Share

FITNAH

“Kenapa bawa aku kesini, Mas? Aku balik ke kelas ya, lima menit lagi kan bel masuk,” ucap Eveline gugup.

Baku hantam yang terjadi di kantin mereda berkat kedatangan Mas Sagara. Kalau saja dia tidak datang, pasti kericuhan itu akan berlangsung jauh lebih lama.

“Nggak apa-apa, Eve. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau menjauhkan kamu dari tiga perempuan psikopat itu. Bukan cuma kamu kok yang muak. Aku juga muak! Setiap hari di telepon sama Marsha sampai aku terpaksa harus mengganti nomorku berkali-kali,” ucap Mas Setya. Terlihat bahwa dia juga resah dengan Marsha yang terus mengincarnya.

Dari sekian banyak lokasi yang dapat dituju, entah kenapa Mas Sagara mengajak Eveline untuk ngobrol berdua di dekat gudang sekolah. Lokasinya berada di bagian belakang sekolah. Tempat itu sangat sepi dan jarang ada siswa-siswi yang berlalu lalang di area tersebut.

“Mas Sagara nggak perlu nolong aku lagi,” jawab Eveline singkat. Semenjak mereka sampai di tempat itu, tidak sekali pun Eveline menatap wajah Mas Sagara.

“Loh? Kenapa? Apa salahnya? Niatku kan baik!” sanggah Mas Sagara.

“Aku nggak mau terus-terusan berlindung di balik punggung orang lain, Mas. Aku mau belajar menghadapi serangan Marsha dengan tanganku sendiri. Walau pun aku masih lemah, aku sadar kalau aku bukan anak-anak lagi. Sekarang, aku sudah remaja, Mas,” papar Eveline.

Kalimat itu adalah kalimat paling dewasa yang pernah keluar dari mulut Eveline. Sejauh ini, banyak sekali perubahan Eveline yang mulai nampak.

Ya, begitulah pubertas.

“Tapi, kamu tetap perempuan. Gunanya laki-laki ya untuk melindungi perempuan, kan?” Mas Sagara terdengar seperti membantah opini Eveline.

Mulut Eveline terkunci rapat. Otaknya sibuk memproses setiap ucapan Mas Sagara agar bisa memberikan jawaban yang tepat.

Mas Sagara memperhatikan dalam-dalam sosok yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Begitu cantik meski pun wajahnya panik dan takut. Membuat batin Mas Sagara semakin terkesima dengan gadis muda ini. Pesona Eveline, membuat degup jantung Mas Sagara semakin kencang tak terkendali. Seperti ada dorongan dalam hati untuk menyentuh atau memberikan suatu kesan tak terlupakan. Dalam bentuk apa pun.

Wajah Mas Sagara mulai dialiri dengan arus darah yang deras. Seluruh anggota badannya menuntun untuk melakukan sesuatu yang bisa ia lakukan di tempat yang sangat sepi. Tempat yang bahkan tidak terlihat seekor lalat pun terbang mengitarinya. Tempat yang tepat untuk mencuri kesempatan.

Perlahan ..

Sangat perlahan ..

“Cup!!”

Sekuncup bibir mendarat di pipi kanan Eveline. Kecupan kecil yang masih malu-malu kucing.

Mata Eveline seketika terbelalak. Dia terkejut Mas Sagara akan melakukan hal itu. Suasana yang tengah tegang, berubah menjadi teramat canggung.

“Mmm ... Maaf,” ucap Mas Sagara tanpa aba-aba.

Saat Eveline tengah membuka rongga mulutnya untuk menjawab Mas Sagara, sebuah suara yang familiar mendahuluinya. Suara Eveline tertahan di tenggorokan dan gagal ia ungkapkan.

“Sagara! Cepat ikut saya!” bentak suara Pak Teguh, salah satu guru BK selain Bu Latri. Tapi, Pak Teguh dikenal sebagai guru BK yang lumayan menyeramkan.

“T ... Tapi ... Ada apa, Pak? Apa salah saya? Kami di sini nggak ngapa-ngapain. Kami cuma ngobrol,” Mas Sagara terkejut.

“Diam! Ikut saya ke ruang BK sekarang!” lanjut Pak Teguh.

Eveline dan Mas Sagara saling pandang. Wajah mereka benar-benar pucat putih seperti tidak bernyawa.

“Baik, Pak. Kami akan segera ke ruang BK. Tapi tolong denger penjelasan kami dulu, Pak,” pinta Eveline memelas.

“Hm? Saya nggak panggil kamu. Saya cuma minta Sagara yang menemui saya. Kamu bisa kembali ke kelas kamu,” jawab Pak Teguh.

Jawaban Pak Teguh semakin membuat Eveline dan Mas Sagara bingung. Lantas, apa alasan Mas Sagara harus berhadapan dengan Pak Teguh di ruang BK?

Apa dia melakukan kesalahan lain yang bahkan tidak dia ketahui?

Apa Pak Teguh melihat Mas Sagara mencium pipi Eveline?

Tapi, sepertinya hal itu tidak cukup darurat.

Teeett ...

Teeettt ...

Bel masuk berdering beberapa kali. Karena situasi yang sangat aneh, akhirnya Eveline dan Mas Sagara mengikuti perintah Pak Teguh.

“Kamu balik ke kelas aja, Eve. Kita ngobrol lagi lain waktu,” ucap Mas Sagara sembari berjalan mengikuti Pak Teguh yang sudah melangkahkan kaki terlebih dahulu. Meninggalkan Eveline yang terpaku.

