BAB 4
Waktu sudah hampir lewat Magrib saat Airin tiba di rumah. Bram baru saja selesai menunaikan salat, saat Airin dengan terburu-buru masuk kamar."Hai, Mi, baru pulang, Sayang?""Assalamualaikum," Airin menjawab dengan mengucap salam lalu mencium tangan suaminya."Wa'alaikum salam, salat dulu, Sayang.""Iya, Pi, aku bersih-bersih dulu, ya.""Oke, aku tunggu di bawah, ya."Bram berlalu keluar kamar sementara Airin gegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melaksanakan salat Magrib. Hujan yang mengguyur Kota Bogor siang tadi membuat Airin tak bisa segera pulang karena kabut yang menutupi jalanan. Suara petir yang saling bersahutan membuatnya mengurungkan niat untuk segera pulang dan lebih memilih menata koleksi gaun-gaun yang baru saja ia keluarkan untuk dipajang di etalase depan butiknya.Tak henti ia mengucap syukur atas nikmat yang dirasakan, dan suami yang teramat sangat peduli akan dirinya dan juga orang tuanya di kampung. Adiknya bisa sekolah hingga ke perguruan tinggi sebagaimana yang pernah dirinya cita-citakan dulu, tetapi impiannya harus dipaksa terhenti oleh keadaan.Selesai melaksanakan ibadah salat Magrib, ia lalu turun untuk menemui suaminya yang telah menunggu."Cape, Sayang?" Kata pertama yang diucapkan Bram saat istrinya menghampiri dan duduk di sampingnya."Disyukuri aja, Pi,” jawab Airin seraya merebahkan kepala di bahu laki-laki yang selalu memanjakannya itu. Nyaman, ya, itu yang Airin rasakan."Tadi itu di Bogor hujannya deras banget, berkabut pula, aku takut kalo harus menyetir terobos hujan sederas itu.""Iya, gapapa, Sayang. Menunggu hujan reda 'kan lebih aman lagian lebih baik menunggu di butik daripada nekat menerobos hujan.""Oh, iya, Kenzo mana, Pi? Aku belum ketemu Kenzo sedari pulang tadi.""Ada di kamarnya lagi belajar ngaji sama Bu Nah.""Aku lihat Kenzo dulu sebentar, ya.""Ga usah, Mi. Temani aku aja di sini, Sayang. Nanti Kenzo kalo udah selesai juga keluar buat makan malam." Bram berkata seraya menggenggam erat tangan istrinya seolah tak mau ditinggal walau sesaat saja.Airin yang hendak beranjak dari duduknya, kembali mengenyakkan bobotnya di samping suami yang teramat ia hormati."Oh, iya, Sayang. Aku–aku boleh ke Surabaya, nggak?""Ke Surabaya? Untuk?""Yaa ... bukan untuk urusan pekerjaan, sih.” Airin menjawab seraya menggigit bibirnya yang bawah."And then?""Begini, Ratih 'kan sedang ada kerjaan di sana. Kemarin itu dia telepon kerjaannya bisa diselesaikan dua hari sebelum deadline. Jadi, ada sisa waktu dua hari di sana dan dia ngajak aku buat sekadar refreshing, gitu, Sayang.""Oh, ya sudah, pergilah. Aku rasa kamu juga butuh refreshing, Sayang. Kemarin-kemarin sibuk ngurus pembukaan butik baru' kan? Sekarang sudah selesai, ya sudah, nggak apa-apa, boleh, kok, aku izinkan.”"Bener boleh, Pi?""Iya, boleh, dong. Tapi maaf aku enggak bisa nemenin, ya.”"Iya, gapapa. Makasih, Sayang.""Sini, peluk dulu," Bram meraih tubuh istrinya ke dalam pelukan dan tak lupa menciun keningnya."Kapan rencana berangkat?""Besok, aku ambil penerbangan sore aja, paginya sampai siang Ratih masih harus selesaikan kerjaannya.""Oke, kalo begitu hati-hati, ya, salam buat Ratih.""Terima kasih, Sayang. Nanti salamnya aku sampaikan."Tak lama kemudian