Share

Grogi

Author: Cincin_dalin
last update Last Updated: 2021-05-30 13:24:47

Mobil travel yang kutumpangi terus melaju meninggalkan kota Bandung, tempat dimana mahkotaku terenggut. Meninggalkan pesta perayaan hari jadi perusahaan yang kelima di sebuah kawasan wisata di sana. Rencana bersenang-senang tinggal dalam angan karena kejadian nahas itu.

Aku tak bisa menyalahkan Pak Mahendra. Semua ini terjadi karena keteledoranku. Jika saja aku tak salah melihat nomor kamar mungkin ceritanya akan berbeda.

Aku mendesah lirih. Dalam hati mengutuk orang yang telah membubuhkan sesuatu ke dalam minuman itu. Sebenarnya obat apa yang telah dicampurkan ke dalam minuman itu hingga gairah dalam tubuhku terasa meletup-letup tak tertahankan. Itulah sebabnya aku tak menolak waktu disentuh oleh Pak Mahendra. 

Sial! Kenapa aku mengingatnya lagi? 

Sudut mataku kembali menghangat, air mata pun telah siap meluncur. Cepat-cepat kususut dengan tissue di tangan, karena tak ingin para penumpang berpikiran aneh tentangku. 

Kucoba mengalihkan pandangan keluar jendela, menatap pepohonan yang menghijau sepanjang jalan. Deretan bukit dan jurang yang terjal terlihat indah. Namun indahnya pemandangan yang ada tak lagi bisa menghibur kesedihan di hati. 

Duh Gusti ... kenapa Engkau timpakan cobaan yang begitu berat kepadaku? 

Bagaimana caranya harus menghadapi dunia setelah ini? Aku masih suci dan bersegel saja tak ada laki-laki yang mau mendekat, apa jadinya jika mereka tahu jika segelku telah terbuka? Mereka pasti akan semakin merendahkanku. 

Berada tepat di samping pintu mobil, rasanya aku ingin membuka dan terjun saja ke jurang yang menganga di bawah sana. Agar segala kesedihan sirna tak berbekas. Namun, aku takut jasadku tak ada yang menemukan. 

Terlintas dalam pikiran bagaimana jika jasadku tak ada yang menguburkan lalu jadi makanan burung bangkai atau binatang buas. Lalu arwahku jadi gentayangan. 

Hiiy! Menakutkan! 

Oh, tidaak! Cukup, Kinara! Jangan diteruskan! 

Rupanya sisi malaikatku masih mendominasi pikiran. Aku bersyukur dalam hati karena masih memiliki pikiran yang waras dan teringat akan dosa. Jika tidak mungkin aku akan jadi pemberitaan besar di surat kabar atau media berita online lainnya. 

'Seorang Gadis Terjun ke Jurang' atau 'Gadis Frustrasi Terjun ke Jurang' atau bisa saja 'Gadis Cantik Nekat Terjun ke Jurang'.

Yaelah! Sama aja sih, judulnya. Cuma beda kata 'cantik' aja. Begini, nih, kalau pengen banget diakui cantik. Mentang-mentang orang biasanya manggil Upik Abu. Huh! Nggak kreatif banget! 

Ah, entahlah! Aku jadi pusing mikir judul yang tepat. Ealah! Ngayalnya jauh amat!

***

Tak terasa sudah satu jam lebih perjalanan yang kutempuh. Beberapa menit lagi kendaraan yang kutumpangi akan keluar dari tol Jatiluhur menuju kota Purwakarta. 

Aku menghela napas lega. Untung saja beberapa waktu yang lalu pernah diajak Aura dan Ririn jalan-jalan ke kota Bandung hingga bisa tahu kendaraan apa yang harus kunaiki untuk pulang ke Purwakarta. 

Maklum, bagi gadis yang berasal dari kampung kecil di pinggiran Purwakarta, Bandung adalah sebuah kota besar yang belum tentu orang-orang kampungku bisa mendatanginya. Orang-orang akan dengan bangga bercerita jika pernah menyambanginya.

Masalahnya ini berbeda. Apa yang patut dibanggakan jika ternyata kedatanganku ke kota itu malah menghancurkan hidupku? Jika boleh memilih, rasanya lebih baik tak menginjakkan kaki di kota itu daripada harus kehilangan kesucianku. 

"Neng, mau ke mana? Mobilnya cuma sampai sini." Teguran supir mobil travel itu membuyarkan anganku.

"Eh, sudah sampai, ya, Pak?" sahutku setelah melihat sekeliling. 

"Eeleuh si Neng. Tong ngalamun atuh!" katanya lagi sambil geleng-geleng kepala. 

