Home / Fantasi / Miliknya Di Antara Dua Dunia / BAB 53 — SIMFONI DARI LUKA YANG TERTINGGAL

Share

BAB 53 — SIMFONI DARI LUKA YANG TERTINGGAL

Author: Ayla
last update Huling Na-update: 2025-07-19 23:02:13

Angin dunia baru tidaklah sama dengan angin dunia lama. Ia tak hanya membawa aroma tanah atau suara dedaunan. Angin ini membawa sisa gema dari masa yang hampir punah. Dunia baru belum selesai dibangun, tapi jejak-jejak waktu sudah berusaha merambat ke dalamnya. Dan di sinilah mereka berdiri—di tengah antara belum dan sudah.

Kael duduk bersila di tengah lingkaran sihir yang dilukis dengan energi, bukan kapur. Ia menutup mata. Di sekelilingnya, serpihan harapan dan ketakutan berdentang seperti lonceng malam sebelum perang.

Resonansi penuh—itulah yang dijanjikan. Tapi belum ada yang tahu pasti seperti apa bentuknya. Maka mereka mulai dari hal yang paling kuno: bunyi.

“Orien, siapkan kord-nya,” bisik Kael.

Orien mengangguk. Tangannya menjentik di udara, menghidupkan gema metalik dari dawai yang tidak terlihat. Setiap dentingannya terasa seperti menyusun langit ulang, satu nada demi satu nada.

Sementara itu, Seraphine menaburkan serbuk hitam-emas di sekeliling lingkaran. “Kita butuh memang
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 64 — TULANG-TULANG CAHAYA

    Elowen berdiri di tengah ruang tengah Menara Cahaya yang kini sunyi, tapi bukan sunyi yang damai—melainkan sunyi yang menyimpan gema. Lantai dari batu moonquartz berpendar lembut, seperti nadi yang masih berdenyut walau luka belum sembuh.Ia baru saja kembali dari lingkaran penyatuan. Liora telah menyatu, tapi tak benar-benar hilang. Bayangan itu kini hidup sebagai bagian dirinya—seperti tulang yang tak lagi bisa dipisahkan dari tubuh, meski dahulu dianggap serpihan asing.Langkah Elowen berat. Tapi bukan karena kelelahan fisik. Ia menanggung sejarah yang sebelumnya terkubur. Ia membawa gema dari yang dibungkam, dan itu lebih berat dari sihir mana pun.Di ujung lorong, Taran menunggunya. Kali ini, tanpa senjata, tanpa baju zirah, tanpa tatapan waspada.“Hari ini kau tampak seperti legenda,” gumamnya.“Aku tidak ingin jadi legenda,” jawab Elowen, suara seraknya nyaris tenggelam oleh denting menara yang pelan berdetak. “Aku hanya ingin tidak membohongi diriku lagi.”Taran menatap langit

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 63 — NYALA YANG TAK KEMBALI MENJADI ABU

    Menara Cahaya bergemuruh. Getaran dari pusatnya merambat ke setiap lantai, menjalar seperti nadi yang kehilangan irama. Di luar, langit retak. Bukan retakan fisik, melainkan retakan di lapisan realitas. Cahaya dan bayangan saling menyerbu, melintir, menciptakan warna-warna mustahil—ungu yang bernapas, merah yang menangis, biru yang meratap.Seraphine berdiri di atap sayap timur menara, jubahnya berkibar liar. Napasnya berat, dan matanya memandangi pusaran energi di pusat menara. Di sana, Elowen—teman, pemimpin, dan jiwa yang dipertaruhkan—telah menyatu dan menantang bayangannya sendiri.“Apa dia akan selamat?” tanya Levan pelan, berdiri di samping Seraphine. Suaranya nyaris tenggelam oleh angin yang menderu.“Dia tak sedang memilih antara hidup atau mati,” jawab Seraphine, lirih. “Dia sedang memilih antara mengampuni atau melupakan siapa dirinya.”---Di dalam lingkaran itu, Elowen menggenggam udara. Namun yang terasa adalah ingatan—kilasan tentang masa kecilnya, pertama kali melihat

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 62 — PERJAMUAN TERAKHIR DI MENARA CAHAYA

