Di balik gemerlap kota modern yang tak pernah tidur, seorang gadis kecil bernama Alina menjalani hidup yang tampak biasa. Berusia 10 tahun, ia tinggal bersama neneknya di sebuah apartemen sederhana, menjalani hari-hari seperti anak-anak lainnya hingga sebuah kejadian aneh mengubah segalanya. Sejak kecil, Alina memiliki kemampuan unik, setiap kali ia menyentuh seseorang yang sedang sakit atau terluka, rasa sakit mereka berkurang, dan luka mereka perlahan sembuh. Awalnya, ia mengira itu hanya kebetulan, tetapi ketika serangkaian bencana terjadi di kotanya, orang-orang jatuh sakit tanpa sebab, kebakaran misterius melanda beberapa gedung, dan sosok-sosok bayangan mulai muncul di malam hari. Alina menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Alina yang hanya seorang anak kecil, mampukah melindungi orang yang di sayanginya?
View MoreLangit kota malam itu berwarna kelabu, menyimpan cahaya bulan di balik kabut dan polusi yang menggantung berat. Di sebuah apartemen sederhana di lantai delapan, cahaya hangat dari sebuah lampu baca menerangi kamar kecil berisi rak buku lusuh, boneka usang, dan seorang gadis kecil yang tengah menulis di buku hariannya.
Namanya Alina. Rambutnya yang berwarna pirang kecoklatan dikepang dua, wajahnya cantik, bersih dan polos, tapi ada sesuatu di matanya kedalaman yang tak biasa bagi anak seusianya. Malam itu, ia menulis tentang seorang anak laki-laki di sekolahnya yang kakinya terkilir saat bermain bola. Alina saat itu duduk di sebelahnya, menyentuh lutut anak itu dengan ragu-ragu, dan entah bagaimana, rasa sakit anak itu mereda. Ia tersenyum dan berdiri, seolah tak pernah jatuh. "Alina kau hebat sekali, pijatanmu membuat kakiku tidak sakit lagi," ucap Kenzo teman baik di kelasnya. "Benarkah? aku hanya memijat biasa saja, apa sudah tidak sakit lagi?" tanya Alina heran. "Hmm sudah tidak sakit lagi! lihat aku bahkan bisa lompat!" sahut Kenzo senang, dia melompat-lompat membuktikan kalau kakinya sudah sembuh. "Syukurlah kalau kau sudah baik-baik saja. melihat mu menangis membuatku ingin tertawa saja," ledek Alina menjulurkan lidahnya. "Ish dasar kau ini! teman lagi sakit malah di ledekin!" gerutunya kesal. meninggalkan Alina sendirian. “Apa aku menyembuhkan dia?” tulis Alina di akhir halaman, dengan huruf kecil-kecil dan rapi. Ia menutup bukunya perlahan, menatap langit dari jendela kamar yang penuh tempelan bintang-bintang kertas buatan tangan. “Alina, ayo tidur. Besok kamu harus bangun pagi,” suara Nenek memanggil dari dapur. Hangat dan lembut. “Iya, Nek!” jawab Alina, lalu melompat ke tempat tidur. Tapi malam itu, tidurnya tidak nyenyak. ia mengalami mimpi yang aneh. Alina terbangun karena suara sirine yang meraung dari kejauhan. Dari celah tirai, cahaya merah dan biru berpendar di dinding kamarnya. Alina beranjak, mengintip ke luar. Asap mengepul dari gedung seberang. Api melahap lantai atas, dan orang-orang berlarian di bawah. Tapi yang membuatnya terdiam adalah sosok bayangan yang berdiri diam di atap gedung, tinggi dan kurus, seperti terbuat dari asap dan malam itu sendiri. Sosok itu menatap lurus ke arahnya. Alina mundur, jantungnya berdebar kencang. Ia ingin berteriak memanggil Nenek, tapi tubuhnya seakan membeku. Seketika, udara di kamarnya terasa dingin. Nafasnya membentuk uap putih. Lalu terdengar suara