Share

Bab 7 Pelajaran Pertama Membakar Jiwa

Wow! Kelas kami ini ternyata tidak tepatlah kalau dinamakan kelas, tidak layak untuk tempat belajar, namun lebih tepat kalau dinamakan ruang rapat warga di balai pertemuan di kantor Kelurahan Pulo Brayan yang kerap kali diisi oleh riuhnya suara protes maupun kegaduhan warga karena mempertanyakan dan memperebutkan jatah raskin (beras untuk rakyat miskin) yang dirasa tak adil dalam pembagiannya, bahkan tak tepat sasaran. Atau, protes warga mempertanyakan raibnya uang Bangdes. Memang mirip, coba bayangkan kelas kami yang beratapkan seng, berdinding papan yang disusun bersirip, tanpa jendela, namun berventilasi jaring-jaring kawat si sisi barat, bahkan tanpa plafon ini dijejali penuh sesak oleh siswa, pengap. Jangan bayangkan atau berharap tentang kelas ideal untuk belajar, apalagi kelas internasional yang berpendingin air conditioning alias AC, seperti yang ditemukan kelas-kelas di sekolah Singapura. Bahkan, jangan dibandingkan dengan kelas-kelas yang ada di sekolah yang terdapat di Eropa, misalnya Jerman, Belanda, Prancis maupun Inggeris. Kalau kita melongok kelas-kelas yang ada di sana tentu membuat hati iri, karena kelasnya sejuk, nyaman, dan bahkan sangat ideal untuk belajar, sebab hanya berisi berkisar antara 15-20 siswa perkelasnya. Namun, kelas kami ini sungguh berbeda, luarbiasa berisi 62 siswa di ruangan yang berukuran 8 x 10 M dengan 24 meja berukuran 1,2 x 0,5 M. Bahkan, sebahagian besar satu meja diperebutkan oleh tiga orang siswa.

Bayangkan suasana kelas seperti ini, apa yang terjadi, bagaimana kami mau belajar, mau berpikir. Apalagi berprestasi, malah kelak yang terjadi sebahagian dari kami sering menghabiskan waktu untuk beradu mulut, bersitegang saling menyalahkan, bahkan berbuntut perkelahian di luar sekolah gara-gara sering beradu sikut untuk mendapatkan posisi untuk belajar. Bahkan, inilah yang acapkali terjadi di kelas, godaan untuk berbisik-bisik antara siswa yang satu dengan lainnya begitu kuat mengalahkan penampilan guru di depan kelas. Bahkan, tak jarang bisik-bisik berkembang jadi debat kusir yang seru dan lebih santer dibandingkan suara guru yang lagi menerangkan pelajaran, misalnya perdebatan seru yang melibatkan gaya merat-merotnya bibir Indra Kesuma dengan gaya uppercut tinjunya Suheng yang mempersoalkan tentang kehebatan Muhammad Ali vs Larry Holmes. Atau, guru yang merasa kewalahan menghadapi siswa yang begitu padat. Jangankan untuk mengajar, melihat jumlah siswanya saja guru sudah lemas dan pusing tujuh keliling duluan. Belum lagi, menjelang tengah hari kelas dirasa cukup pengap akibat pemuaian panas atap seng, sebagai akibat penyinaran sinar Matahari yang terik dan bercampur dengan gas CO2 limbah hasil proses respirasi siswa. Ditambah lagi perasaan tersiksa dan perut mual akibat menghirup udara yang terkontaminasi dengan aneka aroma tak sedap akibat pemuaian BB yang mengalahkan aroma kembang tujuh rupa pengusir jin sekalipun. Makanya, jangan heran kalau terdengar sayup-sayup Herlina alias Popey berceloteh tentang kelincinya telah melahirkan anak kembar empat, mungil, lucu dan berbulu belang tiga pada Kunyeng (eh salah, maksudnya si Nuryati) lolos dari perhatian guru. Juga jangan heran, kalau adakalanya guru mengalami kesulitan memperhatikan siswa satu persatu, seperti Suhardi yang hanyut dan keterusan dalam tafakur doanya yang berkepanjangan…eh maksudnya keasyikan curi-curi baca cersil (cerita silat) Bu Kek Siansu karangan Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo dari bawah laci mejanya, dibandingkan mendengarkan guru. Inilah realistis kelas kami.

