Share

Kabar Dari Ratih

BAB 6

Mereka memasuki sebuah kafetaria yang tak begitu padat pengunjung di siang hari. Meja paling pojok dengan view menghadap ke arah taman kecil di samping bangunan, menjadi pilihan untuk menikmati secangkir kopi dan menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit seperti yang dijanjikan Ratih ada Airin di telepon tadi.

"Silakan ...." Dazel menarik kursi dan mempersilahkan Airin untuk mendudukinya.

"Terima kasih."

Seorang pelayan menghampiri mereka dengan membawakan buku menu untuk mereka memilih apa yang akan dipesan.

"Mau minum apa?" Airin mengangkat wajahnya dan menatap Dazel yang saat itu tengah menatapnya juga.

Pandangan mereka saling bertemu dan keduanya sama-sama terpaku sampai beberapa detik, kemudian keduanya pun tersipu malu. Mirip remaja yang sedang jatuh cinta.

"Sepertinya aku mau minum kopi latte saja," jawab Airin di tengah rasa salah tingkahnya.

"Wow ... kita punya selera yang sama," ucap Dazel seraya terkekeh.

"Oya?"

"Hmm ...."

Dua kopi latte dan dua potong red velvet menjadi menu pilihan keduanya.

Airin merogoh ponsel dari tasnya karena terdengar suara berdering, lalu sesaat alisnya bertaut karena tidak mengenali nomor si pemanggil.

"Itu nomorku." Dazel yang melihat Airin mengerutkan kening, akhirnya memberi tahu kalau itu nomor ponselnya.

"Oh, oke, aku save, ya."

"Harus." Dazel menjawab dengan menjentikkan jarinya.

"Kenapa harus?"

"Karena setelah hari ini, di hari-hari selanjutnya kamu akan direpotkan oleh pesan dan panggilan dariku."

Airin tersenyum melihat tingkah Dazel. Sementara debar di dadanya semakin tak bisa terkontrol lagi. Wajahnya memerah saat Dazel menatapnya dan tentu saja membuat salah tingkah.

Tak lama ponselnya kembali berdering dan kali ini Ratih yang menelepon. Ia mengabarkan kalau sudah berada di lokasi. Airin mengarahkan Ratih untuk menemuinya di kafetaria.

Tak butuh waktu lama, netra Airin menangkap sosok sahabatnya itu memasuki kafetaria, Airin melambaikan tangannya ke arah Ratih dan disambut senyuman oleh Ratih.

"Hai, Rin ... akhirnya ...." Ratih memeluk Airin begitu sampai di meja Airin dan Dazel.

"Hai, Beib, seneng banget, deh akhirnya gue bisa nyusul, lo," ucapnya seraya cipika-cipiki.

"Duh, cantik banget, sih, ibu satu ini," puji Ratih seraya merengkuh bahu Airin.

"Ahay ... dikatai cantik sama yang lebih cantik," jawab Airin sambil terkekeh.

"Ehemm ...." Ratih mendehem seraya matanya melirik ke arah Dazel dan membuat Airin tersadar kalau dia tidak sendiri.

"Oh, Ratih, kenalin, ini Dazel," ujar Airin seraya melirik ke arah Dazel, "Dazel, kenalin, ini Ratih, perempuan cantik yang telah membuat kita menunggu di sini lebih dari dua puluh menit." Airin mengenalkan keduanya.

"Baik, karena sekarang Tuan Puteri sudah ada yang menjemput, jadi ... saya izin mohon diri, gapapa, 'kan?" Dazel berbicara seraya bangkit dari duduknya.

"Loh, kok, buru-buru? Kita ngobrol-ngobrol aja dulu, Zel." Airin berusaha mencegah walau hanya sekadar basa-basi.

"Iya, Zel." Ratih ikut menambahkan.

"Terima kasih, next time kita minum kopi sama-sama. I'm promise.”

"Ok, kalau begitu. By the way ... terima kasih banyak sudah menemani aku, ya," Airin berbicara seraya menangkupkan kedua tangannya.

"Sama-sama, Airin."

Dazel menarik kopernya dan bersiap meninggalkan tempat itu, tetapi baru beberapa langkah tiba-tiba ia membalikkan badannya dan memanggil nama Airin.

"Airin ...."

Airin yang baru saja mengenyakkan bobotnya seketika berpaling ke arah Dazel.

"Ya, apa ada yang tertinggal, Zel?"