bukan dari luar, tapi di dalam kepalanya. Suara itu berat dan dalam, seperti bisikan angin dari lorong bawah tanah. "Kau akhirnya mulai melihat kami, anak kecil..." Alina jatuh terduduk. Bayangan itu telah lenyap, seolah hanya ilusi malam. Alina sangat ketakutan dia berlari masuk ke kamar neneknya, dan tidur di samping neneknya. "Alina ada apa? kenapa kau bangun, apa kau mimpi buruk lagi?" tanya nenek Alina memeluk cucunya hangat. "Heem, aku takut, aku tidur dengan nenek malam ini ya?" "Ayo, tidurlah di samping nenek, ini masih malam. jangan di ingat lagi itu hanya mimpi," hibur nenek Alina yang bernama Rosa. "Iya Nek." Alina kembali tidur dengan memeluk tubuh neneknya. Pagi itu, Alina bangun dengan kepala berat dan mata yang masih menyimpan bayang-bayang malam sebelumnya. Ia duduk diam di tepi tempat tidur, memandangi jari-jarinya sendiri. Mereka tampak biasa saja, namun kini terasa seperti menyimpan sesuatu yang lebih... besar. "Alina, sayang, ayo sarapan dulu. Nenek buatkan roti panggang dan susu hangat," panggil nenek dari dapur. Ia bangkit perlahan dan berjalan ke meja makan kecil yang bersih dan sederhana. Aroma mentega dan gula kayu manis memenuhi ruangan. Namun Alina nyaris tak mencicipi makanannya. "Nenek..." katanya lirih, "kemarin malam, aku lihat bayangan aneh di atap gedung seberang. Dan... mereka bicara padaku. Di dalam kepalaku." Nenek menghentikan gerakannya. Ia meletakkan spatula perlahan dan menatap cucunya. Wajahnya yang sudah dipenuhi keriput tiba-tiba mengeras. "Seperti apa bayangannya?" tanya Nenek dengan suara pelan, hampir berbisik. "Hitam. Seperti asap. Tapi punya mata... atau aku pikir mereka melihatku," jawab Alina. "Jangan di pikirkan, kau pasti berhalusinasi lagi," ucap nenek Rosa dengan tenang. "Ayo cepatlah makan, nanti kau terlambat sekolah," Nenek Rosa mengalihkan pikiran Alina. "Alina nanti siang nenek akan menjemputmu jadi kau tunggu nenek jangan pulang duluan ya," "Nenek tidak ada pekerjaan?" "Nenek mengambil cuti, nanti sepulang sekolah nenek akan mengajakmu ke tempat permainan di dalam mall." ucap nenek Rosa dengan senyum di bibirnya. "Tapi....," "Jangan khawatir, kemarin nenek mendapatkan bonus tambahan dari tuan Lark, sudah lama nenek tidak pernah mengajakmu bersenang-senang," ucap Nenek Rosa membelai rambut Alina lembut. "Tapi lebih baik uangnya di tabung saja Nek, nanti kalau habis bagaimana? aku tidak mau menyusahkan nenek," Alina berkata dengan raut wajah sendu. Sejak kematian kedua orangtuanya, Alina di asuh Nenek Rosa. "Tidak apa-apa mengajakmu bermain tidak akan menghabiskan uang, nenek bekerja karena ingin membahagiakanmu, jadi belajarlah dengan baik dan tunggu nenek, oke!" sahut Nenek Rosa tegas. Alina menganggukkan kepalanya dengan wajah yang tersenyum senang. "Terima kasih Nek, sudah mau mengurusku, saat aku sudah besar nanti aku akan membahagiakan Nenek," ucapnya riang. "Aku sudah selesai makan Nek, aku pergi dulu! bye Nenek love you!" Alina bergegas memakai tasnya dan mencium kedua pipi Nenek Rosa. dia melambaikan tangannya dan berlari keluar menunggu bis jemputan sekolahnya. Setelah kepergian Alina, Nenek menarik napas dalam-dalam, lalu beranjak dan membuka lemari tua di sudut ruang tamu. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil berukir simbol-simbol aneh. "Apakah Sudah waktunya Alina tahu? tapi dia masih terlalu kecil untuk menanggung tanggung jawab ini ." gumam nenek Rosa pelan. Nenek membuka kotak kayu itu perlahan, dan di dalamnya ada seutas kalung perak dengan liontin berbentuk daun bersinar lembut. Ketika Nenek menyentuh liontin itu, cahaya kecil muncul dari permukaannya, seperti detak jantung. "Sirene, apa ibu harus mengatakannya?" kata Nenek dengan mata yang kini berkaca-kaca, mengingat putri kesayangannya yang menitipkan kalung ini padanya sehari sebelum dia meninggal. Nenek Rosa memejamkan mata sejenak, merasakan kehangatan samar dari liontin di tangannya. Ingatannya melayang pada Sirene putrinya yang penuh cahaya namun membawa beban berat sebagai penjaga garis keturunan istimewa. Sirene telah memilih untuk hidup sebagai manusia biasa, meninggalkan dunia lamanya, tapi warisan itu… tidak pernah bisa dihindari. Kini, anak dari Sirene—Alina—menunjukkan tanda-tanda yang sama. ** Siang itu, Alina duduk di bangku kelas sambil menatap jendela, pikirannya melayang. Ia masih memikirkan bayangan malam tadi, dan Kenzo yang kakinya bisa sembuh hanya dengan sentuhannya. Apakah itu kebetulan? Atau seperti yang ia tulis—apakah ia benar-benar menyembuhkan? “Alina, ayo main ke taman! Kita main ayunan yuk!” ajak Kenzo ceria saat bel pulang berbunyi. Alina menatap jam tangannya, mengingat pesan nenek. “Maaf ya, aku harus tunggu nenek. Dia mau ajak aku jalan,” jawab Alina sambil tersenyum kecil. “Wah, enaknya! Titip salam buat nenekmu ya! Nenekmu baik banget,” kata Kenzo sambil melambai sebelum berlari keluar bersama teman-temannya. Alina duduk di bangku tunggu sekolah, dan seperti janji nenek, tak lama kemudian mobil kecil tua berwarna merah milik Nenek Rosa datang menghampiri. Alina masuk ke dalam mobil dengan wajah berseri. “Siap, Kapten Alina?” tanya nenek Rosa dengan gaya dramatis, berusaha membuat cucunya tersenyum. “Siap, Jenderal Rosa!” sahut Alina tertawa. lalu memberikan ciuman di kedua pipi neneknya. ** Mereka tiba di mal yang cukup ramai. Nenek Rosa mengajak Alina ke tempat permainan favoritnya, lalu membeli es krim dan berjalan-jalan melihat toko buku. Tapi di tengah tawa dan kebersamaan hangat itu, Nenek Rosa merasa tatapan-tatapan asing mengikuti mereka. Di sudut lorong mal yang gelap, seseorang dalam mantel hitam berdiri diam, wajahnya tertutup sebagian oleh tudung. Tatapannya lurus ke arah Alina, tapi tidak ada siapa pun yang memperhatikannya... kecuali seorang anak kecil dengan mata polos yang kebetulan berpapasan. Anak itu menangis tiba-tiba, lalu digendong ibunya pergi dengan tergesa. Saat mereka duduk di bangku taman dalam mal, Alina menggigit es krimnya, lalu berkata pelan, “Nek... di dekat eskalator tadi, ada orang yang menatapku. Bajunya hitam dan... matanya seperti... bukan manusia.” Nenek Rosa menahan napas sejenak, lalu tersenyum tenang. “Kau lelah, sayang. Mungkin itu cuma petugas keamanan. Bajunya memang hitam-hitam.” Tapi di dalam hati, Nenek Rosa tahu: waktu mereka sudah tidak banyak. ** Malam harinya, setelah Alina tertidur pulas dengan boneka kesayangannya, Nenek Rosa duduk di samping tempat tidur cucunya, memegang liontin yang sama. "Ibu... kalau aku tak bisa melindungi Alina seperti kau dulu melindungiku... maafkan aku..." Dari jendela, bayangan kembali muncul. Namun kini tak berdiri