Kenzo keluar kamar dan mendapati kedua orang tuanya tengah duduk santai di ruang tengah."Mami ... Papi ...." Kenzo menghampiri orang tuanya."Hai, Sayang ... sudah selesai belajar ngajinya?" Airin bertanya seraya merentangkan tangannya untuk memeluk anak semata wayangnya itu."Sudah, dong, Mi. Kenzo udah mulai belajar baca surat-surat pendek, Mi.""Alhamdulillah ... Sayangnya Mami, makin pinter kamu, Nak."Kenzo duduk di pangkuan Bram, sudah menjadi kebiasaan kalo sedang kumpul bertiga, Kenzo paling nyaman duduk di pangkuan papinya."Sekarang kita makan dulu, yuk, Papi dah kelaperan, tuh, keknya,” canda Airin seraya mengerling pada suaminya."Eh, kok, Papi?" Bram pura-pura tidak terima. Sementara itu Airin terkekeh seraya beranjak menuju ruang makan lalu diikuti oleh suami dan anaknya.***"Beib ... siang ini aku berangkat, ya, pesawat pukul 14:20.""Seriously?""Of course.""Ya, ampun Airiinn ... akhirnya, ish, gue seneng banget lo bisa nyusul ke sini.""Gue juga seneng akhirnya bisa refreshing setelah sekian purnama disibukkan dengan setumpuk kerjaan.""Kelar kerjaan gue langsung cabut ke bandara, ya, duh ... seneng bangeett.""Ok, sampe ketemu, ya.""Bye ....""Bye."Airin mengabarkan pada Ratih kalau siang ini ia akan terbang ke Surabaya untuk menemaninya berlibur selama dua hari. Tentu saja Ratih menyambutnya dengan senang bahkan berjanji akan menjemputnya di bandara."Hari ini enggak ke butik, 'kan, Sayang?"Bram yang baru saja masuk kamar bertanya pada istrinya yang sedang berkemas."Oh, enggak, Sayang. Kemarin sudah aku cek semuanya dan kurasa semua sudah oke.""Bagus, kalo begitu.""Bagus? Maksudnya?""Iya, bagus. Karena hari ini aku pun enggak ke kantor.""Loh, kenapa, Sayang?""Hari ini aku akan puas-puaskan dengan istriku yang cantik ini, selama dua hari ke depan aku pasti kesepian.""Dih, Papi apaan, sih. ngegombal pagi-pagi." Airin pura-pura memasang wajah tidak suka dan itu membuat Bram semakin gemas.Hasrat kelelakiannya tiba-tiba bangkit. Ia terkekeh kemudian mendekati Airin dan melingkarkan tangan di pinggang ramping istrinya lalu mencium lembut tengkuk Airin.Airin menggeliat geli, kemudian membalikkan badannya menjadi berhadapan, sangat rapat."Pi ....""Ya, Sayang ....""Mami mau ....""Sstt ... masih banyak waktu .... " Bram memotong ucapan Airin kemudian membungkam mulut Airin dengan bibirnya.Airin tak bisa menolak, ia pasrah saat Bram membawanya ke pembaringan yang belum lama ia rapikan.Hari masih pagi, waktu baru menunjukkan pukul 08:15 masih banyak waktu Airin untuk membuat suaminya puas sebelum ia tinggal berlibur selama dua hari."Terima kasih, Sayang. Kamu selalu membuat aku puas," bisik Bram di telinga Airin yang masih terpejam dengan badan terbungkus selimut.Ia bukan tidur, tetapi merasakan rasa lelah yang mendera setelah melayani suaminya yang luar biasa meski usia tak lagi muda."Cape, ya, Mi?" tanya Bram karena melihat Airin makin merapatkan selimut dengan napas yang masih sedikit ngos-ngosan.Airin tersenyum dengan mata masih terpejam, Bram mengusap lembut keringat di dahi Airin lalu memeluknya."Tidur dulu, Sayang. Kamu cape, biar nanti aku bantu beresin kopernya."Airin tak menjawab, tetapi ia membalikkan badan dan memeluk erat tubuh suaminya