                                                                                             ***

“Saya sudah jelaskan kalau kami sama sekali tidak melakukan hal yang salah! Kami sama sekali tidak melakukan perzinaan!” bantah Mas Sagara. Kekesalannya mulai muncul karena guru BK satu ini begitu paten dengan pendapatnya sendiri.

“Kamu nggak usah mengelak! Ada saksi mata atas perbuatan kamu! Bahkan saksi itu sampai membuat laporan tertulis di ruang BK. Dia bilang kalau kamu menyoba menodai Eveline di dekat gudang. Kamu bahkan sampai memaksa Eveline hanya demi memuaskan hasrat kamu sendiri!” papar Pak Teguh keras.

Mas Sagara bagai dijatuhi bom atom. Tuduhan yang ditujukan padanya benar-benar tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi.

“Saya berani sumpah, Pak! Saya tidak mungkin menodai Eveline. Bapak bisa tanya ke Eveline! Dia satu-satunya saksi yang bisa menjelaskan apakah saya menyakiti dia atau tidak!” nada bicara Mas Sagara semakin memuncak.

“Sayangnya, saya nggak berhak mengonfirmasi kebenaran dari pihak korban. Hal itu hanya akan membuat kondisinya semakin memburuk. Semuanya harus dirahasiakan dari korban, tetapi tetap menghukum pelaku kejahatan. Bukankah sebaiknya memang begitu?” ucap Pak Teguh lagi.

“Omong kosong apa ini! Saya benar-benar tidak bersalah!” bentak Mas Sagara.

“Dengar! Saya mendapat laporan dari orang yang sangat terpercaya. Laporan dari orang ini, tidak pernah meleset. Semua kejahatan bisa terselesaikan berkat laporan-laporan yang dikirimkan oleh saksi penting ini. Tolong jangan ragukan dia! Lagi pula, kamu pasti sudah memaksa Eveline untuk tutup mulut dan merahasiakan perbuatan bejat kamu. Kali ini, jangan melawan Bapak!” tukas Pak Teguh.

Keputusan aneh yang dibuat benar-benar berlawanan dengan fakta yang terjadi. Marah, kesal, tidak terima, dan merasa tidak adil berkumpul menjadi satu di batin Mas Sagara.

“Ingat! Tahun ini kamu akan melaksanakan Ujian Nasional. Saya nggak mungkin meminta kepala sekolah untuk mengeluarkan kamu! Untuk masalah ini, saya akan membuat kamu diskors selama sebulan penuh!” papar Pak Teguh lagi. Wajah tua dengan kaca mata bulatnya terlihat sangat menggelikan. Bisa-bisanya dia mempercayai orang yang bahkan tidak memberikan bukti visual.

“Tapi ... ini tidak adil!” suara Sagara melemah. Matanya putus asa.

“Apa saya boleh tahu siapa yang mengirimkan laporan ke ruang BK?” lanjut Mas Sagara lagi.

P“Identitas saksi harus saya rahasiakan. Tolong jangan mempersulit apa pun dan kembali ke kelas kamu sekarang!” perintah Pak Teguh. Jari telunjuknya menunjuk pintu yang terbuka lebar, mengisyaratkan untuk meminta Mas Sagara pergi.

Merasa diperlakukan sangat tidak adil, hati Mas Sagara membara dan hancur berkeping-keping.

“Ini pasti kelakuan Marsha! Nggak mungkin keliru! Marsha dan komplotannya benar-benar sudah kelewatan!” omel Mas Sagara sembari melangkahkan kakinya keluar dari ruang BK tanpa pamit. Matanya sudah dipenuhi dengan amarah dan kekesalan.

“Marsha ... harus aku beri pelajaran!” lanjut Mas Sagara.

Tap ...

Tap ...

Tap ...

Langkahnya nyaring dan tergesa-gesa.

Penuh dengan dendam di setiap pijakan kakinya.

Sementara itu di ruang BK ...

Pak Teguh masih dengan posisinya yang semula. Duduk tenang sambil mengelus jenggotnya yang memutih sebagian. Kaca matanya memantulkan cahaya matahari yang terik. Pria berusia di atas lima puluh tahun itu benar-benar berlagak sok muda.

Tap ..

Tap ..

“Saya nggak menyangka Pak Teguh sampai bertindak sejauh ini. Tapi, saya senang karena Pak Teguh berhasil menjauhkan Eveline dari anak kelas tiga itu,” ucap seseorang yang tiba-tiba melangkahkan kaki masuk ke ruang BK yang sunyi.

“Hahaha, tenang, Pak! Itu bukan masalah yang sulit. Tapi, kenapa anda meminta saya melakukan hal ini? Eveline hanya siswi biasa yang tidak memiliki kelebihan apa-apa. Untuk apa anda terlalu mempedulikan dia?” jawab Pak Tegus puas.

“Saya tidak akan mengizinkan orang mana pun menyentuh Eveline. Gadis kecil itu, tidak boleh tergores sedikit pun!” jawab orang itu lagi.

Pak Teguh kebingungan mendengar jawaban yang didengarnya. Bukan sesuatu yang biasa sampai ada guru yang begitu mempedulikan siswinya dengan teramat sangat teliti. Apa lagi, guru itu sudah memiliki keluarga di rumahnya.

“Oke, terima kasih atas kerja samanya, Pak Teguh. Saya mau kembali mengajar. Sebagai bayarannya, minggu depan Pak Teguh saya traktir rawon spesial,” kata pria itu. Kakinya melangkah keluar dari ruang BK.

“Dengan senang hati, Pak Setya,” jawab Pak Teguh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status