Bruk!! Alan ambruk ke tanah, ia meringkuk memegangi pahanya yang ia rasakan begitu sangat panas. Darah segar menyembur muncrat mengalir dari luka tembak itu."Ayo pergi!" perintah Farrel kepada mereka para pengawalnya."Siap Bos!" jawab mereka bersamaan.Tanpa membantah mereka pun pergi mengikuti tuannya, mereka meninggalkan Alan yang tengah meringkuk sambil merintih kesakitan dipinggir jalan yang sepi."Sstthh!" rintih Alan ditengah kesakitan yang ia rasakan.Malam kian larut, suasana di daerah itu sudah sepi. Gerimis yang rintik-rintik menambah suasana semakin sunyi dan mencekam. Sepertinya mereka enggan untuk keluar rumah dan memilih untuk berkumpul bersama keluarga mereka sambil menonton acara TV atau sambil bersenda gurau bersama.Mira gadis pelayan sebuah cafe berjalan menyusuri trotoar, mulutnya tiada henti bersungut-sungut."Dasar tukang ojek tidak tahu diri, minta di turunkan depan kontrakan malah di turunkan di jalan," sungut Mira kesal."Mana hujan, sepi lagi," ucap Mira sa
Ia merogoh saku celana jeansnya dan meraih ponsel lalu menyalakan lampu senter yang ada di ponselnya, ia menyorotkan cahayanya ke sosok yang sedang meringkuk di tengah genangan darah. "Aaahhhh!" teriak Mira terkejut. Ia memundurkan tubuhnya dan menatap lekat ke arah sosok itu. Mira kembali mengarahkan cahaya itu kali ini ia menyoroti ke wajah orang itu. "Sepertinya ia tukang ojek online yang dibegal," gumam Mira lirih. Dengan takut-takut Mira mendekat dan memeriksa nafas sosok itu yang ternyata ia adalah Alan. Ia memeriksa urat nadinya, dan Mira merasakan denyut nadinya begitu lemah. Mira menghubungi sahabatnya yang menjadi supir taxi online. "Halo Dara, kamu masih bangun 'kan?" tanya Mira. "Masih, kenapa? Mau aku antar kemana?" jawab Dara. "Tolong datang ke depan gang kontrakanku sekarang juga! Jangan pake lama!" perintah Mira pada temannya. "Ada apa?" tanya Dara. "Sudah cepetan cap cus jangan banyak tanya, ini sangat urgent!" perintah Mira. Lalu ia menutup sambungan telepo
Mira di kejutkan dengan suara ketukan pintu di kamarnya, semua lamunannya buyar seketika. Ia enggak beranjak dari tempat tidurnya. Dengan sengaja Mira menutup kedua telinganya dengan bantal, agar suara itu tidak terdengar.Tapi, semakin lama suara ketukannya berubah menjadi gedoran sambil di barengi oleh teriak keras."Mira! Miraaaaa! Bangun!" teriak Alan kencang.Mira yang memang sudah bangun sedari subuh mula hanya tersenyum sinis, ia tahu maksud suaminya membangunkannya."Huh! Pasti ia suruh aku untuk membuatkan sarapan untuknya, secara rayap itukan tidak bisa memasak," gumam Mira lirih."Mira! Bangun, cepat keluar! Hari sudah siang, aku harus pergi ke kantor!" teriak Alan sambil terus menggedor pintu kamar yang Mira tempati.Sudah sejak kemarin Mira terusir dari kamarnya, kini ia menempati sebuah kamar yang di peruntukan saudara-saudara Alan menginap, karena Mira sendiri tak memiliki satu pun saudara. Ia sebatang kara.Rasa kesal menghinggapi hatinya, ia pun terus menggerutu. Kare
Mira mendekap tubuhnya, memeluk lutut. Air bening itu menerobos keluar berjejalan mengalir deras. Punggung tangannya mengelap air matanya yang terus berjatuhan bak air hujan.Mira meremas dadanya kuat, rasa nyeri yang tak berkesudahan, harus ia derita. Entah drama apa lagi yang akan mereka lakukan untuk menyakitinya. Ia tak pernah menyangka bahwa hidupnya yang baik-baik saja akan berubah menjadi sengsara seperti yang sekarang ia alami.Miya sang mantan kekasih suaminya, harus hadir di tengah-tengah biduk rumah tangganya sebagai perebut suami orang. Yang lebih tragisnya lagi justru Alan begitu terang-terangan menunjukan perselingkuhan dengan mantan kekasihnya di harapan Mira.Alan berdalih bahwa ia tak pernah berselingkuh. Karena Alan berterus terang pada Mira tentang hubungannya dengan Miya, bahkan Alan meminta restu secara khusus pada Mira untuk menikahi Miya.Sungguh sebuah pandangan yang konyol memang. Tapi, Alan tetap mengatakan bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang paling ben
