Share

PERTIKAIAN

"Ciyeee ... Ada yang dianter sama preman jalanan, nih! Nggak malu ya? Hahaha,” ejek Vidia dengan nada bicara yang menyebalkan.

Gadis ber-ego tinggi itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan anggun perlahan seperti seekor burung bangau.

Pergerakannya diikuti oleh dua sahabat segerombolannya.

“Dia itu orang baik, Vi. Jangan menghakimi dia karena penampilannya. Kamu sendiri nggak kenal sama dia, kan?” jawab Eveline halus. Dibanding membantah, ucapan Eveline lebih terdengar seperti sebuah nasehat.

Waktu istirahat berjalan kurang menyenangkan untuk Eveline. Saat Eveline, Linda, dan Anastasia tengah asyik menikmati soto ayam pesanan mereka di kantin sekolah, muncullah tiga monster pengganggu yang merusak pemandangan.

“Kalau nggak ada Bang Lucas, aku sama Eveline udah telat ke sekolah, tau! Kalau kamu nggak tahu apa-apa, mending tutup mulut kotormu itu!” sahut Linda dengan nada bicara yang tinggi.

"Bacot!! Mulutmu itu yang kotor!" bentak Vidia marah. Membuat beberapa pengunjung kantin kaget bukan kepalang.

Tapi, Marsha menepuk pundak Vidia. Memberikan isyarat bahwa Vidia tidak perlu naik darah.

Marsha pun turut andil menanggapi.

“Oh, jadi orang itu namanya Bang Lucas? Hahaha," tawa Marsha terdengar menghina.

Tapi, dilanjutkannya kalimat yang belum selesai ia ucapkan.

"Bukannya kalian biasa datang ke sekolah paling pagi? Kenapa tiba-tiba jadi yang telat gitu? Wah, kalian ngasih jatah dulu ya ke Bang Lucas biar dianterin naik motor? Udah bosen ya jalan kaki?” Marsha menimpali dengan nada penghinaan yang dalam.

Linda sudah otomatis tersulut emosinya.

“Hahaha. Makasih banget lho, karena kamu udah perhatiin aku sama Eveline sampai-sampai kamu hafal jam berangkat kami. Tapi tolong, bisa nggak sih ngurusin diri sendiri dulu? Nggak capek kamu musuhin kami?” bentak Linda tegas.

Suara khas Linda yang lantang nyatanya mencuri banyak perhatian. Seketika itu juga, tontonan baru hadir di tengah-tengah ricuhnya aktifitas kantin.

“Heh! Satu-satunya masalahku tu sama si jepang itu! Cewek sok cantik yang hobinya bikin ulah!” bantah Marsha tiba-tiba.

Jari telunjuk Marsha runcing mengarah ke wajah Eveline yang masih duduk diam.

“Heran deh. Kamu kenapa sih pakai ikut-ikutan? Kalau kamu diam dan nggak ikut campur, kita nggak akan kasar ke kamu!” timpal Vidia.

Eveline masih berusaha diam dan tenang. Dia sama sekali tidak ingin memperkeruh suasana yang sudah tak kondusif.

“Bisa-bisanya ya sekolah nerima anak persilangan kayak dia. Kenapa kita belajar pelajaran sejarah Indonesia kalau ada keturunan penjajah diterima di sekolah ini!” lanjut Vidia lantang.

Bentakan Vidia begitu tajam. Membuat hati Eveline bagai tercabik-cabik.

“Udah, Udah ... Yuk, kita pindah kantin aja. Aku malu dilihatin sama banyak orang. Aku jadi nggak nyaman kalau mau makan,” bisik Alda tepat ditelinga Marsha. Suaranya begitu pelan dan terbata-bata karena panik.

“Justru karena ada si jepang, kita harus makan di sini! Biar dia tahu kalau nggak ada tempat buat penjajah di dunia ini!” jawab Marsha dengan keras.

BRAKKK!!!

Linda memukul meja kantin dengan energi penuh. Suaranya mulai memancing perhatian orang-orang yang ada di luar kantin. Beberapa orang yang sebatas lewat pun menjadi menoleh ke arah sumber suara.