(Aduh, si Neng. Jangan melamun atuh!)

Wajahku terasa memanas dan mungkin sudah memerah seperti kepiting rebus. Dengan menahan rasa malu aku segera turun dari mobil. Penumpang yang lainnya sudah turun, karena memang mobil sudah sampai di agen travel Sadang, pemberhentian terakhirnya. 

Puluhan panggilan dari Aura dan Ririn tak kuindahkan. Bahkan ponsel pun akhirnya kumatikan. Pikiran ini sedang kacau, ingin menyendiri dan tak ingin diganggu oleh siapa pun. 

Banyaknya chat dari mereka pun terabaikan. Hanya sekali kubalas untuk memberitahu jika aku sakit dan mendadak pulang. Agar mereka tak mencari keberadaanku.

Sampai di kontrakan, kuluapkan segala kesedihan di hati. Seperti orang kesetanan tak henti-hentinya kuguyur badan ini dan berharap noda yang menempel di sana kan sirna. Namun, siapa pun tahu noda itu tak kan hilang seumur hidup. 

Tubuhku pun meluruh di lantai kamar mandi setelah sekian lamanya bagai orang kalap. Entah berapa banyak air mata ini terkuras karena ku tak dapat membedakan lagi mana air mata dan mana air dari bak mandi. 

Dengan sisa kekuatan aku pun bangkit dan membilas tubuh sekali lagi. Usai terluapkan semua beban kesedihan, kesadaranku pun mulai datang. Segera kukenakan baju dan bersuci. 

Kembali air mata pun mengalir saat bersujud memohon ampun pada-Nya. Kulafalkan doa-doa dan berharap Dia kan mengetuk pintu hati si Perenggut Mahkota agar keadilan datang untukku. 

***

Matahari mulai meninggi. Sinarnya menerobos di sela daun-daun pohon mangga depan rumah. Udara masih saja terasa dingin bekas hujan semalam. Kurapatkan jaket lalu menutup pintu kontrakan dan menguncinya. 

Kupercepat langkah karena takut terlambat. Liburan sudah usai dan saatnya kembali berkutat dengan pekerjaan. Sebagai karyawan yang baru bekerja selama enam bulan, aku masih takut untuk bolos kerja.

Padahal badan terasa meriang dan bagian bawah tubuhku masih terasa nyeri. Namun aku tak ingin ditegur atasan karena alpa. Apalagi sampai dipecat dari pekerjaan. 

Oh, no! 

Udah jomlo, pengangguran pula. Apa kata dunia? 

Andai a a a a aku jadi orang kaya

Andai a a a a gak usah pakai kerja

Bisa gak ya? 

Lagu 'Cuma Hayalan' milik Oppie Andaresta mendadak bergaung di telinga, menjadi sountrack langkahku. 

Duh Gusti ... jika boleh memilih, aku ingin terlahir sebagai anak keluarga Bakrie, yang kaya tujuh turunan tujuh tanjakan. Kalau tidak jadi menantunya juga boleh. 

Tunggu, Nia Ramadhani mau dikemanain, ya? Nanti aku digeruduk netizen, yang kebanyakan mak-emak itu. Tahu sendirilah mereka itu, ganaznya melebihi ikan piranha. Netizen negara +62, gitu lho! 

Apa boleh buat. Aku hanyalah Kinara Ailani yang terlahir dari rahim Ai Nurlela dan yang berasal dari benihnya Jaelani--bapakku. Dia hanya seorang petani sekaligus penangkap ikan di sungai dari desa kecil di sekitar Waduk Cirata. 

Orang tuaku hanya mewariskan sepetak kecil sawah dan rumah mungil yang sederhana. Maklum, ibuku dulunya sebatang kara dan Bapak perantau dari Jawa Tengah. Mana mungkin mewariskan harta yang berlimpah? 

Ealah! Mimpimu ketinggian, Kinara! Turun, gih! Ntar ketabrak pesawat! Jatuhnya sakit, lho! 

***

Tadinya aku bekerja sebagai penjaga sebuah toko baju di mall Sadang. Lantas terbersit niat untuk kuliah sambil bekerja. Aku tak mau terus-menerus dihina oleh Ibu tiri hingga bertekad untuk menjadi orang sukses. 

Gaji pelayan toko yang minim kukumpulkan sedikit demi sedikit sebagai uang pangkal. Setelah terkumpul barulah aku mendaftar kuliah dengan mengambil kelas karyawan. Syukurlah keberuntungan ada di pihakku karena diterima di universitas itu.

Enam bulan yang lalu tak sengaja kutemui lowongan pekerjaaan di perusahaan garment terbesar di kota ini. Aku pun mengirimkan CV. Tak menyangka ternyata aku diterima walaupun masih berstatus sebagai mahasiswa. 

Aku ditempatkan di production office, tepatnya di bagian purchasing. Anak buahnya Pak Seno, senior kami. Ada empat orang di team purchasing yang selalu bahu-membahu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Aku, Aura, Ririn, dan juga Andy. Merekalah teman akrabku selama ini. 

Dari mereka, aku belajar menghandle pemesanan aksesoris yang diperlukan untuk proses produksi. Pak Seno juga selalu mengajari banyak hal. Dia memang baik kepada semua anak buahnya. Bahkan aku diberikan dispensasi, selalu pulang tak lebih dari jam enam sore. Dia tahu jika kuliahku masuk setengah jam sesudahnya. 

***

Kuayunkan langkah perlahan menuju kubikel tempat kerjaku. Melewati main office dimana Pak Mahendra menjadi Presdir di sana. Hanya itu jalan menuju ke sana. 

Jantungku berdentam-dentam mirip genderang perang. Ah, bukan, lebih mirip konser rock kayanya. Soalnya dari tadi nggak berhenti. Kalau genderang perang kan ditabuhnya sekali aja, pas mau perang, ye kan? 

Aku melirik sebuah ruangan yang berada tepat di depan kubikel-kubikel main office. Ruangan Pak Mahendra. Dari jauh terlihat cahaya terang dari ruangan itu. Sepertinya dia sudah datang. 

Rajin amat, ya, jadi Presdir! Kalau aku  jadi dia, kayanya datang siang, deh! Kan enak, bergelung selimut di pagi yang dingin kaya gini. 

Langkahku melambat tepat di depan ruangan itu. Merasa penasaran aku menengok ke samping, tepat di jendela kaca yang terbuka tirainya. 

Mati aku! Dia ada di sana, di depan jendela! Tatapan kami bertemu dan aku tak kuat membalasnya. 

Ealah! Kenapa aku jadi grogi, ya? 

Kupercepat langkah dan berusaha menghindarinya. Dalam hati bertanya-tanya mungkinkah dia mengenaliku?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mimpi Cinderella   Pagiku yang Ambyar

    Aku keluar dari kamar mandi dengan membawa testpack yang diberikan oleh dokter. Dokter dan Mas Mahendra menunggu di sofa, kelihatannya sudah akur lagi. Rasanya ingin tertawa waktu melihat mereka berdebat tadi. Sudah seperti Tom dan Jerry saja tingkahnya. Eh, tunggu, kalau mereka Tom dan Jerry, lalu aku siapa? Aih, mendadak amnesia lagi. Apa iya, aku jadi guk-guknya? Oke, skip!"Gimana, Dok? Apa benar istriku hamil?" Pasien barbar itu rupanya penasaran sekali."Selamat, ya. Kamu akan jadi seorang ayah," ucap dokter itu.Reaksi Mas Mahendra benar-benar tak terduga. Dia melonjak-lonjak kegirangan mirip anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. Girang bukan main.Aku hanya bisa melongo melihatnya. Baru kali ini aku melihat sisi gila seorang Mahendra Danuarta, yang jika di kantor biasa terlihat dingin, tegas, dan sedikit sinis, tetapi ternyata berbanding terbalik dengan yang saat ini kulihat.

  • Mimpi Cinderella   Pasien Barbar

    Kami tiba di rumah menjelang petang. Begitu tiba, kami langsung membersihkan diri dan setelah Magrib datang langsung makan malam. Mbok Nah sudah menyiapkan beberapa jenis masakan sebelum pulang. Sebagian masih dalam keadaan hangat, jadi tak perlu dipanaskan lagi.Usai makan malam, kuselonjorkan kaki di sofa depan televisi. Rasanya pegal sekali karena dalam keadaan terikat terus selama disandera oleh si Sapu Lidi.Aih, sepertinya aku harus diberi penghargaan karena kreativitas tanpa batasku dalam menciptakan julukan untuk seseorang.Kurasa julukan itu pas sekali dengan badannya yang tinggi dan langsing seperti lidi. Fix! Sepertinya julukan itu harus dipatenkan!"Mana yang sakit, Sayang?" tanya Mas Mahendra yang baru saja datang dari dapur.Laki-laki berlesung pipi itu baru saja mencuci piring bekas makan kami. Sulit dipercaya, seorang Mahendra Danuarta, Presdir perusahaan garment besar di Purwakarta, mau m

  • Mimpi Cinderella   Bebas

    Untuk sejenak aku terpaku saat mengetahui keberadaan kamar dimana aku disekap. Memikirkan bagaimana bisa kabur dari tempat ini tanpa ketahuan. Lubang ventilasi ini terlalu kecil untuk bisa kulalui.Apa iya, aku mesti kabur lewat jendela?Aku bukan Spiderman yang bisa merayap seperti cicak di dinding. Kalau nekat terjun ke bawah, mungkin nanti nyawaku melayang. Yang ada diriku nanti tinggal nama saja dengan embel-embel di depan 'almarhumah'. Hiiy ... ngeri!Walaupun tak mau terus-menerus terperangkap di sini, tetapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa lagi. Di dalam tasku ada ponsel tetapi entah di mana perempuan sialan itu menyembunyikannya.Ya sudahlah. Mungkin memang nasibku harus jadi tawanan seperti ini. Aku hanya bisa berdoa semoga saja Mas Mahendra segera memenuhi keinginan perempuan ulat bulu itu agar aku dibebaskan.Dengan segala kepasrahan, aku keluar dari dalam kamar mandi. Rini, si pelayan tadi masih s

  • Mimpi Cinderella   Diculik

    "Kukira kamu nggak akan bangun lagi."Sebuah suara yang terdengar tak asing di telinga memaksaku untuk menoleh. Perempuan sialan itu duduk di sofa dengan kedua tangan dilipat di dadanya.Dia berjalan mendekat dengan tatapan sinisnya. Terlihat sekali jika dia tak menyukaiku."Kamu senang, ya, sudah memiliki Mas Mahendra?" sindirnya."Tentu saja aku senang. Dia suami yang baik," sahutku, mencoba memancing emosinya."Aku punya penawaran menarik buatmu," katanya sambil mengempaskan tubuh di ranjang, tak jauh dari tempatku."Apa maumu? Aku tak pernah mengganggumu. Kenapa kamu lakukan ini padaku?""Tak pernah mengganggu, katamu?" Tiba-tiba saja nada bicaranya meninggi. "Kamu sudah merebut Mahendraku. Apa itu namanya bukan menggangguku?"Lidya, perempuan itu pun duduk di tepi ranjang dan menatapku seakan ingin menelanku mentah-mentah."Aku nggak merebutny

  • Mimpi Cinderella   Masalah Baru

    Beberapa menit berlalu, dia pun membuka pintu kamar. Dari luar, kamar terlihat remang-remang. Aku membayangkan apa yang akan kami lakukan dalam suasana seperti itu. Pasti dia akan ...."Mau masuk sekarang apa nanti?"Aku mencebik dan membalikkan badan. Kembali menuruni tangga. Kekecewaan jelas terbayang di wajahnya. Namun, aku tak peduli.Bergegas aku masuk ke dalam musala kecil setelah sebelumnya bersuci. Sudah pukul tujuh lewat. Pasti sudah Isya. Kalau tak cepat-cepat ke sini, aku takut kewajiban ini akan terlewat karena melayani laki-laki itu.Tadi subuh saja aku terlewat gara-gara terlalu lelah akibat serangan berkali-kali darinya. Sepertinya malam ini akan jadi malam penuh gairah lagi seperti kemarin malam.Saat ku keluar dari musala, Mas Mahendra terlihat tengah duduk manis di sofa ruang keluarga. Lampu utama sudah dimatikan, tinggal lampu temaram yang menyala. Sudah mirip bioskop saja. Pendar-pendar caha

  • Mimpi Cinderella   sisi Romantisnya

    Dengan alasan mencoba kado dari Andy, akhirnya aku hanya bisa pasrah saat tubuhku dikuasainya. Padahal kami baru saja menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Namun, Mas Mahendra seperti tak punya rasa lelah. Dia terus saja bergerak di atas tubuhku. Aku kehilangan kendali, bergerak ke sana ke mari saat laki-laki perkasa itu membawaku meraih puncak kenikmatan. Gerakanku semakin liar seperti ular yang meliuk-liuk dan mendesis. Lalu di satu titik kami berpelukan erat dan mengerang bersamaan. Tubuh berpeluh itu pun terkulai di sampingku. Senyum puas tergambar jelas di wajahnya. Dia menyeka keringat di dahiku dengan jemarinya dan mendaratkan kecupan di sana. "Terima kasih, Sayang," bisiknya di telingaku. Aku hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Tubuhku terasa lemas sekali. Sejak semalam dia telah membuatku kelelahan. Ditambah kegiatan pagi yang panas tadi. Lalu sore ini dia kembali beraksi, membuat badanku terasa remuk.&nbs

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status