"Itu bukan urusanku! Mau disiksa kek, mau dibunuh juga bukan urusanku! Jika kamu merasa berempati dan bersimpati, bukan begini caranya. Kamu bisa membantunya dengan cara lainkan bisa? Tanpa harus membawanya kemari dan menyakitiku," nafas Mira memburu hingga tersengal-sengal. Sudah semaksimal mungkin agar ia bisa tenang. Tapi, nyatanya itu teramat sangat sulit.Mira menghela nafasnya, ia tak ingin terlihat lemah di mata mereka. Ia ingin menunjukan pada mereka bahwa kini ia baik-baik saja, meski nyatanya hati dan pikirnya menderita."Semua itu hanya alasan saja, agar semua tindakanmu di benarkan bukan?" Mira mencibir kelakuan Alan."Aku tidak perlu alasan untuk menikahinya, ada restu atau pun tidak darimu, aku akan tetap menikahinya," ucapan Alan begitu menohok jantung dan hatinya. Sungguh Alan sudah benar-benar tak menganggapnya lagi."Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan, aku sudah tak perduli lagi. Dan kamu, wanita murahan! Dengarkan baik-baik ucapanku
Mira yang hatinya sedang kalut dan kacau mengendarai motornya dengan melamun. Saat berada di tikungan ia BRUK! menabrak sebuah mobil mewah. Mira pun sekaligus terjatuh, ia buru-buru bangun. Untungnya saat ini ia membawa motornya pelan, coba kalau membawanya dalam kecepatan tinggi, ia pasti sudah terkapar dan terluka parah. Ia megelus sikut tangannya yang lecet dan berdarah, ia meniup-niup luka itu. Sang pemilik mobil turun dari mobil mewahnya. Ia menghampiri Mira kesal dan hendak marah. Tapi, saat melihat Mira ia justru semakin marah. "Kamu!" teriaknya dengan wajah yang kesal. " ...," Mira hanya bengong menatap pria yang ada di hadapannya. Mira bingung, kenapa pria yang ada di hadapannya mengenalinya? Sementara ia sama sekali tak mengenalnya, bahkan ketemu saja baru kali ini. "Maaf siapa ya?" tanya Mira. "Kamu lagi! Kamu lagi! Kenapa setiap ketemu sama kamu selalu sial!" bentak pria itu. Mira mengerutkan dahinya, ia merasa tak pernah bertemu dengannya. Tapi, pria itu mengatakan
Pria itu menatap punggung Mira dengan tersenyum licik, "aku sudah menemukannya," gumamnya.Mira kembali melajukan motor maticnya, kali ini ia fokus. Tak mau mengalami kejadian serupa untuk yang ketiga kalinya. Mira memasuki sebuah area parkir yang luas, di sana sudah berjejer mobil-mobil mewah dari berbagai merek.Mira memarkirkan motornya secara sembarang, tiba-tiba seorang satpam menghampirinya."Permisi Bu, maaf sebaiknya ibu memarkirkan motornya jangan di sini?" sapa satpam itu sopan.Mira tersenyum puas, artinya tempat yang ia kunjungi memiliki prinsip yang baik. Tidak merendahkan orang lain dan tidak pula memandang remeh orang dari penampilannya."Baik. Tolong tunjukan di mana tempat parkir untuk sepeda motor?""Mari saya antar Bu,"Satpam itu mengantar Mira sampai ketempat area parkiran yang khusus di peruntukan sepeda motor."Terima kasih Pak,"Satpam itu pergi kembali ke tempatnya semula, sementara Mira masuk ke
Mira melepaskan bebannya sejenak dengan bercanda dan tertawa bersama sahabatnya Dara. Ia melupakan masalah yang ada di dalam rumah tangganya. Mira menghela nafasnya, agar beban dalam hatinya sedikit terangkat. "Antar aku ke pengacara yang tempo hari kamu katakan," pinta Mira di sela-sela obrolannya. "Kapan?" tanya Dara. "Sekarang!" tegas Mira. "Kamu pikir pengacara itu tukang cabai yang selalu duduk manis di depan dagangannya!" "Kamu harus membuat janji temu dulu, baru bisa menemuinya," "Ya sudah. Buatkan janji bertemu dengannya!" perintah Mira pada Dara dengan entengnya. "Aku bukan sekertarisnya! Lagi pula sejak kapan kamu begitu tidak tahu dirinya, meminta tanpa memohon," ucap Dara. "Ya ampun. Sorry my friend," Mira menepuk jidatnya. Ia benar-benar telah di buat menjadi orang yang bodoh oleh Alan. "Berikan nomor teleponnya! biar aku sendiri yang menghubungi pengacara itu," pinta Mira. "Lagi-lagi kamu meminta tanpa mengucapkan kata tolong, apa perlu aku masukan kembali kamu