di kejauhan, tapi melayang diam di luar kaca, mengintai. Nenek Rosa menatapnya tajam. Tak ada rasa takut di matanya, hanya tekad. "Jangan dekati dia," ucap Rosa dengan suara keras, suaranya menggetarkan udara, dan bayangan itu menyusut perlahan, lenyap bagai asap tertiup angin. Liontin di tangannya menyala sekali lagi, lebih terang dari sebelumnya. Dan di kamar yang tenang itu, Alina menggeliat dalam tidur, lalu bergumam lirih, “Sirene…” ** Di tempat jauh yang tak terlihat mata manusia, sebuah mata kuno yang telah tertidur selama seribu tahun… terbuka perlahan. Pewaris telah terbangun.Putri Elaria memejamkan matanya, berusaha berbicara dengan tanaman yang ada di dekat mereka. "Apa kau melihat orang yang membakar sesuatu di sini?" tanya Elaria bertanya pada tanaman semak belukar yang ada di depan tempat pembakaran. "Iya, dia seorang pria yang memakai baju hitam dan wajahnya memakai topeng." Elaria membuka matanya perlahan. Angin seolah ikut menahan napas, menunggu reaksinya. "Topeng?" gumamnya. "Apakah kau tahu ke mana dia pergi setelah itu?" Tanaman semak itu bergoyang pelan, seolah merenung. "Dia membawa sesuatu yang dibungkus kain. Lalu berjalan ke arah timur… ke arah hutan kabut." Jantung Elaria berdetak lebih cepat. Hutan kabut adalah tempat yang tak banyak orang berani masuki. Terkenal karena kabutnya yang bisa membuat orang kehilangan arah dan ingatan. “Terima kasih,” ucap Elaria tulus. Ia berdiri dan memandang ke arah timur, terlihat berpikir. “Hmm, Ku rasa aku akan kesana besok saja, terlalu berbahaya jika pergi saat malam hari begini," gumam
Beberapa hari kemudian, Setelah menempuh perjalanan yang berbahaya , mereka akhirnya sampai di kerajaan Nethara. Prajurit utusan kerajaan Nethara kemudian melaporkan kedatangan Putri Elaria dan rombongannya, Raja Veron dan para menteri menyambut kedatangan Putri Elaria dan rombongannya. "Selamat datang Tuan Putri Elaria, maaf kami terpaksa merepotkanmu untuk bersedia datang ke kerajaan ku ini," Raja Veron menyapa Putri Elaria ramah. "Terima kasih Yang Mulia Raja Veron atas sambutannya. Aku harap aku bisa membantu kerajaan ini," ucap putri Elaria membungkuk kan tubuhnya sedikit. "Kalian semua pasti lelah, biarkan pelayan memandu kalian ke kamar untuk beristirahat dulu, saat makan siang nanti baru kita mengobrol kembali," Raja Veron memanggil beberapa pelayan untuk mengantarkan tamu-tamunya ke kamar tamu. Putri Elaria menganggukkan kepalanya setuju, karena dia sendiri memang sedikit lelah dan ingin beristirahat dulu sebelum nanti akan menggunakan kekuatannya. Beberapa jam ke
"Kak Leon, ayo makan dulu!" teriak Elaria memanggil Leonhart. Leon akhirnya duduk di samping Putri Elaria, walaupun terlihat canggung. Ia menerima sepotong roti dan secangkir kecil air yang disodorkan gadis kecil itu. "Makanlah kak!" ucap Elaria tersenyum manis. membuat Leon tersipu malu. Putri Elaria terlihat sangat cantik dan menggemaskan menurutnya. "Terima kasih, Tuan Putri," ucap Leon lembut. Putri Elaria mengerucutkan bibirnya sedikit, lalu menggeleng, "Jangan terlalu kaku begitu, panggil aku Elaria saja, Kak Leon, aku merasa jadi tua kalau kau memanggilku Tuan puteri," katanya setengah bercanda. Leon tertawa kecil, tawa yang jarang sekali terdengar. "Baiklah... Elaria," katanya akhirnya, menatap gadis itu dengan tatapan hangat. Mereka makan dalam diam untuk beberapa saat, ditemani suara angin sepoi dan desiran daun-daun. Kai, kuda hitam miliknya yang setia, duduk beristirahat di dekat mereka sambil meminum susu yang di berikan Elaria. Dia memandangi jalanan yang sep
