Share

Bab 5_Peresmian Butik Baru

BAB 5

Suara guyuran air di kamar mandi membangunkan Bram dari tidurnya, ia pun tak kalah kagetnya dengan Airin saat membuka mata ternyata hari sudah memasuki waktu Zuhur. Tadi ia berjanji akan membereskan koper Airin, tetapi ia malah tidur dan terlambat bangun.

"Sayang, maaf, jadi terlambat karena aku, ya?"

"Enggak, Pi, enggak terlambat, kok, masih ada waktu sekitar satu jam sebelum ke bandara, aku mau lanjut rapikan koperku, Papi mandi sana."

"Aku bantu, ya?"

"Enggak usah, Sayang. Mandi aja sana nanti 'kan mau antar Mami ke bandara"

"Beneran, nggak mau aku bantu?"

"Iya, nggak usah. Sedikit lagi, kok." Senyum manis Airin seolah menjadi candu bagi Bram yang selama ini sangat menyayangi Airin.

Bram lalu beranjak ke kamar mandi dan tak lupa sebelumnya mencium Airin yang tengah berganti pakaian.

"Sudah, Sayang. Ayo mandi dulu sana."

" Baik ,Tuan Puteri," candanya sebelum berlalu dari hadapan Airin.

"Pi ... Pi, kamu udah kek anak kecil aja, sih, kalo udah manja." Terkekeh dibuatnya Airin oleh tingkah suaminya.

Tepat pukul 13:00 mereka menuju bandara yang hanya menghabiskan jarak tempuh selama lima belas menit saja dari kediaman mereka. Beruntung siang hari ini jalanan belum macet sehingga bisa tepat waktu sampai di bandara. Bram mengantar Airin sampai di pintu keberangkatan, mereka berpelukan seperti hendak berpisah lama.

"Hati-hati, Sayang. Kabari kalo udah sampe, ya."

"Iya, Pi. Titip Kenzo, ya."

"Jangan khawatir, Sayang. I love you."

"Love you more."

Airin masuk untuk melakukan check in, dari dalam ia sempat menoleh ke luar, Bram masih berdiri di tempat tadi seperti berat melepas kepergian istrinya walau hanya dua hari saja.

***

Airin melemparkan pandangan ke luar jendela, sejak masuk pesawat ia sudah mematikan ponselnya. Saat-saat sendiri seperti ini entah mengapa pikirannya selalu melayang jauh tak bertepi dan tak tentu arah apa yang sedang ia pikirkan.

"Permisi ...." Lamunan Airin dibuyarkan paksa oleh satu suara yang berasal dari sisi kanannya. Ia mendongak, tampak seraut wajah manis dengan kulit kecokelatan dan sorot mata yang menawan. Sesaat Airin terpaku menatap wajah manis yang juga tersenyum manis padanya.

Pemilik sorot mata menawan itu menunjuk kursi kosong di sebelah Airin yang tercatat atas nama dirinya, Airin tersadar dari rasa kagumnya lalu ia mengangguk dan memberikan sedikit senyuman manis.

Aroma maskulin dari parfum laki-laki di sebelahnya masuk ke dalam indra penciumannya, segar dan membangkitkan gairah. Ah, kok, gairah?

Airin menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan memejamkan mata, ini adalah perjalanannya yang pertama kali setelah entah berapa lama ia disibukkan oleh pekerjaan yang cukup menghabiskan waktu. Sekarang semuanya sudah terlewati dengan baik dan tinggal menunggu hasil.

"Ehmm ...." Terdengar suara deheman tepat dari kursi sebelah, Airin menoleh dan begitu pula dengan laki-laki di sebelahnya ikut menoleh pada Airin, pandangan mereka bertemu, lalu si laki-laki menangkupkan kedua tangannya karena merasa bersalah telah membuat Airin merasa tidak nyaman.

"Maaf ...."

"It's oke."

Beberapa saat keduanya terdiam, hingga si laki-laki mengawali pembicaraan.

"Mau ke Surabaya?" tanyanya seraya mengubah posisi duduknya yang ternyata tak bisa berubah karena porsi tempat yang seadanya.

"Memangnya bisa turun di tengah jalan, ya?" Tak disangka jawaban Airin begitu menohok dan si laki-laki pun tak mau kalah ia kembali menjawab ucapan Airin.

