Share

Bab 8

Eh! Tiba-tiba Indra Kesuma memecah kesenyapan dengan mengangkat jari telunjuknya, namun wajahnya itu memperlihatkan mimik yang tak sedap dipandang, laksana orang sedang meringis, setengah ketakutan. Dia angkat tangan, sambil melirik kanan-kiri.

“Bagus Indra! Ini dia yang ibu mau. Hanya Ksatria yang berani mengatakan kemerdekaannya, seperti kamu ini.”

Kami terperangah, dengar ucapan pujian yang luarbiasa maknanya. Semua mata pun langsung menoleh ke pojok kiri kelas, memandang Indra Kesuma. Apalagi, lihat Indra Kesuma langsung tersenyum, bungah banget. Keberaniannya dapat dukungan dari Bu Nursyiah. Kami jadi iri dan penasaran, sebenarnya apa sih yang ingin dikatakan Indra Kesuma itu, sampai-sampai Bu Nursyiah sebegitunya memuji laksana Ksatria. Atau memang orang yang berani mengatakan pendapatnya itu ibarat Ksatria gagah berani ya?! Lantas, kami yang tak berani membuka suara apa namanya? Ah, entar kami malah dimasukkan golongan orang-orang yang tak punya nyali atau pengecut atau bodoh gitu?! Wooow!

“Bu, pertanyaan Ibu itu sungguh mengerikan.”

“Memangnya, mengapa Indra?”

“Ini Bu, kalau kami bicarakan itu, entar tiba-tiba pasukan siluman Laksus muncul beraksi. Lantas, kami bagaimana Bu?! Kami bisa celaka duabelas. Itu sama artinya kami bunuh diri Bu!” ucap Indra Kesuma perlahan-lahan, sambil melongok keluar, takut ucapannya ada yang menguping.

“Iya Bu!” timbrung Suhermanto alias Suheng, sambil berdiri memberanikan diri. Nada bicaranya pun dibuat dengan nada yang rendah, “Kemarin, tengah malam lima orang tetangga kami habis diciduk pasukan Laksus, gara-gara mengatakan Soeharto ditaktor, tak becus, gagal menyejahterakan rakyat.”

“Indra, Suhermanto, kalian tidak perlu takut. Ibu jamin, apapun yang kita bahas, Laksus tidak berhak menangkap siapapun di ruang kelas ini,” ucap Bu Nursyiah mantap, meyakinkan kami.

“Tapi Bu,” sergah Suheng, setengah berbisik.

Namun, Bu Nursyiah langsung memotong.

“Ibu mengerti ketakutan kalian. Kita belajar bertanggung jawab, bicara berdasarkan fakta dan data, bukan untuk menyebar fitnah atau mendiskreditkan seseorang tanpa bukti yang akurat. Soal Laksus menangkap orang, mungkin ada alasan lain yang kuat dan kalian atau kita ini tidak mengetahuinya.”

“Iya, ya Bu. Tapiii, mengapa pasukan Laksus suka bertindak sewenang-wenang Bu?” kejar Suheng penasaran.

“Sudahlah! Tentang Laksus ibu tak mau bahas. Itu biar sejarah saja nanti yang menilainya,” tukas Bu Nursyiah berdiplomatis, sembari melontarkan senyum manisnya yang menawan itu, lalu menepuk-nepuk bahu Suhermanto. Suhermanto langsung terkesima, merasa diterbangkan ke langit ke tujuh lihat senyum yang menawan Bu Nursyiah itu, makanya dia pun juga langsung lupa dengan persoalan Laksus yang dikemukakannya.

Sesaat kemudian, Bu Nursyiah beralih pandang pada Indra Kesuma, “Bagaimana Indra, kamu mau jawab pertanyaan ibu tadi?”

“Iya Bu. Merdeka juga berarti kebebasan mengeluarkan pendapat, berbicara dan berserikat. Bukan hanya kebebasan dari penjajahan saja-kan Bu?”

“Huuuh! Kalau itu semua orang dah tau, Indra. Itukan bunyi pasal 28 UUD 1945,” sambung Julbrito menyeletuk, sambil mencibir. Bu Nursyiah tersenyum dan mengangguk membenarkan.

