"Kamu sungguh berhati dengki, Mbak!" Di sepanjang acara makan malam tadi, kata-kata Tiana itu terus bergema di dalam kepalaku. Hal itu sampai membuatku kehilangan nafsu makan. Bukannya aku tidak tahu bahwa apa yang aku lakukan ini memang sesuai dengan apa yang dituduhkan Tiana padaku. Akan tetapi, menyadari sendiri dan ditegur oleh orang lain itu rasanya sungguh berbeda. Kata-kata Tiana itu berhasil menohok jantungku! "Kalau terus begini, aku bukan hanya akan menambah penyakit hati. Tapi juga menambah dosa!" gumamku. Saat ini, aku dan Mas Ruslan sedang bergelung di atas ranjang kami dan hendak bersiap untuk tidur. Kusandarkan kepala pada bahu suamiku, dengan lengan kananku menggurita di atas perutnya yang keras. Sementara tangan kanan Mas Ruslan tersampir di bahuku, sambil jemarinya bermain-main dengan ujung rambutku. "Kamu memikirkan kata-kata Tiana tadi?" tanya Mas Ruslan yang paling bisa mengerti aku. Akupun tidak ragu untuk menganggukkan kepala membenarkan. "Mas, capek bange
"Tri, kamu... ""Kenapa bisa anak sekecil Aldi bisa menyebut sepupunya sendiri sebagai pengemis? Ini pasti karena Mbak Dina nggak bisa mendidik anak dengan baik 'kan?!" Aku meraung dengan marah hingga menyela perkataan ibu mertua yang hendak menegurku karena telah membuat cucu kesayangannya menangis. "Jangan sembarangan kamu ya!" balas Mbak Dina tidak kalah marahnya. "Terus kenapa Aldi bisa menyebut Danis sebagai pengemis? Dan ini bukan yang pertama kalinya loh. Apa selama ini Danis pernah minta-minta sama Aldi? Ini pasti ajaran kamu nih, Mbak!" seruku terus menyudutkan Mbak Dina. "Astri, diam kamu!" jerit ibu mertua dengan suaranya yang melengking tinggi. "Kenapa aku disuruh diam?!" Aku semakin mengamuk tidak terima."Karena kamu sudah membuat Aldi menangis!" balas ibu mertua tidak mau kalah. Perdebatan ini menyebabkan suasana di ruang tamu seketika menjadi seperti minyak panas yang dipercikkan air. Aku lantas melirik garang ke arah Aldi yang masih sesenggukan sambil bersembunyi
[Mas, aku bertengkar lagi dengan ibu dan Mbak Dina. Hari ini aku mau mengungsi aja dulu ke rumah orang tuaku,]Sebelum bertolak menuju rumah orang tuaku, aku terlebih dulu mengirim pesan meminta izin pada Mas Ruslan. Untungnya aku tidak perlu menunggu waktu lama sampai pesan balasan dari Mas Ruslan tiba. [Oke. Hati-hati di jalan. Nanti Mas nyusul,]Setelah mendapat persetujuan singkat dari suamiku itu, barulah aku memacu sepeda motorku meninggalkan rumah mertua. Jarak antara rumah mertua dan rumah orang tuaku itu sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit lamanya. "Assalamu'alaikum!" ucapku setibanya di sana. "Waalaikumsalam!" jawab orang dari dalam rumah. "Loh, Mbak Astri?!" seru Wisnu dengan nada terkejut ketika melihat kehadiranku di depan pintu rumah. Bukan apa-apa, tapi hari ini memang bukan jadwalnya aku datang berkunjung ke rumah ini. Biasanya aku dan Mas Ruslan kebagian jatah menginap di sini pada hari sabtu dan minggu. Tapi sekarang m
Aku yang sudah selesai memasak kemudian melanjutkan kegiatan dengan menyapu halaman rumah dan menyiram bunga-bunga. Seluruh kegiatan rumah tangga ini aku lakukan dengan perasaan gembira. Hingga satu jam lagi mendekati waktunya azan maghrib, barulah sosok bapak dan ibu terlihat pulang dari sawah. Aku yang sedang duduk di teras rumah sambil mengetik alur cerita untuk aku posting nanti malam segera meninggalkan pekerjaan itu untuk menyambut mereka berdua. "Assalamu'alaikum!" ucap ibu dan bapak secara serentak. "Waalaikumsalam!" jawabku dengan antusias. "Loh, Astri? Kamu kok di sini?" tanya ibu dengan nadanya yang terdengar sedikit heran. Aku spontan memanyunkan bibirku. "Iihh, ibu nggak suka ya lihat Astri di sini?" tanyaku dengan nada merajuk yang dibuat-buat. "Ya tumben aja gitu," jawab ibuku. "Jangan bilang kamu lagi berantem sama ibu mertua kamu ya?" tebak ibu sambil menatapku dengan wajah meringis geli. Aku lantas mendengus pelan tanpa bantahan. Wanita paruh baya yang telah m
