Share

Grogi

Mobil travel yang kutumpangi terus melaju meninggalkan kota Bandung, tempat dimana mahkotaku terenggut. Meninggalkan pesta perayaan hari jadi perusahaan yang kelima di sebuah kawasan wisata di sana. Rencana bersenang-senang tinggal dalam angan karena kejadian nahas itu.

Aku tak bisa menyalahkan Pak Mahendra. Semua ini terjadi karena keteledoranku. Jika saja aku tak salah melihat nomor kamar mungkin ceritanya akan berbeda.

Aku mendesah lirih. Dalam hati mengutuk orang yang telah membubuhkan sesuatu ke dalam minuman itu. Sebenarnya obat apa yang telah dicampurkan ke dalam minuman itu hingga gairah dalam tubuhku terasa meletup-letup tak tertahankan. Itulah sebabnya aku tak menolak waktu disentuh oleh Pak Mahendra. 

Sial! Kenapa aku mengingatnya lagi? 

Sudut mataku kembali menghangat, air mata pun telah siap meluncur. Cepat-cepat kususut dengan tissue di tangan, karena tak ingin para penumpang berpikiran aneh tentangku. 

Kucoba mengalihkan pandangan keluar jendela, menatap pepohonan yang menghijau sepanjang jalan. Deretan bukit dan jurang yang terjal terlihat indah. Namun indahnya pemandangan yang ada tak lagi bisa menghibur kesedihan di hati. 

Duh Gusti ... kenapa Engkau timpakan cobaan yang begitu berat kepadaku? 

Bagaimana caranya harus menghadapi dunia setelah ini? Aku masih suci dan bersegel saja tak ada laki-laki yang mau mendekat, apa jadinya jika mereka tahu jika segelku telah terbuka? Mereka pasti akan semakin merendahkanku. 

Berada tepat di samping pintu mobil, rasanya aku ingin membuka dan terjun saja ke jurang yang menganga di bawah sana. Agar segala kesedihan sirna tak berbekas. Namun, aku takut jasadku tak ada yang menemukan. 

Terlintas dalam pikiran bagaimana jika jasadku tak ada yang menguburkan lalu jadi makanan burung bangkai atau binatang buas. Lalu arwahku jadi gentayangan. 

Hiiy! Menakutkan! 

Oh, tidaak! Cukup, Kinara! Jangan diteruskan! 

Rupanya sisi malaikatku masih mendominasi pikiran. Aku bersyukur dalam hati karena masih memiliki pikiran yang waras dan teringat akan dosa. Jika tidak mungkin aku akan jadi pemberitaan besar di surat kabar atau media berita online lainnya. 

'Seorang Gadis Terjun ke Jurang' atau 'Gadis Frustrasi Terjun ke Jurang' atau bisa saja 'Gadis Cantik Nekat Terjun ke Jurang'.

Yaelah! Sama aja sih, judulnya. Cuma beda kata 'cantik' aja. Begini, nih, kalau pengen banget diakui cantik. Mentang-mentang orang biasanya manggil Upik Abu. Huh! Nggak kreatif banget! 

Ah, entahlah! Aku jadi pusing mikir judul yang tepat. Ealah! Ngayalnya jauh amat!

***

Tak terasa sudah satu jam lebih perjalanan yang kutempuh. Beberapa menit lagi kendaraan yang kutumpangi akan keluar dari tol Jatiluhur menuju kota Purwakarta. 

Aku menghela napas lega. Untung saja beberapa waktu yang lalu pernah diajak Aura dan Ririn jalan-jalan ke kota Bandung hingga bisa tahu kendaraan apa yang harus kunaiki untuk pulang ke Purwakarta. 

Maklum, bagi gadis yang berasal dari kampung kecil di pinggiran Purwakarta, Bandung adalah sebuah kota besar yang belum tentu orang-orang kampungku bisa mendatanginya. Orang-orang akan dengan bangga bercerita jika pernah menyambanginya.

Masalahnya ini berbeda. Apa yang patut dibanggakan jika ternyata kedatanganku ke kota itu malah menghancurkan hidupku? Jika boleh memilih, rasanya lebih baik tak menginjakkan kaki di kota itu daripada harus kehilangan kesucianku. 

"Neng, mau ke mana? Mobilnya cuma sampai sini." Teguran supir mobil travel itu membuyarkan anganku.

"Eh, sudah sampai, ya, Pak?" sahutku setelah melihat sekeliling. 

"Eeleuh si Neng. Tong ngalamun atuh!" katanya lagi sambil geleng-geleng kepala. 

(Aduh, si Neng. Jangan melamun atuh!)

Wajahku terasa memanas dan mungkin sudah memerah seperti kepiting rebus. Dengan menahan rasa malu aku segera turun dari mobil. Penumpang yang lainnya sudah turun, karena memang mobil sudah sampai di agen travel Sadang, pemberhentian terakhirnya. 

Puluhan panggilan dari Aura dan Ririn tak kuindahkan. Bahkan ponsel pun akhirnya kumatikan. Pikiran ini sedang kacau, ingin menyendiri dan tak ingin diganggu oleh siapa pun. 

Banyaknya chat dari mereka pun terabaikan. Hanya sekali kubalas untuk memberitahu jika aku sakit dan mendadak pulang. Agar mereka tak mencari keberadaanku.

Sampai di kontrakan, kuluapkan segala kesedihan di hati. Seperti orang kesetanan tak henti-hentinya kuguyur badan ini dan berharap noda yang menempel di sana kan sirna. Namun, siapa pun tahu noda itu tak kan hilang seumur hidup. 

Tubuhku pun meluruh di lantai kamar mandi setelah sekian lamanya bagai orang kalap. Entah berapa banyak air mata ini terkuras karena ku tak dapat membedakan lagi mana air mata dan mana air dari bak mandi. 

Dengan sisa kekuatan aku pun bangkit dan membilas tubuh sekali lagi. Usai terluapkan semua beban kesedihan, kesadaranku pun mulai datang. Segera kukenakan baju dan bersuci. 

Kembali air mata pun mengalir saat bersujud memohon ampun pada-Nya. Kulafalkan doa-doa dan berharap Dia kan mengetuk pintu hati si Perenggut Mahkota agar keadilan datang untukku. 

***

Matahari mulai meninggi. Sinarnya menerobos di sela daun-daun pohon mangga depan rumah. Udara masih saja terasa dingin bekas hujan semalam. Kurapatkan jaket lalu menutup pintu kontrakan dan menguncinya. 

Kupercepat langkah karena takut terlambat. Liburan sudah usai dan saatnya kembali berkutat dengan pekerjaan. Sebagai karyawan yang baru bekerja selama enam bulan, aku masih takut untuk bolos kerja.

Padahal badan terasa meriang dan bagian bawah tubuhku masih terasa nyeri. Namun aku tak ingin ditegur atasan karena alpa. Apalagi sampai dipecat dari pekerjaan. 

Oh, no! 

Udah jomlo, pengangguran pula. Apa kata dunia? 

Andai a a a a aku jadi orang kaya

Andai a a a a gak usah pakai kerja

Bisa gak ya? 

Lagu 'Cuma Hayalan' milik Oppie Andaresta mendadak bergaung di telinga, menjadi sountrack langkahku. 

Duh Gusti ... jika boleh memilih, aku ingin terlahir sebagai anak keluarga Bakrie, yang kaya tujuh turunan tujuh tanjakan. Kalau tidak jadi menantunya juga boleh. 

Tunggu, Nia Ramadhani mau dikemanain, ya? Nanti aku digeruduk netizen, yang kebanyakan mak-emak itu. Tahu sendirilah mereka itu, ganaznya melebihi ikan piranha. Netizen negara +62, gitu lho! 

Apa boleh buat. Aku hanyalah Kinara Ailani yang terlahir dari rahim Ai Nurlela dan yang berasal dari benihnya Jaelani--bapakku. Dia hanya seorang petani sekaligus penangkap ikan di sungai dari desa kecil di sekitar Waduk Cirata. 

Orang tuaku hanya mewariskan sepetak kecil sawah dan rumah mungil yang sederhana. Maklum, ibuku dulunya sebatang kara dan Bapak perantau dari Jawa Tengah. Mana mungkin mewariskan harta yang berlimpah? 

Ealah! Mimpimu ketinggian, Kinara! Turun, gih! Ntar ketabrak pesawat! Jatuhnya sakit, lho! 

***

Tadinya aku bekerja sebagai penjaga sebuah toko baju di mall Sadang. Lantas terbersit niat untuk kuliah sambil bekerja. Aku tak mau terus-menerus dihina oleh Ibu tiri hingga bertekad untuk menjadi orang sukses. 

Gaji pelayan toko yang minim kukumpulkan sedikit demi sedikit sebagai uang pangkal. Setelah terkumpul barulah aku mendaftar kuliah dengan mengambil kelas karyawan. Syukurlah keberuntungan ada di pihakku karena diterima di universitas itu.

Enam bulan yang lalu tak sengaja kutemui lowongan pekerjaaan di perusahaan garment terbesar di kota ini. Aku pun mengirimkan CV. Tak menyangka ternyata aku diterima walaupun masih berstatus sebagai mahasiswa. 

Aku ditempatkan di production office, tepatnya di bagian purchasing. Anak buahnya Pak Seno, senior kami. Ada empat orang di team purchasing yang selalu bahu-membahu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Aku, Aura, Ririn, dan juga Andy. Merekalah teman akrabku selama ini. 

Dari mereka, aku belajar menghandle pemesanan aksesoris yang diperlukan untuk proses produksi. Pak Seno juga selalu mengajari banyak hal. Dia memang baik kepada semua anak buahnya. Bahkan aku diberikan dispensasi, selalu pulang tak lebih dari jam enam sore. Dia tahu jika kuliahku masuk setengah jam sesudahnya. 

***

Kuayunkan langkah perlahan menuju kubikel tempat kerjaku. Melewati main office dimana Pak Mahendra menjadi Presdir di sana. Hanya itu jalan menuju ke sana. 

Jantungku berdentam-dentam mirip genderang perang. Ah, bukan, lebih mirip konser rock kayanya. Soalnya dari tadi nggak berhenti. Kalau genderang perang kan ditabuhnya sekali aja, pas mau perang, ye kan? 

Aku melirik sebuah ruangan yang berada tepat di depan kubikel-kubikel main office. Ruangan Pak Mahendra. Dari jauh terlihat cahaya terang dari ruangan itu. Sepertinya dia sudah datang. 

Rajin amat, ya, jadi Presdir! Kalau aku  jadi dia, kayanya datang siang, deh! Kan enak, bergelung selimut di pagi yang dingin kaya gini. 

Langkahku melambat tepat di depan ruangan itu. Merasa penasaran aku menengok ke samping, tepat di jendela kaca yang terbuka tirainya. 

Mati aku! Dia ada di sana, di depan jendela! Tatapan kami bertemu dan aku tak kuat membalasnya. 

Ealah! Kenapa aku jadi grogi, ya? 

Kupercepat langkah dan berusaha menghindarinya. Dalam hati bertanya-tanya mungkinkah dia mengenaliku?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status