yang masih sama-sama polos dan berada dalam satu selimut.Entah berapa lama Airin tertidur, saat ia membuka mata, sinar matahari sudah tinggi terlihat dari ventilasi kamar. Ia gegas beranjak dan melihat jam yang tergantung di sebelah kiri tempat tidur. Pukul 11:46."Ya ampun! Lama sekali aku tertidur." Ia bergumam dan gegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri lalu meneruskan packing yang tertunda tadi. Sementara BramSetelah melewati beberapa kali rangkaian pemeriksaan, akhirnya Airin dijadwalkan untuk menjalani operasi siang ini. Semua sedang dipersiapkan tinggal menunggu tim menjemput dan membawanya ke ruang operasi. “Sayang ... aku yakin kamu bisa sembuh dan aku akan selalu berdoa untuk kesembuhanmu.” “Pi, maafkan aku—” “Sstt ... sudah, jangan memikirkan yang lain dulu, sekarang kita fokus untuk kesembuhanmu. Aku yakin kamu pasti kuat, Mi.” “Tidak, Pi, aku takut aku tak bisa membuka mata lagi dan aku belum mendapatkan maaf darimu, Pi.” “Sayang—kita lupakan semuanya dan Insya Allah—aku sudah memaafkanmu.” Tutur Bram tulus, meski di dalam hatinya ada rasa sakit yang teramat menggores. Namun, setelah melewati proses merenung dan menjalankan salat istikharah, ia memutuskan untuk memaafkan Airin dan berjanji akan membimbingnya ke arah yang lebih baik lagi. Meski jujur harus diakuinya ada rada yang sangat tak nyaman saat mengingat bahwa istri yang teramat dia sayangi pernah membagi tubuh dan hat
“Semua berkas sudah siap dan saya juga sudah membuat janji dengan Dokter Victor, Pak Bram bisa segera berangkat.” Dokter Faizal berbicara dengan Bram di ruang kerjanya.Malam ini juga Airin akan segera diterbangkan ke Penang untuk menjalani pengobatan, ia akan menjalani operasi Whipple. Operasi Whipple adalah operasi yang melibatkan pengangkatan bagian kepala pankreas, bagian pertama dari usus kecil ( duodenum ), dan sebagian dari saluran empedu, kantong empedu, dan terkadang sebagian lambung. Umumnya, operasi ini digunakan untuk menangani kanker pankreas. Untuk penderita di stadium 1,2, dan 3 yang belum parah, telah banyak penderita sembuh total setelah menjalani operasi ini.“Terima kasih banyak atas bantuannya, Dokter.” Dengan tangan gemetar Bram menerima semua berkas yang harus ia bawa untuk diserahkan pada pihak rumah sakit di Penang. Hati Bram hancur menerima semua kenyataan ini. Namun, ia harus tetap tegar dan kuat demi untuk kesembuhan wanita yang sangat ia sayangi. “Oke, jik
“Jadi, istrinya Dazel berasal dari Karawang? Sama dengan aku?” Airin berkata di dalam hatinya. Sesaat ingatannya tertuju pada kampung halaman, orang tua, teman, dan saudara-saudaranya yang entah sudah berapa lama tak berjumpa. Lalu Airin teringat akan Wulan, teman semasa kecil yang sudah sekian lama tak diketahui kabarnya. Semenjak Airin menikah dan menetap di Jakarta, ia jarang sekali pulang ke kampung dan saat Wulan menikah pun Airin tak mengetahuinya.“Sayang ....”Dazel menggenggam tangan Airin dan menciuminya ingin rasanya ia memeluk tubuh mungil Airin. Namun, melihat kondisinya yang lemah Dazel takut malah akan menyakitinya.“Sayang, kamu kenapa bisa seperti ini? Sakit apa?”“Dazel, apa kamu mencintaiku?”“Tentu saja, aku sangat mencintaimu, Sayang, kenapa kamu bertanya seperti ini? Kenapa meragukan aku? Kita telah bersama selama tiga tahun, apa yang kamu ragukan, Sayang?”“Boleh aku meminta sesuatu?”“Katakanlah—““Ti—tinggalkan aku.”Dazel merasa seperti terhempas ke dalam ju
