"Kamu sudah gila, mertua disuruh tidur di kamar bekas pembantu? Dengar ya Meisya, ibu mengizinkan kamu menikah dengan Alvin itu dengan harapan bisa memperbaiki taraf kehidupan kami. Tapi kalau cuma mau disuruh tidur di kamar pembantu, buat apa? Mending kami tinggal di rumah kami sendiri kemarin daripada ngenes tidur di kamar babu!" bentak Bu Surti pada menantu barunya itu.Mendengar bentakan ibu mertuanya, Meisya terdiam beberapa saat. Namun, kemudian menyahut pelan."Bu, ini kan rumah saya. Saya berhak mengatur siapa yang boleh masuk atau tidak di rumah ini. Saya tidak mau privasi saya terganggu, karena ibu ke sini kan bawa cucu, makanya saya minta Alvin supaya menempatkan ibu, Yuni, Bowo dan anak-anak di belakang.""Nggak, ibu nggak mau! Ibu tetap maunya di ruang tengah. Terserah kamu mau setuju atau tidak, tapi ibu nggak mau tidur di kamar pembantu!" Surti bersikeras."Kalau ibu memaksa, ibu bisa janji nggak, nggak bikin saya nggak nyaman di rumah sendiri? Kalau ibu bisa janji, oke
Surti menyipitkan matanya saat mendapati Alvin berjalan terhuyung-huyung keluar dari kamarnya.Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tetapi putranya itu baru saja bangun dari tidur. Kebiasaan baru yang menurut Surti sangat aneh.Dulu semasa masih tinggal bersama tak pernah anak lelakinya itu berperilaku aneh seperti ini. Tapi sejak menikah dengan Meisya, kebiasaan Alvin tampaknya mulai berubah.Sejak pertama kali memutuskan pindah ke rumah ini, Surti sendiri sudah dihinggapi perasaan bingung dan gundah. Semua kenyataan yang terjadi nyatanya tak sesuai impiannya selama ini.Surti kecewa. Namun, demi tetap terlihat sukses dan kaya, lebih-lebih ia sudah kadung pamer di hadapan mantan menantunya, Vira, maka Surti pun mencoba bertahan dalam penderitaannya karena perlakuan Meisya.Ia pura-pura senang karena hidupnya sekarang makmur dan sukses setelah bermenantukan Meisya yang kaya raya, padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Ia tak mendapatkan apa-apa kecuali hanya makan dan min
Mobil Alphard yang ditumpangi Vira dan Ferdy kembali melaju saat lampu merah telah berganti menjadi hijau kembali.Dari balik kaca mobil yang gelap, Vira masih terus memandangi dua sosok perempuan yang makin lama makin jauh dari pandangannya dan makin tak terlihat saat mobil melaju dalam kecepatan lumayan meninggalkan persimpangan lampu merah di mana mereka terpaksa berhenti sejenak sesaat tadi.Sembari mengelus perutnya yang buncit, Vira beberapa kali menghela nafas."Kenapa, Vir? Kamu kok ngeliatin ke belakang terus? Lihatin siapa sih? Pengemis tadi?" tanya Ferdy sembari ikut memandang ke belakang lewat pantulan kaca spion.Vira diam sejenak lalu membuka mulutnya perlahan."Kamu benar, Mas. Mereka sepertinya memang Bu Surti dan Mbak Yuni. Apa yang sudah terjadi sama mereka ya? Kenapa mereka seperti ini sekarang?"Mendengar ucapannya, Ferdy ikut menghela nafas sejenak. Lelaki itu kemudian menimpali ucapan istrinya."Balasan dari Allah, Vir. Mereka dulu sering menghina kamu, kan? Seka
"Yun, coba lihat jumlah uang yang berhasil kita kumpulkan selama dua tahun ini kita jadi pengemis? Sudah berapa puluh juta yang kita dapat, Yun?" tanya Bu Surti pada Yuni saat mereka sedang sarapan bersama.Meja bulat terbuat dari kayu yang sudah lapuk itu tak mampu menampung lima sosok manusia yang sedang mengerumuni sarapan pagi hari ini hingga Alvin akhirnya mengalah, pindah ke kursi plastik di sudut ruangan."Tumben, ibu nanyain? Kenapa?" sahut Yuni sembari memandang ibunya dengan pandangan ingin tahu."Ingin tahu aja, Yun. Ibu pengen kita berhenti mengemis kalau sudah bisa mengumpulkan banyak uang. Ibu ingin kita bangun usaha, biar Alvin yang mengelola. Vin, kira-kira bisnis apa yang bisa kita bangun dengan dana seratus juta ya?" tanya Bu Surti sembari mengalihkan pandangan pada sosok Alvin. "Seratus juta? Ibu punya duit sebanyak itu? Duit darimana?" tanya Alvin diikuti Yuni yang berbarengan terkejut. Ibu mereka mendapat uang sebanyak itu? Darimana?"Lho, gimana sih kamu, Yun. B
