"Nara! Kenapa lari-lari?"
Teguran dari arah belakang yang tiba-tiba sangat mengejutkanku. Itu suara Pak Seno. Untung saja jantungku tidak copot. Baru dalam suasana tegang-tegangnya malah ada yang tiba-tiba memanggil.
Aku berbalik dan mendapati laki-laki separuh baya yang berpenampilan klimis itu sedang berjalan mendekat.
Aku harus ngomong apa ya? Masa harus bilang kalau barusan ketemu hantu eh, maksudnya, barusan aku grogi karena dilihatin sama Pak Mahendra?
"Em-enggak apa-apa, kok, Pak," jawabku gugup. Kami berjalan bersisian sekarang.
"Nggak apa-apa tapi muka udah kaya dikejar setan aja," gerutunya.
"Nggak, kok, Pak. Nggak ada setan. Ini kan pagi," timpalku.
Pak Seno malah terbahak mendengar jawabanku. "Mukamu pucet terus lari-lari gitu, emang siapa yang ngejar kamu, sih? Makanya bapak kira dikejar setan."
"Nggak, Pak. Nara cuma takut kesiangan aja. Banyak berkas yang belum diberesin kemarin. Jadi sekarang Nara buru-buru."
"Makanya, berangkatnya jangan siang, harus pagi-pagi."
"Iya, Pak," sahutku sambil berbelok ke kubikel tempat kerjaku.
Pak Seno pun berbelok lalu duduk di depan meja kerjanya yang letaknya tepat di belakang kami, hanya berjarak sekitar dua meter.
"Kenapa, Nara?" tanya Aura, yang kubikelnya tepat disampingku.
"Nggak apa-apa, kok. Tadi nggak sengaja barengan sama Pak Seno aja. Ya udah, jadinya ngobrol gitu".
"Oh, kirain ada apa. Nara, bawa makanan, nggak?" Aura kembali bertanya.
Kuangsurkan bungkusan plastik yang berisi beberapa potong kue basah. Aku membelinya tadi di depan pabrik. Di sana banyak sekali pedagang makanan yang menjajakan dagangannya. Aku sendiri belum memakannya karena belum lapar.
"Heh, Aura tanpa Kasih! Modal, dong! Jangan minta mulu sama Nara!" tegur Ririn yang bersebelahan dengan Aura.
"Ah, dasar! Lu mah sirik aja," cibir Aura. Gadis asal Cikampek itu memang bicaranya ceplas-ceplos.
"Gue nggak sirik. Gue cuma kasian, dong, anak baru dipalakin mulu." Ririn menimpali.
"Gue nggak malakin, ya, kan, Nara? Kita kan cuma berbagi. Biar banyak amal." Aura masih saja ngeles.
Ganti Ririn yang mencibir lalu memonyong-monyongkan bibirnya, menirukan ucapan Aura. Aku tertawa melihat tingkah mereka. Kedua orang itu memang seperti Tom dan Jery, kadang bermusuhan, kadang akur. Aslinya mereka orang baik.
"Hai, Cin! Ada apa ini, pagi-pagi ribut?" tanya Andy yang baru datang, dengan logat seperti perempuan dan gesture kemayunya.
Tangan laki-laki itu melambai-lambai seiring perkataan yang keluar dari bibirnya. Kadang aku ingin tertawa melihat tingkahnya. Namun, aku takut dia akan marah jika ditertawakan.
Pertama kali bertemu dan satu team dengannya, aku sempat mengagumi wajah tampan yang dia punya. Bulu-bulu halus di rahangnya semakin mempertegas ketampanan laki-laki asal Bandung itu. Badannya juga padat berisi dan berkulit putih. Paket lengkap pokoknya.
Begitu mendengar dia bicara, aku terkejut. Apalagi melihat tangannya yang selalu bergerak-gerak kemayu. Persis bencong yang bekerja di salon sebelah toko pakaian tempat kerjaku dulu.
Oalah ... aku tertipu. Ternyata dia adalah ....
Wis, ambyar pokoknya. Nggak jadi deh naksirnya. Aku mau cari laki-laki normal yang macho kaya Pak Mahendra aja deh.
Masih terdengar mereka bertiga berbincang saat kunyalakan komputer dan mulai membuka file-file yang hendak diprint out. Kuperiksa satu per satu untuk memastikan tak ada kesalahan sesudah diprint.
***
"Hei, melamun aja!"
Sebuah tepukan mampir di pundak dan membuyarkan anganku. Aku gelagapan lalu menoleh dan tersenyum. Ada Aura di sana, membawa secangkir kopi. Dia menaruh cangkir itu di mejaku.