"Mau nyoba?"

Kini giliran Airin yang gelagapan dan tak lama keduanya tertawa bersamaan.

"Oh, iya, aku Dazel," lanjutnya seraya mengulurkan tangannya dan disambut Airin dengan agak sedikit canggung.

"Airin. Airin Sukma."

Perbincangan ringan pun mengalir dari keduanya dan sesekali mereka tertawa berdua meskipun dengan tawa yang agak tertahan.

"Ke Surabaya untuk urusan kerja?" tanya Dazel dan dijawab Airin dengan gelengan kepala.

"And then?" lanjutnya.

"Sahabatku sedang berada di Surabaya untuk urusan kerja, dan ternyata urusannya selesai lebih cepat dari perkiraan. Jadi, dia meminta aku untuk datang, yaa ... kebetulan juga kami sudah lumayan lama tak jalan bareng dan saat ini pekerjaanku juga udah longgar. Ya sudah, aku berangkat."

"Oh, berapa lama rencananya di sana nanti?"

"Maybe, cuma dua hari saja."

"Dua hari?"

"Ya, why?"

"Aku rasa kita bisa melakukan perjalanan pulang ke Jakarta bersama, aku juga rencananya hanya dua hari."

"Oh, ya?"

"Iya."

"Bolehlah, nanti aku kenalin sama temanku juga, ya."

"Hmm ...."

Perjalanan udara yang mereka tempuh dengan waktu satu jam tiga puluh menit itu tak terasa karena mereka isi dengan saling bercerita dan sudah tak ada lagi rasa canggung dari keduanya.

Sampai akhirnya pesawat mendarat di bandara internasional Juanda Surabaya.

"Kamu dijemput?" tanya Dazel sesaat setelah pesawat landing.

"Ya, temanku bilang begitu, tapi nanti, deh, aku telepon dulu, kamu?"

"Aku enggak, langsung ke hotel."

"Oh, iya, aku boleh minta nomor kamu?" Kembali Dazel berbicara pada Airin dan disambut Airin dengan anggukan.

Dazel memberikan ponselnya pada Airin supaya wanita cantik itu mencatat nomornya di ponselnya dan Airin pun melakukan itu.

"Terima kasih, nanti aku telepon kamu, ya."

"Oke."

Mereka turun dari pesawat beriringan dan sampai di pintu kedatangan, Airin baru menyalakan ponselnya. Beberapa pesan masuk saat ponsel diaktifkan dan tentu saja di antaranya pesan dari Bram.

[Kabari kalo sudah sampai, Sayangku.]

[Happy holiday, istriku sayang.]

[Baru beberapa jam saja ditinggal kamu, aku sudah kangen setengah mati, love you my wife.]

Dan masih ada lagi beberapa pesan yang membuat Airin senyum-senyum sendiri saat membacanya. Tak mau membuat suaminya khawatir, Airin membalas pesan dari Bram.

[Aku baru saja landing, Sayang. Nanti sampai hotel aku telepon, ya, love you more.]

Dazel yang masih berada di dekatnya menatap Airin dengan sorot mata kagum akan kecantikan yang sempurna di matanya.

"Di mana temanmu?" tanyanya.

"Sebentar aku telepon dulu."

Airin lalu menelepon Ratih karena ia tak menemukannya dari sejak keluar dari pintu kedatangan sekitar sepuluh menit yang lalu. Tak lama, Airin menutup kembali ponselnya.

"Temanku masih di jalan, agak macet katanya. Mungkin bisa sampe sekitar dua puluh menit lagi."

"Kalo begitu gimana kalo aku temani sambil minum di sana?" Dazel menawarkan seraya menunjuk satu kafetaria yang tak begitu ramai pengunjung.

"Baiklah, tapi kamu nggak apa-apa, ini temani aku dulu?"

"Enggak apa-apa, aku santai aja, kok."

"Baiklah, kalo begitu. Terima kasih, ya."

"Dengan senang hati." Dazel menjawab seraya meraih koper Airin. Airin menolak, tetapi tangan kekar Dazel sudah terlanjur menggeret kopernya menuju kafetaria yang akan mereka singgahi. Airin tersenyum berjalan bersisian dengan Dazel, entahlah ada satu perasaan lain saat pria itu tersenyum dan menatapnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status