"Oh, no, I just want to say nice to meet you." Dazel berkata seraya tersenyum dan mengangkat kedua alisnya. Sementara Airin yang seketika memerah wajahnya menjawab lirih, "Me, too."

"Eheem ... nasib ... nasib, gini amat nasib jomblo, ya, jadi nyamuk gue," celetuk Ratih dengan raut wajah dibuatnya sesedih mungkin.

"Apaan, sih ...." Airin melempar Ratih dengan selembar tisu.

"Loh, kok, itu muka kenapa merah, gitu, Bu?" Ratih semakin menggoda Airin yang terlihat salah tingkah.

"Udah, deh, jan ngawur, ah." Airin berusaha menutupi apa yang bergejolak dalam hatinya saat ini.

"Eh, tapi gue penasaran. Gimana ceritanya lo bisa bareng dia?"

"Yaa ... enggak gimana-gimana juga, sih. Tadi itu di pesawat dia duduk sebelah gue, nah, setelah landing dia tanya gue dijemput atau enggak. Ya, gue bilang iya gue dijemput. Gue telepon lo dan lo bilang dua puluh menit lagi, lalu dia nawarin buat nemenin gue. Ya, udah gitu aja, enggak ada yang spesial."

"Oooh, gitu, ya? Eh, tapi sumpah dia itu cakep banget, lho, Rin."

"Terus? Kalo dia cakep emang kenapa?"

"Yaa ... enggak kenapa-kenapa juga, sih, hahaha," Ratih terkekeh sendiri melihat wajah Airin yang semakin memerah.

"Udah, ah, udah. Kita ke hotel sekarang aja, yok." Airin berusaha mengalihkan percakapan.

"Ya, udah, ayok. Eh, tapi, Rin ...."

"Kenapa?"

"Tadi, lo sempat tukeran nomor, 'kan?"

"Eemm ... tukeran enggak, ya ...." Airin kini balik menggoda Ratih seraya memainkan bola matanya.

"Tukeran. Pasti."

"Yakin?"

"Why not."

"Sok tau, lo." Airin berlalu mendahului Ratih.

"Eh, Rin, tunggu, Rin! Tukeran, 'kan, Rin?" Ratih masih terus saja mengoceh sambil mengejar langkah Airin yang sengaja mempercepat langkah kakinya.

"Rin, tunggu napa, Rin! Miris beud dah nasib gue, udah ditinggal laki, punya kawan atu doang gue ditinggal pula ...."

Mendengar celotehan Ratih, seketika Airin membalikkan badannya dan tertawa meski tawanya agak ditahan.

"Tega bener, Buuu ... gue ditinggal."

"Hahaha ...sini, sini peyuuukk ...."

"Dih! Ogah!"

Lalu kedua perempuan yang sudah berteman dekat lebih dari delapan tahun itu berjalan bersisian dengan senyum ceria dari keduanya.

Airin bertemu Ratih di tempat kebugaran, yoga menjadi pilihan Airin untuk berolah raga. Saat itu Airin baru satu tahun menikah dengan Bram dan belum memiliki anak. Keseharian Airin pun tidak terlalu sibuk dan juga belum mempunyai banyak teman.

Karena seringnya mereka bertemu dan berolah raga bareng, mereka merasa kecocokan sebagai teman dan berlanjut dengan jalan bareng, belanja, dan melakukan kegiatan lainnya.

Hingga beberapa bulan kemudian, Airin dinyatakan hamil. Ratih orang kedua setelah Bram yang memeluk Airin seraya mengucapkan selamat. Saat itu Ratih memeluk Airin erat sekali dan menangis terharu mendapat kabar kalau sahabatnya positif hamil. Sementara Ratih sendiri yang menikah lebih awal dari Airin, belum dikaruniai seorang anak.

Selama kehamilan Airin, Ratih sangat perhatian terhadap sahabatnya itu, saat Bram tak bisa mengantar untuk cek ke dokter, Ratih dengan sigap menggantikannya, saat Airin dalam masa ngidam, Ratih pun dengan telaten bertanya dan membawakan apa saja yang Airin inginkan.

Airin yang tinggal jauh dari orang tuanya merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan Ratih yang begitu baik dan perhatian meski terkadang sikapnya sedikit urakan, tetapi Airin salut dengan keberanian Ratih yang selalu pasang badan saat pernah ada seorang laki-laki yang berusaha mengganggu Airin.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status