Bu Surti mendekap bungkusan berisi sesuatu yang sebenarnya tidak ia ketahui isinya itu di dadanya. Sengaja ia gunakan penutup kepala berukuran lebar agar bisa menutup bungkusan itu dari pandangan orang. Termasuk Yuni dan Bowo serta anak-anaknya yang sedang asyik nonton televisi.Ia takut Yuni curiga dan bertanya-tanya karena tempo hari saat Anton untuk pertama kali memintanya mengantarkan paket, anaknya itu juga sudah memperingatkan dirinya, meski akhirnya ikut senang juga saat melihat jumlah uang yang diberikan Anton sebagai bayaran.Hari ini Bu Surti berencana untuk libur saja mengemis. Ia sekarang sudah punya pekerjaan lain yang sepertinya hasilnya lebih besar dari hanya meminta-minta. Itu sebabnya ia malah sudah punya rencana ingin pensiun saja dari meminta-minta. Selain hasilnya tidak sebesar dibandingkan menjadi kurir Anton, ia juga malu jika sewaktu-waktu kepergok Vira lagi sedang mengemis di jalanan.Dengan menjadi kurir untuk mengantarkan barang Anton ke pelanggannya, ia mend
Bowo mengetuk pintu bercat warna putih di depannya dengan nada tak sabar. Tak lama berselang, dari dalam terdengar langkah memburu cepat untuk membuka pintu. Begitu dibuka, sesosok wanita berpakaian daster tipis pun muncul dari baliknya."Mas Bowo, masuk, Mas ... aku pikir belum mau ke sini, soalnya ini kan masih pagi," sapa perempuan itu dengan nada terkejut tapi sekaligus juga gembira melihat kemunculan lelaki itu di sana."Iya, kebetulan mas tadi ada urusan jadi selesai urusan mas langsung aja ke sini. Kamu sudah masak? Mas laper?" Bowo masuk ke dalam rumah lalu tanpa merasa canggung lagi langsung menuju ke ruang belakang.Ia memang sudah biasa ke sini. Bahkan tidak jarang tidur di rumah ini, karena rumah ini adalah rumah istri keduanya. Liana."Kenapa? Mbak Yuni nggak masak lagi? Suami pagi-pagi udah kelaparan. Apa aja sih kerjanya jadi istri?" sahut Liana dengan gemas sembari membulatkan matanya."Eh, perempuan itu mana pernah masak ... tiap hari jajan terus. Ngabisin duit aja ke
Bowo menghentikan langkahnya sesaat sebelum langkahnya memasuki halaman sempit rumah kecil yang mereka huni. Lelaki itu menyeringai lebar lalu tiba-tiba dengan keras merobek baju yang dikenakannya hingga robek di beberapa tempat.Bowo mengambil tanah basah bekas hujan di dekat kakinya lalu melumuri tanah itu ke sekujur badannya. Tak lupa ia melayangkan tinju ke wajahnya dan ke beberapa bagian tubuhnya sendiri hingga luka dan berdarah. Demi seratus juta rupiah, tentu saja dengan senang hati ia melakukan hal kecil ini.Tok tok tok....!Bowo mengetuk pintu, membuat Yuni yang tengah berdiri mondar-mandir di dalam rumah tersentak kaget dan langsung memburu pintu serta membukanya dengan cepat.Begitu terbuka, perempuan itu pun langsung berteriak kaget."Mas, kamu kenapa?" Yuni terkejut dan langsung menyongsong tubuh suaminya yang tampak terhuyung-huyung dan hampir jatuh saat berjalan masuk rumah. Jika tak buru-buru dipegangnya tubuh suaminya itu pasti Bowo sudah tersungkur jatuh ke lantai
"Buku tabungan? Buku tabungan apa? Terus uang apa yang kalian bicarakan Yuni? Bowo? Bilang sama ibu sekarang?" seru Bu Surti dengan keras saat didengarnya Yuni terisak sedih sementara Bowo hanya tertunduk diam.Entah buku tabungan apa yang sedang anak dan menantunya itu bicarakan, tapi Bu Surti merasa penasaran. Uang siapa yang ada dalam buku tabungan itu? Jangan-jangan ...."Mmmm ... Ibu salah dengar, Bu. Kita nggak ngomongin buku tabungan kok. Ibu salah dengar aja ...." sahut Yuni gelagapan di tengah rasa gundahnya. Mukanya pias."Terus kalau gitu kalian ngomongin apa? Sudah jelas-jelas ibu dengar kalian kehilangan buku tabungan, kok. Masih nyangkal!" seru Bu Surti tak senang."Bukan kehilangan buku tabungan, Bu. Tapi kehilangan uang Mas Bowo yang mau ditabung. Sedangkan uang itu untuk masa depan Dea dan Deo, makanya aku sedih banget, Bu ...." sahut Yuni sembari kembali terisak. Habis sudah impiannya punya rumah dan usaha sendiri itu sebabnya ia merasa sangat kecewa dengan peristiwa