“Iya, Indra ngaco!” cemooh Arif Budiman menambahkan.

“Huuuh!” koar panjang teman-teman sekelas mendukung cemoohan Julbrito dan Arif Budiman.

Dasar Indra Kesuma selengekan, dengar cemoohan teman-teman sekelas, bukannya terpukul dan malu diri, tapi malah cengar-cengir seperti wajah orang tak berdosa.

“Oke, ada yang lain mau jawab?” tanya Bu Nursyiah meluruskan suasana, sambil melontarkan pandangannya ke sekeliling kelas.

Tiba-tiba Suheng berdiri, sambil mengacungkan tangannya.

“Bu, mungkin yang bisa jawab pertanyaan ibu itu hanyalah Sang Pemimpi Besar kami,” ucap Suheng dengan gaya banyolannya, sambil menunjuk diriku dengan jari jempol, seperti gaya orang Yogyakarta.

Bu Nursyiah tercengang dan beliau seketika menutup mulutnya, menahan tawa gelinya yang hampir meledak dengar ucapan Suheng itu. Sementara, teman-teman sekelas pada tersenyum geli, akibat ulah Suheng yang sangat memojokkanku itu.

Sementara, ucapan Suheng itu, laksana dinamit yang tiba-tiba meledak di depan wajahku, membuat diriku hampir pingsan dengarnya. Wajahku pun langsung merah-padam, saking jengahnya. Rasanya aku ingin membungkam mulut besar Suheng itu, lalu mengulek-ulekinya dengan cabe rawit.

Aku pandang wajah Suheng, kupelototi dia. Tapi, dia malah meledekku dengan wajah penuh tanpa dosa. Buatku semakin gregetan padanya.

“Ayo Enda, coba kamu jawab dan jelaskan pertanyaan Ibu tadi!”

Permintaan Bu Nursyiah itu laksana suara halilintar yang menggelegar di telingaku, hingga aku tahan nafas dan membuatku semakin keki. Aku gugup banget. Apalagi, sempat kulirik Suheng dan Indra Kesuma melakukan tos tangan, meluapkan kegembiraannya habis mengerjai diriku. Terpaksa aku memberanikan diri merajut tahuku yang kudapat dari guru SD-ku sebelumnya.

“Iya Bu, secara fisik negara kita memang sudah merdeka. Tapi, kemerdekaan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang saja Bu. Sebahagian besar jiwa penduduk Indonesia masih terbelenggu dan tak mampu menjamah kemerdekaan yang telah diperoleh itu Bu.”

“Benar sekali itu Enda. Coba kamu berikan contohnya.”

Semangatku membuncah, begitu Bu Nursyiah mendukung pendapatku itu. Makanya, aku pun berani mengungkapkan unek-unek yang selama ini telah menghimpit keluargaku juga. Sementara, Suheng dan Indra Kesuma jadi meringis karena maksud mereka mengerjai diriku tak seperti yang mereka bayangkan hasilnya. Tentunya mereka berdua menginginkan munculnya kekonyolanku, biar sekelas jadi riuh menertawaiku karena tak mampu menjawab dengan benar pertanyaan Bu Nursyiah. Malah yang konyol luapan mimik wajah mereka berdua, kecewa.

“Contohnya, kemiskinan masih melekat di sekeliling kita. Salah satu sebabnya, penduduk Indonesia masih terbelenggu oleh budaya mental-kuli yang diciptakan pemerintah kolonial, hingga sebahagian besar penduduk kita hanya bisa jadi hamba sahaya. Lihatnya, sebahagian besar penduduk kita hanya bisa jadi kuli pabrik, kuli kebun, kuli bangunan, tukang becak, buruh tani, buruh nelayan…”

 Tiba-tiba Yan Utama memotong bicara dengan mengacungkan jarinya pada Bu Nursyiah. Semua mata jadi terusik akan keberanian Yan Utama itu. Hati kami jadi ngeri, takut Bu Nursyiah tersinggung dan marah lihat ada siswanya yang berani memotong bicara. Namun, sekejap kemudian ternyata dugaan kami salah. Bu Nursyiah malah tersenyum, lihat begitu antusiasnya Yan Utama ingin mengemukakan pendapatnya. Ternyata Bu Nursyiah ini guru yang bijak, dia tak akan mematikan hasrat anak didiknya untuk berpendapat. Dia pun lantas menganggukkan kepalanya, mempersilakan Yan Utama bicara. Gaya mengajar Bu Nursyiah ini semakin memikat hati kami, hingga jiwa kami pun jadi menyatu dalam suasana belajar yang menyenangkan.