    Menara Cahaya berdiri seperti tombak abadi yang menusuk langit senja. Batu-batunya berkilauan oleh cahaya yang tersisa dari ritual sebelumnya, dan udara di sekelilingnya penuh dengan bau logam dan petir. Elowen berdiri di balkon tertinggi, angin meniup rambutnya yang terurai, membawa serta bisikan-bisikan dari dunia yang sedang runtuh.Di belakangnya, meja panjang telah disiapkan. Tidak ada makanan mewah, hanya anggur ungu tua, roti kering, dan api kecil di tengah meja yang tak kunjung padam. Ini bukan jamuan kemenangan. Ini adalah makan malam terakhir sebelum kebangkitan atau kehancuran.Satu per satu, para penjaga dan sahabat terdekat duduk: Seraphine, Levan, Yulon sang Penenun Badai, Theros si pengembara senyap, dan Aevra sang penyair perang. Masing-masing membawa luka, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.“Kau sungguh yakin ini jalan satu-satunya?” tanya Yulon, matanya menatap tajam pada Elowen, seolah ingin membaca pikiran terdalamnya.“Bukan satu-satunya,” jawab Elowen pe

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 61 — BAYANG - BAYANG YANG MEMILIH

    Keheningan yang turun setelah Elowen menjatuhkan bayangannya bukanlah ketenangan—itu adalah napas terakhir sebelum badai berikutnya menggulung. Angin dimensi yang sempat reda kembali berputar liar, menelusuri sisa-sisa energi yang terlepas dari tubuh Elowen, seakan mencoba menilai: apakah dia masih utuh… atau sudah menjadi sesuatu yang lain.Bayangan tak bermata itu memang telah runtuh. Tapi bekas kehadirannya—resonansi yang ganjil dan menusuk—masih tinggal, seperti gema buruk yang enggan pergi.Elowen berdiri limbung. Nafasnya satu-satu, dadanya masih berdarah. Tapi sorot matanya berbeda sekarang—lebih dalam. Lebih kelam. Lebih… memilih.Seraphine menghampirinya pelan, tapi penuh siaga. “Kau mengikatnya. Tapi apa kau tahu… apa yang kau bayar sebagai gantinya?”Elowen menatap Seraphine tanpa berkedip. “Separuh jiwaku. Separuh cahaya yang tak akan kembali.” Suaranya datar, tapi tiap katanya terdengar seperti palu yang menghantam langit.Levan mendekat, tongkatnya bergetar di tangan. “A

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 60 — BAYANGAN YANG TAK BERNAMA

    Bayangan itu berdiri di belakang Elowen, diam namun mengancam. Ia tidak bergerak, tapi kehadirannya menekan udara di sekeliling lingkaran—seperti gravitasi baru yang lahir dari kehampaan. Wajahnya menyerupai Elowen, tapi tanpa mata, tanpa mulut, hanya kulit kelabu pucat yang menegang dalam senyum kosong.Levan bergeser mundur, siaga. “Itu bukan gema. Itu—”“Pantulan,” potong Seraphine. “Sisi yang tertinggal di dimensi terpecah. Fragmen dari jiwa yang tertolak.”Bayangan itu membuka tangan—dan dari kedua telapak kosongnya, muncul retakan udara, seperti kaca realitas yang mulai pecah. Dari celah itu, suara-suara mulai merayap keluar: ratapan, bisikan, dan nada-nada berbahasa purba yang menolak dimengerti.Elowen tetap dalam lingkaran. Tubuhnya bergetar karena gema telah menyatu… tapi tidak utuh. Ada lubang di dalamnya, sebuah kehampaan yang kini mengambil wujud fisik."Aku... kehilangan diriku," bisik Elowen, lebih kepada dirinya sendiri.Pantulan itu melangkah maju. Setiap langkahnya m

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 59 — RITUAL CAJAYA YANG RETAK

    Langit di atas Daratan Lorcaya mulai berubah warna—bukan karena pergantian waktu, melainkan karena ruang dan waktu itu sendiri telah mulai retak. Lapisan-lapisan langit seperti terkelupas satu per satu, memperlihatkan kilatan cahaya yang seharusnya tak pernah terlihat oleh mata manusia. Elowen berdiri di tengah lingkaran batu kuno yang telah digoresi simbol-simbol dari bahasa para Pencipta. Cahaya dari tiap simbol menyala lemah, seolah ragu untuk bangkit. Jubahnya berkibar tertiup angin dimensi—angin yang tidak berasal dari dunia ini. Di sekelilingnya, lima penjaga dari faksi Ardent berdiri dalam formasi segitiga ganda, membentuk pelindung yang nyaris rapuh. “Mulai sekarang, tidak ada jalan mundur,” ujar Seraphine dari sisi kanan. Rambutnya yang berwarna perak berkibar seperti bara salju, dan tatapannya dingin tapi setia. Levan berdiri di sisi berlawanan, membawa tongkat kuno berlapis kristal obsidian. “Jika gema Elowen tidak menyatu dengan tubuhnya saat simbol ke-13 menyala, semua

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status