Putri Elaria dan rombongannya akhirnya memulai perjalanannya, dia naik di atas punggung Kai memacu kudanya lebih cepat, agar mereka cepat sampai ke ladang. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam akhirnya Putri Elaria telah sampai di ladang. Dia tidak menyangka penduduk Desa ini, pagi-pagi sudah bekerja membersihkan sisa panen dan mencangkul tanahnya kembali agar bisa di tanami lagi. "ah...Tuan Putri kau sudah datang!" ucap kepala desa, menatap gadis kecil di depannya penuh hormat. Putri Elaria turun dari kudanya, begitu juga dengan Xira dan Leonhart yang setia mengikuti di belakangnya. "Kepala Desa, ada apa ini? kenapa pagi-pagi warga desa ramai sekali ada disini?" tanya putri Elaria heran, mendekati kerumunan para warga yang terlihat sedang mencangkul ladangnya. "Ah...Tuan Puteri melihat hasil panen kemarin, semua warga jadi terlalu bersemangat, hingga kami ingin lahan ini bisa segera di tanami lagi," ucap kepala Desa tersenyum malu. Putri Elaria tersenyum, dia senang me
Mereka semua sampai di istana saat malam hari, untung saja Elaria membawa bola cahaya dan memberikan sedikit kekuatannya agar bola cahaya itu dapat bersinat terang.. Setibanya di istana, gerbang besar Kerajaan terbuka perlahan, menyambut rombongan kecil yang baru saja kembali dari ladang. Cahaya bola sihir yang dibawa Putri Elaria berpendar lembut, menerangi jalan setapak berbatu yang mengarah ke pelataran istana. Para penjaga memberi hormat, sementara para pelayan segera datang menyambut dan mengambil alih kereta barang yang penuh dengan hasil panen. Kai berjalan gagah, meskipun masih sempat melirik ke arah keranjang buah, berharap ada apel tersisa. Tapi Elaria sudah memperingatkan dengan tatapan tajam yang membuat Kai langsung menunduk, pura-pura sibuk menjaga sikap sebagai kuda kerajaan yang bermartabat. Di dalam istana, Raja Simon menunggu di ruang singgasana, ditemani sang istri Ratu Aeris dan beberapa penasihat serta jenderal kepercayaannya. Matanya terlihat lelah, namun k
Sementara itu, jauh di tanah tandus Nethara, Raja Veron berdiri di balkon tinggi istananya. Matanya menatap cakrawala yang mulai berubah warna menjadi kelabu kehijauan, pertanda bahwa makhluk-makhluk yang menyerang kerajaannya itu semakin mendekat ke pusat kerajaan. Angin malam di Nethara berembus pelan, dari celah-celah pegunungan yang jauh. Raja Veron menghela napas panjang, seakan ingin membuang segala beban yang menggumpal di dadanya. Ia tahu waktunya hampir habis rakyatnya tidak akan bisa bertahan karena mahluk yang datang menyerang kerajaan mereka membuat sumber mata air kering, hewan piaraan mati, tanaman yang mereka tanam mati semua, bahkan penyakit aneh tiba-tiba menyerang hampir semua rakyatnya, membuat para tabib kewalahan. Setelah Putri Elaria selesai menerima tamu kerajaan Nethara, dia bersama Xira meneruskan rencana melihat tanah yang akan di tanaminya untuk mengatasi bahan pangan saat kemarau nanti. Putri Elaria dan Xira menaiki kuda mereka masing-masing di ikuti pa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments