melayang pada beberapa bulan lalu, saat perusahaan mendapat profit banyak dan hendak meminang kekasihku. Ingatan kelam yang sampai kini masih membuatku belum bisa melupakan Ayrani.***Flashback on."Abah sudah melamar Ning Kayshilla, putri
"Maaf, Ay," ucapku saat melihat wanita yang kucintai ini hanya bisa menangis di depanku.Malam ini disaksikan ribuan bintang dan angin malam yang menusuk kulit, aku akhirnya menjelaskan tentang apa yang terjadi. Suara hewan malam bersahutan dengan isak tangis yang terus keluar dari bibir Ayrani. Dua puluh menit sudah kami di sini dan sepuluh menit lamanya hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan. Hatiku semakin memanas saat tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa melihat gadis cantik itu tergugu pilu dengan punggung tangannya sesekali menyeka air mata."Maaf, Ay." "Bukan salah njenengan, Gus." Aku menoleh saat Ayrani membuka suaranyaSungguh! Ini sangat menyentil egoku. Selama lima tahun ini kami merawat cinta, tetapi tidak bisa memetik hasilnya. "Aku tahu ini di luar kemampuan njenengan, aku nggak marah. Hanya ... kaget. Maaf kalau aku nggak dewasa, Gus."Aku menggelengkan kepala dan tidak mampu menjawab. Kami terdiam cukup lama di atas bukit ini, bukit yang sama saat aku menyat
Setiap malam kami masih tidur terpisah, tetapi aku sering kali melihat wajah Kayshilla di saat ia terlelap. Ada guratan bersalah saat menatapnya semakin lama. Namun, aku masih belum yakin perasaanku bisa damai saat menyentuhnya.Sampai saat kehadiran pria lain membuatku belajar meluangkan waktu untuk Kayshilla. Ia wanita tangguh yang mempunyai sifat sabar, sifat itu lah yang membungkus lukanya dalam pernikahan ini. Aku semakin tahu bahwa Kayshilla memiliki kecantikan yang lebih unggul dari wanita lain. Namun, bukan itu, melainkan aku sadar bahwa garis wajahnya begitu mirip denganku.Tujuh hari berturut-turut, selama itu pula aku melakukan salat istikharah. Hasilnya tetep sama, wajah Kayshilla yang muncul dalam mimpiku.Apakah itu tandanya aku harus mencintai Kayshilla?"Jadi laki-laki itu harus logis dan realistis, Gus," ucap Danang, pria berusia 28 tahun yang menjadi rekanku dalam berbisnis."Apa maksudnya?" tanyaku.Danang mendudukkan dirinya di kursi empuk seberangku, kami hanya di
Nouryt Cafe | Siang hari."Ada sesuatu yang mau aku bicarakan, Kang," ucapku kepada sosok pria yang tengah duduk di hadapanku ini."Silakan, Gus." Mahesa menundukkan kepalanya.Yeah! Pria itu adalah Mahesa, calon suami Ayrani dan keduanya akan menikah lima bulan lagi. Aku sengaja memintanya datang ke kafe siang ini lantaran ada sesuatu hal. Aku juga sengaja memilih kafe yang agak jauh dari pondok agar tidak ada yang tahu pertemuan kami."Kamu mencintai Ayrani?" tanyaku langsung.Meskipun hubungan kami sudah selesai, tetapi tetap saja ada perasaan mengganjal. Aku merasa perlu memastikan bahwa Mahesa benar-benar tulus kepada Ayrani."Saya mencintainya, Gus. Dari enam tahun lalu, tepatnya saat pertama kali Ayrani masuk ke Pesantren, saya sudah menyimpan perasaan untuknya."Deg!Aku tertegun mendengar penuturannya."Kenapa nggak bilang dari dulu?" Aku sedikit mencondongkan tubuh kepada Mahesa.Mahesa menggelengkan kepala, "saya merasa belum cukup ilmu dan modal, Gus. Karena niat saya mema