Mata itu menatap.Bukan sekadar memandang mereka, melainkan melucuti lapisan demi lapisan keberadaan mereka.Rynor merasakan cahaya di tubuhnya gemetar, bukan karena kelelahan, melainkan karena ditolak oleh realitas itu sendiri. Cahaya—esensi keberadaannya—ditolak.Kael tidak lebih baik. Energi merah di tangannya berdenyut, lalu pecah menjadi percikan sebelum ia paksa padatkan lagi. “Dia ingin membuat kita percaya bahwa kita tidak pernah ada.” Suaranya serak, seperti keluar dari tenggorokan yang diperas.Rynor mengangkat bilah cahayanya yang sudah retak. “Kalau begitu kita jawab… dengan luka yang membuktikan keberadaan kita.”Kael menyeringai meski darah menetes dari sudut bibirnya. “Ya. Luka adalah bukti paling jujur bahwa sesuatu pernah ada.”---Mereka melompat.Seperti dua garis yang menyalib, cahaya putih keperakan dan merah pekat menyatu, menjadi bilah darah-cahaya sekali lagi. Setiap ayunan memotong ratusan makhluk bayangan yang mencoba menghadang. Suara jeritan tak terdengar m
Tangan raksasa itu turun. Bukan sekadar menghantam—ia meremukkan hampa, melumat ruang, dan mengubah keheningan menjadi badai jeritan. Setiap retakan yang lahir memuntahkan cahaya ungu, seperti isi dunia lain yang bocor ke dalam ketiadaan. Namun sebelum gelap itu menelan mereka, Rynor dan Kael sudah bergerak. Cahaya putih keperakan dan merah pekat berpacu, saling menyilang, membentuk pola yang tak pernah mereka latih namun lahir begitu saja—seperti tubuh mereka mengenali ritme musuh lama yang kini jadi sekutu. Sabit cahaya Rynor melesat menebas sisi tangan bayangan, sementara tombak energi Kael menancap lurus ke pusatnya. Ledakan. Tangan itu pecah, tapi bukan hancur—malah berubah jadi ribuan serpihan kecil yang beterbangan, masing-masing membawa wajah yang menjerit tanpa suara. --- Bayangan-cermin mereka muncul lagi. Sosok setengah putih, setengah merah, kini lebih solid. Ia melangkah ringan di atas retakan hampa, seolah gravitasi tunduk kepadanya. Dengan senyum yang memuakkan
Hampa.Bukan hanya ketiadaan ruang, tapi ketiadaan makna. Tidak ada atas, tidak ada bawah. Tidak ada waktu yang bisa diukur, tidak ada arah untuk ditempuh. Hanya kekosongan absolut—dingin, luas, dan tak berujung.Namun di tengah hampa itu, dua cahaya kecil masih menyala.Rynor.Kael.Keduanya berdiri, meski tubuh mereka sudah tidak sepenuhnya milik mereka lagi. Rynor, dengan sisa cahaya yang retak-retak, wajahnya pucat dan matanya setengah kosong. Kael, dengan tubuh berurat merah yang terus mengelupas, kulitnya seperti cangkang yang sudah tidak sanggup menahan isi di dalamnya.Mereka saling menatap, sama-sama tercengang.Sama-sama sadar: spiral yang runtuh seharusnya menjadi akhir. Tapi di sini, mereka belum mati.Lalu terdengar suara.---Bukan gema. Bukan desiran.Suara itu seperti seribu bisikan dari lubang hitam yang bernafas: “Akhir hanyalah awal. Dan kalian… telah membukanya untukku.”Dari kegelapan, sesuatu bergerak.Tidak berbentuk, tidak bernama, tidak bisa dijelaskan. Bayang
Spiral kini tidak lagi sekadar ruang. Ia telah berubah menjadi luka terbuka—menganga, berdenyut, dan bergetar di antara dua kekuatan yang beradu tanpa kompromi. Batu bercahaya runtuh ke jurang, berputar seperti serpihan bintang yang mati.Rynor terhuyung, darah dan cahaya bercampur menetes dari tubuhnya. Setiap tarikan napas seperti pisau yang mengiris paru-parunya. Namun dalam tatapannya, api tekad belum padam. Ia tahu tubuhnya sedang hancur perlahan, tetapi hatinya menolak tunduk.Kael, di seberang, tidak tampak lebih baik. Pusaran orbit merah yang mengelilinginya telah menyusut—bukan karena melemah, melainkan karena energi yang terlalu padat, terlalu padam, seakan setiap butirnya menelan cahaya lain. Retakan di kulitnya semakin dalam, memperlihatkan kilasan gelap seolah tubuhnya sedang menjadi wadah yang tak layak bagi kekuatan itu.Mereka berdua, dalam diam, tahu: yang mereka hadapi bukan hanya lawan. Mereka menghadapi batas tubuh, batas jiwa, bahkan batas arti menjadi manusia.--
Ruang spiral terus berderit, seolah protes pada pertarungan yang dipaksakan di dalamnya. Setiap langkah, setiap benturan, setiap tarikan napas dari dua manusia yang saling berhadapan itu seperti paku yang ditancapkan ke tubuh dunia.Rynor mengatur napas. Dadanya naik turun cepat, bukan hanya karena fisik yang diperas, tetapi karena pikirannya mulai kabur di antara resonansi spiral. Cahaya yang menyelubungi kulitnya berdenyut tak beraturan, kadang terang membakar, kadang meredup hampir padam.Sementara itu Kael berdiri tegak, seakan tanah retak di bawah kakinya hanyalah permadani yang disediakan khusus untuknya. Orbit-orbit merah yang berputar di sekelilingnya semakin rapat, seperti bintang-bintang kecil yang sedang diseret oleh gravitasi hitam. Setiap butiran memancarkan energi yang mampu melelehkan batu spiral hanya dengan menyentuhnya.Mereka sama-sama tahu: titik balik akan segera datang.Entah siapa yang pertama pecah, atau siapa yang sanggup menembus batasnya.---Benturan beriku
Di dunia yang terbelah, langkah dua orang pria memukul jalannya masing-masing—tak saling melihat, namun diarahkan oleh pusaran yang sama.Rynor berlari di jalur yang retak seperti kaca. Setiap retakan memancarkan cahaya keperakan, dingin dan menusuk mata. Udara di sini tipis, hampir tak bisa dihirup. Nafasnya pendek, tulang rusuknya terasa seperti diremas. Tapi ia tetap bergerak, menembus serpihan ruang yang bergeser seperti panel-panel cermin.Setiap kali ia menembus satu cermin, ia melihat potongan dunia lain—pasar yang terbakar, hutan hujan yang penuh kabut, menara tua yang setengah runtuh. Semua muncul hanya sedetik sebelum pecah menjadi ribuan serpihan lagi.Di sisi lain spiral, Kael melangkah melewati lautan gelap yang dipenuhi pilar-pilar patah. Permukaannya tampak padat, namun setiap langkah meninggalkan riak merah yang mengalir menuju pusat pusaran. Mata Kael menatap jauh ke depan, di mana cahaya samar—cahaya yang bukan milik tempat ini—berkedip-kedip, memanggilnya.Mereka be