“HEH! Dengerin ya kalian, para binatang haram! Terutama kamu, Marsha! Masalahmu itu, cuma karena rasa cemburu lihat Mas Sagara perhatian ke Eveline. Kenapa jadi pakai bawa-bawa Jepang, sih? Emang apa salahnya kalau Eveline keturunan Jepang? Dia jadi jauh lebih cantik dari kamu. Iri bilang bosss!!!” bentak Linda dengan ganas. Dia ucapkan semua amarahnya tepat di depan wajah Marsha.

Emosi Marsha terpacu mendengar perkataan pedas dari Linda.

“Diem kamu yatim! Hahaha ... Kasihan orang tua kamu di neraka! Mereka harus lihat anaknya jadi kasar begini. Upssiee. Kamu nggak malu? Pantes aja orang tua kamu meninggal duluan. Mereka nggak sudi punya anak kayak kamu! Tau nggak?!” balas Vidia tajam.

Tiba-tiba,

Byurrrr!

Belum lima detik mulut Vidia tertutup, guyuran soto mendarat membasahi wajah dan rambutnya yang sudah sangat rapi. Baju seragamnya menjadi kekuningan terkena noda kuah soto yang pekat. Dengan penampilan yang semakin buruk, suasana hati Vidia pun menjadi semakin buruk pula.

“Eveline!! Berani-beraninya kamu!!” teriak Vidia marah. Matanya melotot besar seperti hampir keluar dari kelopak matanya.

Marsha dan Alda tak kalah kagetnya. Mulut mereka menganga karena tak menyangkan Eveline akan berbuat demikian.

Mendengar sahabatnya disinggung mengenai hal yang sangat sensitif, Eveline yang lembut dan polos kehilangan kendalinya. Rasa marah muncul di dalam hatinya. Walau pun Vidia menyinggung Linda, hati Eveline ikut teriris pula.

“Jangan olok-olok Linda! Jangan kasar! Aku bisa laporin kamu ke kepala sekolah!” ancam Eveline singkat. Tubuhnya kaku tegang sambil berdiri.

Sreet!

“Dasar perempuan b*ngsat! Anj*ng!! Nggak tahu aturan! Perempuan laknat!!!” Vidia menghampiri Eveline dan menarik rambut panjang yang terurai dengan sekuat tenaga. Ditariknya rambut Eveline hingga kepala Eveline hampir membentur tepi meja.

Keadaan menjadi semakin tak terkendali. Semua orang yang ada di tempat itu pun mulai ricuh.

“Lepasin Eveline! Semua kan kamu yang mulai! Kamu yang laknat! Dasar lon*e! Dasar kelompok anj*ng! Perkumpulan pel*cur!” bentak Linda sembari membantu melepaskan tangan Vidia yang berikat menjadi satu dengan helaian rambut Eveline.

Sesekali dipukulnya tangan Vidia agar melepaskan cengkeramannya.

Melihat Eveline yang merintih kesakitan karena serangan Vidia, Marsha tertawa puas di ujung ruangan. Melihat sebuah pemandangan yang seru tanpa harus mengotori tangannya.

Tanpa menyentuh Eveline sedikit pun, akhirnya dia bisa memberi pelajaran gadis jepang yang sudah merenggut laki-laki idamannya.

“Anak yatim diem aja! Minggir! Sana pergiiii anj*ng!” teriak Vidia lagi. Seluruh isi soto yang diguyurkan ke badan Vidia mengotori sekitar. Meja dan lantai menjadi ikut kotor pula.

Di satu sisi, Anastasia ikut kesal melihat kejadian yang nampak di depan matanya. Baginya, ketiga monster kaya itu sudah sangat keterlaluan.

“Kamu lama-lama bikin muak juga, ya!” Anastasia yang sedari tadi diam, terpancing juga untuk melakukan penyerangan ke kubu monster. Ditendangnya kaki Marsha yang berdiri santai menonton perkelahian.

Duggg!!!

“Aduh! Apa-apaan sih, kamu! Ngapain kamu ikut-ikutan?!” Marsha mengaduh. Matanya melotot ke arah Anastasia. Sebelah tangannya memegangi bagian bawah lututnya yang sakit akibat tendangan maut.

“Lama-lama aku muak lihat kelakuan kamu dan gengmu! Kenapa sih kalian nggak ada bosen-bosennya gangguin Eveline! Mendingan kalian pergi sekarang! Cari kesibukan lain! Kalian nggak capek?!” Anastasia memperingatkan. Suaranya hampir tenggelam karena kebisingan dari pertengkaran Vidia.