“Yang memalukan, mental kuli ini dijadikan komoditas ekspor, Bu. Buktinya, petinggi negara kita dengan bangga sudah mengekspor jutaan TKI ke luar negeri. Bahkan, para TKI itu disebut pahlawan devisa segala.”

“Betul sekali itu Yan Utama,” sambut Bu Nursyiah berapi-api, sambil menunjuk jarinya pada Yan Utama membenarkan pendapatnya.

“Tapi, taukah kalian apa penyebabnya itu?”

Semua terdiam.

Bu Nursyiah menyapu wajah kami satu persatu yang terpana dengar ucapannya. Wajah konyol Suheng dan Indra Kesuma pun tak luput dari sorot tajam mata Bu Nursyiah, hingga membuat keduanya kepanasan. Mereka berdua pun buru-buru merapikan duduknya, melipat kedua tangannya, sambil memaksakan diri nyengir, mesam-mesem jadi anak manis.

Selang selanjutnya, Bu Nursyiah melanjutkan perkataannya.

“Penyebabnya tak lain adalah karena kebodohan yang melekat pada kita. Sebahagian besar orang berusaha yang mengandalkan kemampuan fisiknya saja, tanpa didukung oleh kecerdasan yang memadai. Itu gunanya kalian sekolah, agar jadi orang pintar. Kelak kalian bekerja itu harus menggunakan otak dan keahlian atau keterampilan. Kalian dibayar bukan karena tenaga dan keringat kalian saja, tapi berdasarkan skills kalian.”

“Kalian ingat, orang yang bekerja mengandalkan tenaga dan keringat itu hanya dibayar murah. Bahkan, tak ubahnya laksana budak. Kalian perhatikan, banyak TKI asal Indonesia diperlakukan semena-mena di luar negeri, laksana budak belian jadi sapi perah. Berbeda kalau kalian bekerja berdasarkan skills yang kalian miliki, maka kalian akan mendapat perlakuan khusus, terhormat dan tentu akan dibayar mahal. Apalagi kalian mempunyai keahlian atau keterampilan tertentu, kalian pun bisa berusaha sendiri atau jadi pengusaha.”

“Misalnya, Yan Utama jadi dokter, Indra Kesuma jadi pengusaha…kan bisa jadi orang kaya, bahkan enak dengarnya.”

“Wow!”

Tahu-enggak?! Ucapan Bu Nursyiah itu membuatku tertegun karena punya daya Magic yang luarbiasa di kelas kami. Sekelas jadi tersihir, hingga tanpa sadar desah dan riuh decak-kagum meluncur dari bibir anak-anak perempuan, terutama Ratna Sari dan Elfi Zahara, bola mata mereka pun berbinar-binar, sembari menoleh memandang Yan Utama dan Indra Kesuma secara bergantian. Bahkan, para anak lelaki pun turut hanyut dengan kegembiraan ini. Senyum lebar pun menghiasi wajah teman-temanku sekelas, sambil menjatuhkan bola mata pada Yan Utama dan Indra Kesuma. Seolah-olah di mata mereka, Yan Utama dan Indra Kesuma telah jadi bintang meraih bulan.

Yan Utama dan Indra Kesuma pun menyambut ucapan Bu Nursyiah yang laksana lantunan doa itu dengan sumringah. Siapa yang tak membuncah hatinya, dengar wejangan yang jadi fighting spirit mengukir mimpi. Hanya orang-orang bodoh saja yang tak berani bermimpi mau jadi apa dirinya setelah dewasa nanti. Makanya, kami semua jadi terbuai dan hanyut dalam bunga-bunga mimpi indah yang dihembuskan Ibu Nursyiah itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status