BAB 26“Tambah lagi, ya, makannya?” Bram membujuk Airin yang beberapa hari terakhir ini susah sekali untuk makan. Dalam dua minggu terakhir ini atau selama ia sakit, berat badannya menurun drastis. Tubuh mungilnya semakin kurus dan pucat.“Udah, Pi,” Airin menjawab dengan lemah.Dua pekan sudah Airin terbaring di rumah sakit, keinginannya untuk bed rest di rumah tak dikabulkan pihak rumah sakit mengingat seringnya Airin mengalami drop dan tiba-tiba mengalami rasa sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas kiri dan kemudian menyebar hingga ke bagian belakang. Rasa nyeri itu akan semakin bertambah saat ia sedang makan atau berbaring.Bram meletakkan piring yang isinya hanya beberapa sendok saja yang berhasil ia suapkan pada Airin. Ia melirik arloji yang melingkar di tangannya, jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi lebih beberapa menit saja. Ia sudah membuat janji bertemu dengan Dokter Faizal untuk membicarakan tentang pengobatan Airin yang akan diberangkatkan ke Penang at
BAB 25Dada Dazel bergemuruh hebat saat ia menerima telepon dari ART-nya yang mengabarkan kalau istrinya ditemukan tak sadarkan diri di dalam kamar.Dirinya yang saat itu sedang berbunga-bunga karena baru saja membuat janji bertemu dengan wanita lain yang tiga tahun terakhir ini mengisi hatinya, bertakhta setara dengan Regina. Dazel mencintai keduanya tanpa ada perbedaan. Dazel bukan mencintai Airin karena nafsu atau karena kemiripan wajah Airin dengan Regina, tetapi Dazel benar-benar mencintai Airin dari lubuk hati terdalam. Di tengah rasa paniknya, Dazel masih menyempatkan diri mengabari Airin dan meminta maaf harus membatalkan rencana kencan mereka. [Sayang ... maaf, untuk hari ini kita batal bertemu, aku ada urusan mendadak.] Dazel memberikan alasan batalnya pertemuan mereka. Namun, setelah beberapa saat menunggu tak juga ada balasan dari Airin. Dazel berusaha menelepon kekasih hatinya, tetapi tak juga dijawab olehnya. Rasa cemas dan takut kehilangan mendera hati. Ia sangat men
Bab 24Gundukan tanah merah itu masih basah, bunga-bunga segar pun masih bertaburan di atasnya. Orang-orang berbaju hitam yang tadi memenuhi area pemakaman untuk menghadiri acara pemakaman seorang wanita, satu per satu telah meninggalkan pemakaman. Kini, tinggallah seorang lelaki duduk termenung di samping batu nisan yang bertuliskan : REGINA PUTRI WULANDARILahir : Majalengka, 03 Januari 1989Wafat : Jakarta, 09 Februari 2022Lelaki itu adalah Dazel. Lelaki yang beberapa jam lalu masih memeluk tubuh istrinya yang semakin melemah. Ya, Dazel adalah seorang suami dengan dua orang anak. Ia sebenarnya lelaki baik yang begitu menyayangi keluarganya. Namun, sejak empat tahun yang lalu, tepatnya sejak Egi—panggilan—untuk Regina, divonis menderita leukimia stadium empat, hidupnya serasa hancur apalagi kedua anaknya masih sangat memerlukan perhatian penuh dari seorang ibu. Dazel berusaha mencari pengobatan yang terbaik untuk istrinya. Tak pernah sekalipun ia lalai mengurusi pengobatan dan