"Maaf, Mbak. Aku tidak mampu menolak!" ucap Wisnu dengan wajah cengengesannya ketika melihatku memasang wajah garang. "Sebentar lagi waktunya makan malam. Kenapa kamu malah beliin dia es krim sama snack?" tanyaku dengan nada frustrasi. "Maaf, Mbak~" ucap Wisnu sekali lagi. Dengan postur badannya yang tinggi dan tegap, nada mendayu-dayu penuh permohonan maaf itu kedengarannya tidak cocok sama sekali. Sementara Wisnu sedang aku sidang, putra cilikku itu justru sedang kegirangan menunjukkan es krim dan jajanan yang penuh di tangannya pada ibuku. "Danis, sayang. Jajan sama es krimnya di makan besok ya, Nak. Habis solat maghrib kita mau makan malam loh," tegur ibuku pada cucu kecilnya. "Em~" tolak Danis sembari menyembunyikan makanannya di belakang punggung. "Kamu lihatkan? Harusnya kalau dia nangis, kamu biarin aja!" dumelku sambil menjewer telinga Wisnu. "Aku nggak tega, Mbak!" ujar Wisnu berkilah di sela-sela suara
Aku dan Mas Ruslan segera melipir meninggalkan ruang keluarga untuk mengangkat telepon dari ibu mertua ini. Kami bersembunyi di dalam kamar agar orang tuaku tidak tahu obrolan seperti apa yang sebentar lagi akan terjadi."Halo, Bu!" jawab Mas Ruslan. Nada suaranya tetap dipertahankan seramah mungkin. "Kamu di mana?" tanya ibu mertua dengan ketus dari seberang sana. Aku bisa mendengar suara ibu mertua karena Mas Ruslan sengaja menggunakan mode speaker. "Lagi di rumah orang tua Astri, Bu!" jawab Mas Ruslan dengan terus terang. "Apa yang kamu lakukan di sana? Apa si Astri pulang untuk mengadu pada orang tuanya?" seloroh ibu mertua dengan nada yang semakin jelas terdengar tidak suka. "Tidak seperti itu, Bu!" bantah Mas Ruslan dengan sabar. "Kamu itu ya, sejak menikah dengan Astri, kamu jadi lebih sering membantah, Ruslan. Kamu selalu membela dia dan menyalahkan kami, keluarga kamu. Karena dia membawa pengaruh buruk buat kamu, ib
"Nggak bahaya tah?" tanyaku ketika melihat aksi tumben-tumbenan Mas Ruslan ini. Biasanya suamiku itu akan selalu menunggu ibu mertua memutus sambungan telepon terlebih dulu. "Nanti ibu marah-marah sama kamu gimana?" tanyaku lagi. Mas Ruslan hanya mengendikkan bahu masa bodoh seraya berkata. "Kalau ibu marah-marah, itu bukan jadi kemarahan pertamanya sama kita," "Kamu benar juga!" timpalku dengan nada datar. "Sudahlah, masalah ibu biarkan seperti ini dulu. Ayo, istirahat!" pungkas Mas Ruslan sembari merebahkan tubuhnya di atas ranjang. "Kamu istirahat duluan aja, Mas. Aku mau ambil Danis sebentar. Jam tidur anak itu udah lewat," ujarku sembari melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. "Hm," gumam Mas Ruslan. Aku kemudian beranjak keluar dari kamar. Di ruang keluarga, aku melihat bapak, sedang menggendong Danis. "Aduh, Pak. Danis jangan digendong. Nanti pinggang bapak sakit," tegu
"Tri, bukannya itu suaminya kakak ipar kamu?" celetuk Eva. Jemari lentiknya menunjuk ke arah sebuah toko perhiasan yang ada di seberang cafe yang baru saja kami kunjungi. Di dalam toko perhiasan yang tidak terlalu ramai itu, aku bisa melihat dengan jelas suami dari Mbak Dina sedang bersama wanita lain. Sesekali mereka saling kecup pipi tampak mesra sekali. "Kamu nggak mau ngambil bukti untuk ditunjukkan sama kakak ipar kamu?" tanya Eva. " ... "Saking fokusnya aku menatap dua sejoli yang tampak bahagia itu, sampai-sampai aku tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Eva baru saja. "Woy, kenapa kamu malah bengong aja?" tegur Eva sembari menyeret lenganku agar bergeser sedikit menjauh dari ambang pintu cafe. "Hah? Apa kamu bilang?" tanyaku pada Eva. Terlalu fokus memergoki insiden perselingkuhan di depan mata membuatku melamun cukup lama. "Kamu nggak mau ngambil bukti untuk ditunjukkan sama kakak ipar kamu?