“Jangan mentang-mentang kamu ketua kelas jadi bisa seenaknya! Udahlah! Kamu diem aja! Kalau kamu berulah terus, aku bakal sebarin aib keluarga kamu ke seluruh grup sekolah!” ancam Marsha.

Tak disangka, ucapan Marsha berhasil membuat Anastasia mengunci mulutnya rapat-rapat.

Anastasia tidak cukup kuat melawan Marsha. Gertakan itu, melumpuhkan tindakan beraninya. Dia bahkan tidak berani melerai pertengkaran yang tengah terjadi antara Vidia, Eveline, dan Linda.

“Lepasiiiin!” teriak Eveline kesakitan.

“Nggak! Kamu lihat nggak apa yang udah kamu lakuin?! Perawatan rambut dan kulitku tu mahal! Berani-beraninya kamu numpahin kuah soto di kepalaku!” bentak Vidia.

“Waduh .. Yuk kita pergi aja, Mar. Kondisinya kok makin runyam gini. Mana ibu kantin lagi keluar. Nggak ada yang melerai. Ayolah. Aku takut kalau ada guru yang lewat,” lagi-lagi Alda membisikkan usulannya ke telinga Marsha. Tapi, tidak ada jawaban.

Tap ..

Tap ..

Tap ..

“STOP! STOP! Cukup! Berhenti!” bentak seseorang yang baru saja muncul di pintu kantin. Wajahnya tegas dan suaranya kencang menggelegegar. Cukup kuat untuk membuat tangan Vidia berhenti menjambak rambut Eveline.

“Berhenti! Kalau kalian masih ribut, aku bakal panggil guru BK!” lanjut suara itu.

“Mas Sagara?” ucap Eveline. Rambutnya berantakan seperti  habis terkena badai angin.

Tap ...

Tap ...

Tanpa basa-basi lagi, Mas Sagara menghampiri Eveline yang berdiri seperti orang bodoh. Berhadap-hadapan dengan Vidia.

Saat Mas Sagara sudah berdiri tepat di depan Eveline, laki-laki itu menggenggam pergelangan tangan Eveline dengan kuat dan pasti. Tanpa aba-aba atau ucapan sedikit pun.

“Ikut aku sekarang!” ucap Mas Sagara berat.

Ketiga monster kejam itu hanya tercengang melihat sosok Mas Sagara datang hanya untuk membawa Eveline pergi. Bahkan, Mas Sagara tidak mendaratkan pandangannya ke orang lain selain Eveline.

“Urusan dia belum selesai, ya! Jangan asal bawa dia kabur dong, Mas!” pekik Marsha protes.

“Diam! Kamu nggak usah cari gara-gara lagi! Aku tahu semua ini kamu yang mulai. Ini bukan pertama kalinya kamu nyerang Eveline!” jawab Mas Sagara marah.

“Aku? Nyerang? Mas! Aku dari tadi berdiri di sini! Aku nggak nyerang Eveline sama sekali! Kenapa Mas Sagara jadi nyalahin aku? Nggak adil dong, Mas!” bantah Marsha lagi.

“Karena budak-budak kamu ini yang jadi bonekamu! Kamu nggak mau tanganmu kotor. Makanya kamu yang bikin Vidia menyalurkan serangannya,” jawab Mas Sagara.

Tanpa mendengar jawaban apa-apa lagi, Mas Sagara membawa pergi Eveline keluar dari kantin. Tanpa menunggu pembelaan diri dari Marsha.

“Aduuuuh! Apa kata orang kalau lihat penampilanku jelek kayak gini! Masa anak sultan mukanya kena kuah soto. Ihhh, kesel banget aku!” omel Vidia. Tangannya sibuk memunguti sisa-sisa isian soto yang masih tersangkut di tubuhnya.

“Vi, yuk ke UKS. Di sana ada seragam ganti, kok. Yuk,” ajak Alda lirih. Didekati temannya yang tengah gelap mata karena emosi dan diajak keluar menuju ruang UKS.

Sementara Linda dan Anastasia hanya menatap sisa-sisa pertengkaran yang baru saja terjadi. Mereka berdua masih diam dalam kekesalan masing-masing. Mereka redam habis-habis agar suasana tidak semakin keruh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status