"Terima kasih," ucapku tulus.
Gadis berambut cepak itu hanya mengangkat bahu lalu kembali ke kubikelnya. Terlihat dia menyeruput minumannya dan meneruskan pekerjaan yang dia pegang.
Aku menghela napas dan menyeruput kopi buatan Aura yang masih mengepulkan asap dan menguarkan aroma khas. Dia memang sebaik itu, selalu membawakan minuman untukku jika habis dari pantry.
Kuletakkan kopi yang tinggal setengah lalu kembali berkutat dengan layar di depanku. Entah mengapa, tadi malah melamun. Gara-gara Pak Mahendra!
Di layar komputerku ada dia, di buku memo tiba-tiba tergambar wajahnya, foto almarhum Bapak dan Ibu yang kupajang di bingkai kecil di meja juga tiba-tiba berubah jadi fotonya. Bahkan, dari tempat sampah kecil yang ada di kolong meja, tiba-tiba menyembul wajahnya.
Ealah! Dia ngapain, coba, ada di tempat sampah! Kurang kerjaan!
Kugelengkan kepala dan menghilangkan segala pikiran konyol yang menyelimuti pikiran. Konsentrasiku buyar!
Please, deh, Pak! Jangan ganggu hidupku yang adem ayem makmur dan loh jinawi ini!
Sial! Bayangannya tak juga hilang! Aku harus bagaimana? Aaaargh! Kuacak-acak rambut di kepala, saking gemasnya.
Aku merasa kesal sekali. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke kamar mandi. Sepertinya dengan mencuci muka bayangan setan-setan tampan pengganggu akan hilang. Kembali ke alamnya.
Ruangan kerjaku berada di paling ujung, dekat dengan ruang meeting. Sedangkan kamar mandi berada di ujung satunya, tak jauh dari pantry, musala, dan pintu masuk. Melewati ruangan dimana kubikel team development, team produksi, team eksport-import, team keuangan, dan juga team HRD berada.
Sementara ruangan berjendela kaca berderet-deret di seberang lorong kubikel itu. Ruangan Pak Mahendra, Pak Susilo--wakil Presdir--dan juga Pak Danuarso--Big Bos--berada.
Duh Gusti ... aku sampai lupa jika mau ke kamar mandi pun harus melewati ruangan Pak Mahendra! Ya Tuhan, gimana aku bisa lepas dari bayangannya kalau kaya gini caranya?
Akhirnya aku hanya bisa berjalan gontai menuju ke kamar mandi. Dalam hati berjanji untuk tidak melirik apalagi menoleh waktu melewati ruangan Pak Mahendra. Takut khilaf pastinya.
Aku melangkah dengan jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Perasaanku benar-benar bercampur aduk tidak keruan. Antara deg-degan, was-was, bahagia, takut, dan juga ... kebelet pipis!
Jedag jedug jedag jedug jedag jedug, detak jantungku terdengar berirama. Seperti irama zumba, salsa, chacha, atau ... kayanya lebih mirip jaipongan deh.
Selangkah, dua langkah, beberapa langkah lagi, aku akan melewati ruangan Pak Mahendra. Rasanya ingin seperti di film-film itu, langkahku dibuat slow motion atau kalau perlu di-pause dulu untuk beberapa detik. Agar dia melihatku lewat di depan ruangannya.
Yaelah! Ngarep banget!
Kira-kira dia mengenaliku atau nggak, ya? Pagi itu dia kan bangun lebih dulu terus pergi entah ke mana. Apa dia sempat merhatiin wajahku? Gimana kalau pas dia lihatin, aku lagi tidur sambil ngiler atau malah mulut lagi melongo kaya biasanya?
Dih! Malu, atuh! Mau ditaruh di mana mukaku?
Terus nanti dia anggap aku apa? Mungkin dia akan menganggapku sebagai perempuan murahan yang tidurnya melongo dan ngiler, nggak cantik, lagi! Oh no! Kenapa nggak ada nilai plus-nya!
Eh, aku lupa! Kata Bapak wajahku ini manis, lho! Catat, ya! Aku memang nggak cantik, tapi manis. Nah, ada, kan, nilai plus-nya?
Oke, skip!
Sekarang langkahku tepat berada di depan ruangannya. Kepala sudah kutegakkan dan memandang lurus ke depan. Melangkah mantap mirip team pengibar bendera 17 Agustus-an.
Satu dua tiga empat
Lima enam tujuh delapanKiri kanan kiri kanan kiri kanan"Hei, kamu! Berhenti!"