Yeah…! Walaupun kondisi kelas kami begitu, kami tak banyak menuntut dan masih merasa beruntung, hingga kami tetap menjalaninya dengan riang gembira dan rasa syukur. Terlebih-lebih kami yang sebahagian anak kuli menjalaninya dengan penuh semangat. Kami tetap merajut mimpi-mimpi kami. Begitu juga, guru-guru yang mengajar kami adalah guru yang luarbiasa. Mereka tak surut hanya karena serbuan gas beracun BB kami, wajah kumal kami, kelas yang pengap, dan berbagai hambatan lain demi tugas mulianya untuk mencerdaskan kami. Aku yang duduk sebangku dengan Purwanto dan Syamsul Bahri tidak peduli dengan kondisi kelas kami ini, tapi aku yakin masih bisa bermimpi di sini.

Kini di hadapan kami, di depan kelas sudah berdiri ibu guru yang bernama Nursyiah. Beliau merupakan wali kelas kami di kelas Satu A. Kami bilang beliau ini merupakan guru perempuan pejuang luarbiasa mulia dalam bertugas. Tak pernah menampik amanat yang dibebankan di atas pundaknya. Semangatnya inilah yang kelak mengisi relung-relung hati kami. Fakta di akhir era pemerintahan Soekarno, dia tak ragu ditugaskan mengajar di daerah terpencil di Propinsi termuda yang baru berhasil dibebaskan dari belenggu penjajahan Kolonial Belanda, yaitu Propinsi Irian Jaya (Irian Barat). Padahal, banyak orang-orang kerdil enggan kalau ditugaskan di daerah baru, daerah terpencil maupun daerah terbelakang, apalagi daerah bekas konflik, karena terbayang di depan wajahnya minim (langka) fasilitas, dan bahkan rawan, hingga orang takut berjuang tanpa perlindungan maupun dukungan apapun. Namun, tidak dengan Ibu Nursyiah yang satu ini, dia tak kalah dan patut disejajarkan dengan Herlina Kasim, si Pending Emas. Seorang wanita muda (pada waktu itu berusia 18 tahun) yang gagah berani turut bergabung dengan pasukan khusus RPKAD (kini menjadi Kopassus) terjun ke hutan rimba dan rawa buas di Pulau Irian dalam upaya merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Di dalam dadanya tertanam slogan, jangan tanya apa yang diberikan negara untukmu, namun apa yang bisa kamu perbuat untuk negara. Dirinya bukanlah termasuk bahagian dari orang-orang kerdil yang sukanya merengek-rengek, serba menuntut. Apalagi, sifat suka berkoar-koar, tapi miskin tenaga jauh dari dirinya. Makanya, dia tak ragu dan berani menerjang berbagai rintangan untuk menegakkan panji-panji pemersatu Bangsa Indonesia di Irian Barat dengan ajaran bahasa Indonesia sebagai spesialisasi yang diajarkannya. Setelah satu dasawarsa, Ibu Nursyiah baru kembali ke Medan dan ditugaskan di SMP 9.

Hari ini, Bu Nursyiah kalau dilihat dari pakaiannya terkesan sangat sederhana dengan mengenakan baju linen lengan panjang warna putih dan dipadu dengan rok sepan hitam yang panjangnya 10 Cm di bawah lutut. Wajahnya pun hanya berpupur tepung bedak Viva No. 5, hingga terlihat pipinya agak merona kemerahan sedikit dan tidak terlihat pucat karena kulitnya yang putih itu. Rambutnya pun digulung ke belakang, hingga membentuk seperti mangkuk yang menyembul di belakang kepalanya lengkap dengan tusuk kondenya. Jika dibiarkan terurai, pasti panjang rambut Bu Nursyiah yang lebat itu indah sepinggul, dan tentu semakin memesona wanita yang tingginya 170 cm ini.

Namun, kalau sempat beradu pandang dengannya, membuat jantung terasa mau copot. Makanya, begitu Bu Nursyiah berdiri di depan kelas begitu menegangkan, kami seketika menahan nafas dan terdiam, tak berani bersuara maupun menggerakkan tubuh sedikit pun. Tak kecuali diriku, aku pun tak ingin membuat kesalahan yang akan membangkitkan kemarahannya. Dalam benakku bisa saja beliau langsung menghardik jatuhkan talak padaku, sambil mencampakkanku keluar ruangan, hingga kandas di lembah neraka. Coba bayangkan sorot mata Bu Nursyiah itu begitu tajam menusuk jantung, laksana mata elang yang lagi mengintai tajam mangsanya, anak kelinci yang lari tunggang-langgang karena ketakutan…

Memang, kesan pertama jika lihat penampilan Bu Nursyiah ini terkesan orangnya galak, killer yang tak segan melahap mangsanya mentah-mentah, atau jutek. Tapi jangan dikira, ketika beliau mulai angkat bicara tentu penilaian tadi akan berubah 180 derajat. Nah, ketika beliau angkat bicara, begitu menggetarkan jiwa, meluncur untaian kata puitis yang bersemangat membakar jiwa, sebagai prolog ucapan selamat datang penuh nuansa sukacita di sekolah yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat singkat beliau telah merebut hati kami. Ibu guru yang berkonde itu telah lepas bicara tentang, entri poin dari founding father meraih kemerdekaan.

“Merdeka!” pekik menggelegar Bu Nursyiah, sambil mengepalkan tangannya di udara memecah keheningan kelas, sebagai salam pembuka.

“Merdeka!” sahut kami serentak. Satu kata “magis”, penuh semangat juang itu langsung menusuk jiwa kami, membakar jiwa kami, emosi kami terlecut, termotivasi. Ketegangan kami pun langsung mencair menyambut pelajaran pertama kami yang penuh makna ini.

“Taukah kalian satu kata merdeka itu sangat mahal?! Merdeka adalah lambang kebebasan. Kebebasan dari belenggu penindasan, perbudakan, penjajahan, kebebasan menentukan nasib sendiri, kebebasan menentukan masa depan sendiri,” demikian ucapnya dengan semangat berkobar-kobar. Semua mata terpesona lihat penampilan Bu Nursyiah yang berapi-api membakar jiwa kami.

 “Para founding father RI tak mudah meraihnya. Tanpa ada tekad yang kuat dari dalam jiwa, usaha keras, dan semangat rela berkorban walaupun nyawa taruhannya sekalipun, maka tak mungkin penjajahan di negeri ini dapat lenyapkan.”

“Kalian harus berterima kasih pada para founding father yang telah mempersembahkan kemerdekaan RI pada kalian,” petuah penuh makna disampaikannya. Kemudian lanjutnya yang mengejutkan kami, “Negeri ini boleh sudah merdeka, bebas dari penjajahan Jepang, Belanda, Inggeris, bahkan Portugis…Tapi apa jiwa kalian merasa sudah merdeka?!”

Wow! Sebuah pertanyaan yang membuat kami langsung tercengang. Pertanyaan yang menyentak kami, menyadarkan kami, sebagai anak-anak yang sedang beralih menuju remaja. Pertanyaan yang mengandung makna yang hakiki, mendalam dan jadi teka-teki kami, bahkan mungkin dirasakan sebahagian besar warga negara Indonesia belum merdeka dalam arti yang riil, hingga kini. Artinya, kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia ini baru dinikmati oleh segelintir orang saja. Makanya, kami pun jadi saling menoleh, saling pandang sesama siswa, untuk cari jawab, kalau ada yang mau menjawab pertanyaan yang sedikit menyeleneh yang kami rasa. Mungkin, Anda juga merasakannya?!

Beberapa saat kesenyapan pun terjadi, tak satu pun di antara kami menjawab, kami satu sama lain saling angkat bahu, atau mungkin ragu-ragu untuk menjawab, atau karena takut untuk mengungkapkannya, atau takut dianggap melakukan pemikiran makar yang akan diberangus oleh kaki-tangan sang penguasa orde baru. Sama artinya pada masa penjajahan Jepang maupun Belanda dulu, kata “merdeka” adalah kata terlarang diucapkan, apalagi dibahas. Berani membahas berarti telah melakukan tindakan makar atau pemberontakan, atau lebih sering disebut GPK (gerakan pengacau keamanan) dan harus ditumpas, bila perlu harus dibinasakan. Makanya terbayang dibenakku, jangan-jangan setelah kami mengungkapkannya nanti, diam-diam malam hari kami diciduk dan diinterogasi pasukan Laksus yang sangat menakutkan itu. Pasukan laksana siluman yang misterius, tak tahu kapan datangnya dan geraknya, namun kehadirannya selalu tiba-tiba, mengejutkan, hingga akhirnya mencampakkan siapa pun ke dalam ruang neraka dunia di Jl. Gandhi Medan. Badanku sampai merinding membayangkan hal itu, jika terjadi padaku. Sehari saja menginap di hotel prodeo Jl. Gandhi sama artinya kiamat. Di sana, bagai manusia hidup segan mati tak mau, rusak dalam laksana mayat hidup tak berarti apa-apa lagi nantinya. Walau begitu, makna dari pertanyaan Bu Nursyiah itu sebenarnya sangat merangsang adrenalin kami. Apalagi, kami anak-anak yang baru mau membuka mata, rasa ingin tahu begitu besar. Kami penasaran. Terlebih diriku, hati kecilku benar-benar terusik oleh pertanyaan Bu Nursyiah ini. Membuat rasa ingin tahuku secara diam-diam jadi membuncah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status