Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
"Apa ini, Mira?" tanya Alan sambil menunjuk selembar kertas yang ada di meja kerjanya. Mira yang berdiri di depan meja kerja Alan menyodorkan selembar kertas yang dibungkus sebuah map berwarna biru terang, Ia meletakkannya di atas meja kerja Alan dan langsung menyodorkannya ke hadapan Alan. "Kamu bisa melihat dan membacanya sendiri, Mas," ucap Mira. Alan membuka dan membaca isi surat itu, lalu ia meletakkannya kembali di atas meja dengan cara dibanting. "Apa maksud semua ini, Mira?!" sentak Alan. "Kamu sudah melihat dan membacanya bukan?! Cepat tanda tangani suratnya!" perintah Mira tak kalah sengit, ia juga membentak Alan kesal. "Aku tidak akan menceraikanmu sampai kapan pun!" bentak Alan. "KAMU EGOIS, MAS! KAMU TELAH MEMPERMAINKAN PERASAANKU! ASAL KAMU TAHU MAS, HATIKU KINI TELAH HANCUR BERKEPING-KEPING, HANCUR TAK BERBENTUK DAN SEKARANG KAMU MELUKAIKU DENGAN MENANCAPKAN BERIBU ANAK PANAH DAN KEMUDIAN MENCABIK-CABIKNYA, MEROBEK SETIAP RELUNG HATIKU HINGGA TAK MAMPU LAGI UNTUK
Mira menenggelamkan diri di bath tub.Sementara itu Alan yang merasa galau dengan pertengkaran hebat di antara dirinya dengan Mira merasa bersalah, ia memutuskan untuk pergi mencari Mira dan menuntaskan semuanya hari ini.Alan memiliki rencana akan menikahi Miya secepatnya, ia tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi. Alan berjalan menaiki tangga dengan hati bimbang gundah gulana, ia takut rencananya akan gagal.Ia masuk kedalam kamarnya, tempat di mana dirinya dengan Mira sering berdiskusi mengenai banyak hal, terutama tentang pekerjaan. Kadang ide-ide yang Mira berikan sangat cemerlang, membuat perusahaan maju dengan pesat hanya dalam waktu singkat.Alan melihat di dalam kamarnya kosong, ia tidak menemukan Mira di sana. Lalu Alan keluar kamar dan memutuskan untuk mencari di tempat lain.Alan tahu persis tempat favorite istrinya, yaitu taman belakang. Di sanalah ia banyak menghabiskan waktu dengan menanam bunga dan merawatnya. Taman bunga
Mira sampai di dapur betapa terkejutnya ia ketika mendapati dapurnya berantakan. Peralatan masak berserakan di mana-mana, teflon kesayangannya nampak gosong menyisakan makanan yang tak bisa di makan sama sekali.Sutil tergeletak di lantai begitu saja, ada begitu banyak nasi yang tercecer di mana-mana. Centong nasi ada di atas kompor bersama dengan piring.Mira pergi menuju meja makan, di sana tidak kalah jauh berantakannya. Ada makanan yang masih bersisa banyak di meja, piring kotor dan gelas teronggok begitu saja tanpa dibereskan.Rasa laparnya hilang menguap bersamaan dengan datangnya amarah yang menyesakkan dadanya. Mira berpikir siapa lagi yang mampu melakukan semua ini kalau bukan Miya, mantan kekasih suaminya yang kini tinggal serumah dengannya.Mira berulang kali mengelus dadanya yang terasa nyeri akibat menahan marah, ia pergi ke kamar Miya yang letaknya dekat dengan ruang tamu, ia melangkahkan kakinya mantap.Setibanya di depan pintu kamar Miya, tangan Mira yang seyogyanya he
BRAK! Mira menabrak pagar pembatas jalan, kepalanya membentur stir mobil. Rasa sakit dan pening di kepalanya menjalar hingga memenuhi seluruh isi kepalanya. Dunianya tiba-tiba gelap gulita. Mira mengangkat kepalanya sejenak sebelum kemudian ia mabruk dengan membentur kembali stir mobil. Mira terkulai lemas dan tak berdaya, ia sudah tak sadarkan diri. Darah mengucur dari pelilisnya.Sementara itu, si pengendara motor yang nyaris tertabrak mobil Mira bangkit. Ia memegangi sikutnya yang lecet akibat bergesekan dengan aspal. Ia meringis menahan perih dan nyeri.Ia menghampiri mobil jenis sedan itu. Ia melihat kap mobilnya terbuka dan mengepulkan asap, rupanya benturan itu lumayan cukup keras.Ia mencoba untuk membuka pintu mobil dan ingin melihat kondisi Mira, tapi sayang mobilnya terkunci. Laki-laki itu membuka helmnya dan ia mengintip dari kaca jendela yang gelap. Samar-samar ia melihat Mira yang masih bergeming tak bergerak.Rasa khawatir menelusup dalam hatinya, ia berlari mendekati
PLAK ...! Sebuah tamparan mendarat di pipinya Mira. Mencetak lima jari persis seperti habis di stempel jari berwarna merah. Nafas Mira memburu, ia tidak menyangka sama sekali kalau ia akan mendapatkan sebuah tamparan tepat di hadapan selingkuhan suaminya. Miya tersenyum mengejek puas ke arah Mira. Mira menahan sesak di dadanya, ia meraih jarum infus yang terpasang di punggung tangannya dan langsung mencabutnya, lalu ia melempar Standar Infus itu ke arah Alan tanpa menghiraukan rasa sakit di punggung lengannya. Alan mengelak dan justru Standar Infus itu malah mengenai Miya yang sedang berlindung di belakangnya. Standar Infus itu tepat mengenai kepalanya Miya, dan Miya pun menjerit kesakitan dan langsung menangis mengadu pada Alan. Jelas saja Alan langsung meradang marah saat mendapati kepala kekasihnya benjol akibat terkena Standar Infus. Alan kembali marah tanpa pikir panjang ia langsung menyerang Mira. Tamparan demi tamparan mendarat di pipi Mira, ia bak orang yang kesetanan terus