Sebuah suara bernada tegas memaksaku menghentikan langkah.
Duh Gusti ... gimana ini? Mendingan berhenti atau kabur, ya?
Terpaksa kuhentikan langkah. Ingin kabur tetapi takut jika dia terus keluar dan mengejarku. Bisa-bisa aku dipecat dari pekerjaan kalau tertangkap."Bapak manggil saya?" tanyaku sambil memegangi dada yang berdetak lima puluh kali lebih cepat dari biasanya.Aku menengok ke kanan kiri, tak ada siapa pun. Di seberang lorong banyak orang tetapi tak ada yang berdiri atau berjalan. Masing-masing sibuk di kubikelnya."Tolong tutup pintunya!" titahnya tanpa menjawab pertanyaanku.Ealah ... jadi dia manggil aku tuh cuma mau disuruh nutupin pintu doang? Alamak! Aku udah kegeeran tadi. Kirain dia inget sama aku. Huh! Dasar Bos Ganteng!Pelan-pelan kututup pintu kayu bercat cokelat tua tersebut. Sebelum pintu menutup sempurna, kusempatkan melirik ke arahnya. Pak Mahendra duduk dan menulis sesuatu di buku yang ada di mejanya. Wajahnya terlihat semakin tampan dengan ekspresi datar dan serius seperti itu.Duh Gusti ...
Tak terasa sebulan telah berlalu dari kejadian terkutuk itu. Kutatap cemas kalender yang tergantung di dinding kontrakan. Kalender yang bergambar aktor-aktor tampan Korea dan tulisan toko baju tempat kerjaku dulu.Bukan ... aku bukan lagi mencemaskan Lee Min Ho atau aktor bermata sipit yang lainnya. Aku lagi deg-deg ser sambil memelototi angka-angka yang ada di sana.Biasanya tanggal segini tamu bulananku sudah datang. Kenapa sekarang belum, ya? Jangan-jangan ....Oh, tidaaak! Jangan sampai itu terjadi!Membayangkan perutku akan semakin membesar dan semua orang akan menatap sinis membuatku bergidik ngeri. Mau ditaruh di mana mukaku?Apa iya aku harus pakai topeng ke mana-mana? Gimana kalau aku dikira tukang ondel-ondel yang suka mengamen dari pintu ke pintu? Terus nanti anak-anak kecil pada ngikutin dan nyorakin aku?Haish! Benar-benar merepotkan!Pelan-pelan kuusap perut yang
Paginya aku bangun kesiangan. Gara-gara semalam bermimpi tentang Pak Mahendra. Setelah terbangun jadi susah untuk kembali tidur padahal baru jam dua malam. Entah jam berapa aku tertidur lagi, rasanya baru saja terpejam tetapi hari sudah beranjak pagi.Aku berangkat dengan tergesa-gesa. Hanya mampir di tukang dagang depan pabrik untuk membeli sarapan dan langsung kubawa masuk ke kantor. Biarlah nanti makannya di dalam saja.Ketika melewati ruangan Pak Mahendra, aku tak tahan untuk tak menolehkan kepala. Kebetulan tirai di jendelanya terbuka. Jadi aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalam. Apa yang terlihat disana membuat mata ini terbelalak.Krak!Ada yang patah di dalam sini. Hatiku. Organ tubuhku yang satu itu terpotek-potek, hancur berkeping-keping. Rasanya terlalu mustahil untuk disatukan lagi.Di depan mata, Lidya sedang bergelayut manja di bahu Pak Mahendra. Sementara laki-laki tampan itu tersenyum ceria.
Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Semalam aku bisa tidur dengan lelap setelah melihat hasil yang ditampilkan oleh benda pipih yang kubeli di apotek kemarin.Gara-gara benda itu aku memekik kegirangan mirip orang menang lotre. Ah, bukan, lebih mirip kejatuhan bulan sepertinya.Tekadku sudah bulat seperti bola bekel putrinya ibu kontrakan. Mulai hari ini aku akan melupakan Pak Mahendra. Tak ada gunanya lagi berharap padanya setelah melihat kenyataan yang terjadi di depan mata. Dia tak bisa lepas dari Lidya! Mereka sudah mirip kucing garong dan buntutnya, tak bisa dipisahkan.Apalah aku yang hanya seorang Upik Abu bagi dirinya. Kami jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Atau bulan dan matahari. Sangat jauh dan tak mungkin bisa bertemu ataupun disatukan. Mungkin hanya bisa disatukan jika memakai aplikasi. Fotonya maksudku.Kucoba menata hati yang telah porak-poranda diobrak-abrik oleh pesonanya. Sepertinya me
Sontak kubuka mata dan menoleh ke asal suara di belakangku. Mata ini langsung melotot waktu melihat siapa yang ada di sana. Pak Mahendra!Dia duduk di atas meja Pak Seno sambil melipat tangan di dada. Matanya menyorot tajam ke arahku, mirip sinar laser yang mampu menembus ke dalam jantung.Ealah! Kukira dia udah masuk ke kandangnya eh ruangannya, nggak tahunya malah ada di sini. Sejak kapan dia nongkrong di meja itu? Ish ... nggak sopan banget, duduk kok di meja!Kok aku nggak nyadar dia ada di belakang, ya? Berarti, dia lihat, dong, waktu aku ngupil tadi. Duh Gusti ... mau ditaruh di mana mukaku?"Hmm!" Dia berdehem waktu melihatku menatapnya."Maaf, Pak," lirihku, setengah takut dan ragu.Jantungku seakan berhenti berdetak waktu melihatnya bangkit dan berjalan ke arahku.Aduh ... dia mau apa, ya? Apa dia mau menghukumku? Tolong Baim eh Nara, ya Allah!"Kamu tahu in
Mau tak mau kuturuti perintah Pak Mahendra. Tangan ini mendadak pegal karenanya. Dalam hati merutuk kesal karena merasa dipermainkan. Sengaja kupasang wajah cemberut waktu menulis. Biar dia tahu jika aku sedang kesal.Jika dia menganggapku sebagai karyawan bar-bar, masa bodoh. Aku tak peduli. Kalau begini caranya, aku tak takut lagi untuk dipecat. Daripada setiap hari makan hati.Mending kalau hati ayam, memang enak itu. Apalagi kalau dimasak barengan goreng kentang dan ditambah petai. Mantap. Auto bayangin makanan, nih. Mendadak lapar jadinya.Laki-laki usil itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Mengawasiku, mungkin takut kabur sebelum tugas selesai. Atau takut aku minta tolong orang lain untuk menulisnya.Aku terkejut waktu mendengarnya mengunci pintu. Kenapa harus dikunci? Dia mau apa?"Kamu capek? tanyanya waktu melihatku menggeleng-gelengkan kepala dan juga mengibas-ngibaskan tanga
Sambil menahan malu, aku pun turun dari tempat tidur itu. Pak Mahendra bangun dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya merah padam, pertanda amarah melingkupinya. Setengah hatiku merasa bersalah karena telah bermain-main dengan tempat tidurnya. Setengahnya lagi, aku merasa senang, berhasil membangunkan seekor gorila eh, maksudku Pak Mahendra. Awas, jangan dibilangin julukanku untuknya, ya! "Maaf Pak, saya cuma mau bangunin Bapak," ucapku setenang mungkin. "Itu namanya bukan bangunin, tapi bikin syok. Memang nggak bisa pakai cara lain, apa? Dasar!" Dia menggerutu dengan raut kesal. "Tadi sudah saya goyang-goyangin bahu Bapak, saya udah tarik-tarik tangannya juga, tapi nggak bangun. Saya nggak punya cara lain, Pak. Masa saya harus ambil air segayung terus guyurin muka Bapak? Kan nggak sopan, ya? Kayak ibu tiri saya kalau bangunin aja." "Kamu udah kayak anak kecil aja, main lompat-lompat. Gimana kalau ran
Lagi-lagi kukeluarkan jurus andalan. Menghitung kancing baju. Ciyaaat ...hiyat ... hadezig!Isi, jangan, isi, jangan, isi ....Lho? Kok kancingku jadi lima? Padahal tadi enam. Ke mana yang satunya?Astaga! Ternyata kancingku yang paling atas terbuka. Aku tak menyadari entah sejak kapan itu terjadi. Mungkin waktu menarik-narik tangan gorila tadi. Atau pas lompat-lompat di kasur.Dalam hati merasa khawatir Pak Mahendra sempat melihatnya. Tadi dia sempat membuatku terdesak ke di tembok. Lalu dia sempat berbisik jahil waktu jarak kami sangat dekat. Mungkin dia berpikir jika aku sengaja menggodanya, maka dia tak memberitahuku.Duh Gusti ... kenapa ini harus terjadi?Kugelengkan kepala mengusir pikiran yang berkeliaran ke mana-mana. Kembali perhatian kualihkan ke buku di hadapan. Kolom tentang ukuran belum kuisi juga.Akhirnya kuputuskan untuk mengisi kolom itu belakangan saja. Mengisi yang lainny