Aaargh! Kenapa bayangan mereka nggak mau pergi? Benar-benar menyiksa!
Aku merutuk sambil mengacak-acak rambut. Tiba-tiba saja kepala terasa gatal. Aku tersentak ketika merasa seperti ada yang bergerak di antara helaian rambut.
Jangan-jangan ... di sana ada kutunya. Aduh ... seperti ada yang menggigit!
Segera kugerakkan jari di tempat yang terasa gatal. Tak sengaja telunjukku mengenai sesuatu. Rasa curiga mendorongku untuk menjumputnya.
Ealah ... ternyata beneran kutu!
Duh Gusti ... kenapa binatang penghisap darah itu bisa ada di rambutku?
Segera kupites mahluk kecil itu sambil bayangin lagi mites miniaturnya Pak Mahendra. Ssst! Jangan dibilangin, ya!
Sial! Kepala
Aku merasa kesal sekali dengan Pak Mahendra. Sepertinya dia tak berhenti mengusik ketenangan hidupku. Jika tidak marah-marah dan menghukum, dia berbuat jahil kepadaku.Sebenarnya dia itu manusia atau bukan, sih? Kenapa kelakuannya mirip sekali dengan set ... ah, terusin aja sendiri, ya? Yang jelas, menggoda iman manusia. Tahu, kan, apa namanya?Dia membuatku terpaksa beristigfar berkali-kali karena kelakuannya. Jika imanku tak kuat mungkin sudah keluar sumpah jerapah eh salah, maksudku, sumpah serapah buatnya.Kadang terbersit tanya dalam hati apakah yang dilakukannya itu hanya karena mencari perhatian dariku. Rasanya impossible, sih, tapi, kok ya kalau dipikir-pikir sampai jungkir balik rasanya masuk akal juga.Aku hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang. Atau pada bulan dan bintang. Namun sepertinya jawaban mereka sudah tak updated lagi. Baiklah lebih baik aku bertanya pada Simbah Gugel bagaimana caranya agar bisa
Motor yang kami tumpangi terasa melambat. Rasa penasaran membuatku membuka mata karena ingin tahu berada di mana. Samar-samar terlihat berbagai jenis gerobak dan stand makanan berjajar.Ah, coba aku nggak lagi kaya gini, pasti senang banget bisa makan di situ. Perut sama mataku nggak singkron amat, sih!"Jadi mau beli makan, nggak?" tanya Andra ketika motor sudah berhenti. "Aku ngantuk dan pusing banget, Ndra. Aku mau mau pulang aja deh. Nggak jadi beli makannya," sahutku setengah sadar.Motor pun kembali melaju. Kembali kututup mata yang terasa lengket untuk dibuka karena percaya Andra akan membawaku pulang ke kontrakan.Tak lama kurasa motor kembali berhenti. Kupaksakan untuk membuka mata dan menyadari jika tempat yang ada di depan mata bukanlah kontrakanku."Kita di mana ini, Ndra?" tanyaku."Ini di rumah sakit, Nara. Katanya kan kamu pusing, jadi kuantar periksa dulu ke dokter," sahutnya
Aku melengos. Malas melihat wajah tampan tetapi menyebalkan itu. Wajah yang dulu amat kukagumi, tetapi sekarang ingin kulupakan.Sebenarnya apa yang diinginkannya sehingga selalu muncul untuk mengusikku. Mungkin dia merasa belum cukup menggangguku selama ini."Kinara Ailani!" panggilnya lagi.Dia tak ada bosannya memanggil namaku. Ah, bahkan mungkin supirnya juga sudah bosan disuruh membuntutiku setiap hari. Kalau protes diizinkan, mungkin dia juga akan melakukannya."Kenapa masih ada disitu? Cepat pulang!"Enak saja menyuruhku pulang. Sudah seperti bapakku saja. Aku bergeming dan pura-pura tak mendengar perkataannya. Masa bodoh dia mau bilang apa anggap saja angin lalu. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Eh, lewat belakang juga kayanya."Cepat pulang! Jangan keluyuran di jalan!" serunya lagi.Sambil menahan geram kupalingkan wajah dan memasang wajah sinis padanya. "Siapa sih, Bapak ini? In
Kulangkahkan kaki meninggalkan kontrakan Andra. Semuanya terasa hampa kini. Seumur hidup aku baru merasakan dekat dengan seorang laki-laki. Sayangnya kedekatan kami harus berakhir sampai di sini.Kuhentikan angkot lalu menaikinya. Sepi. Penumpangnya hanya aku sendiri. Mungkin karena hari sudah gelap dan karyawan pabrik sudah bubar makanya jarang ada orang di jalanan.Kembali ku teringat akan Andra. Kepulangannya ke kampung menyisakan tanda tanya dalam hatiku. Apa mungkin Andra babak belur ini ada hubungannya dengan Pak Mahendra.Aku masih ragu untuk memvonis Pak Mahendra sebagai pelaku pemukulan itu. Tak ada saksi dan juga bukti. Di kafe si Bos Sinting itu memang hampir saja memukul Andra jika aku tak datang. Terlambat sedikit saja mungkin mereka sudah terlibat perkelahian yang serius.Otakku buntu. Mencoba mengingat-ingat tetapi tak ada ingatan tentang kejadian setelah itu. Aku masih ingat jika Andra sempat berhenti di tem
Melihatku hanya terdiam Pak Mahendra menyunggingkan senyum. Aih, manisnya. Membuat hatiku luluh seketika. Hati yang tadi panas karena emosi seperti disiram air es.Nyes ... mendadak jadi dingin.Sepertinya orang satu ini harus selalu tersenyum agar hatiku selalu adem. Tak butuh kulkas dan juga pendingin udara. Irit listrik jadinya.Sekarang hatiku malah jadi dag dig dug tidak keruan. Demi apa dia malah tak segera menutup mulutnya. Hingga pipinya yang melesung terlihat indah, menambah ketampanannya.Aih, jadi gemes. Jadi pengen gigit meja, ngunyah bangku, dan juga ngemil rak buku. Menyalurkan kegemesanku yang tak ada ujung. Mau gigit dia takut ditolak soalnya."Saya mau minta maaf soal Andra," ucapnya, membuyarkan imajinasiku."Jadi benar, Bapak yang udah bikin Andra babak-belur?""Kamu sudah tahu?" tanyanya sambil kembali tersenyum.Ini orang kesambet apa, ya, kok tumben dari ta
Sudah dua hari dari kejadian itu, Pak Mahendra tak pernah menggangguku lagi. Dia terlihat sibuk dan sering keluar pabrik. Makanya tak sempat menggangguku lagi.Pak Mahendra dan Pak Danuarta--Bos Besar--kabarnya sedang melobi buyer dan juga team audit dari brand ternama internasional, agar mau memberikan proyek pada pabrikku.Satu minggu lagi, team audit dari buyer akan datang. Pak Seno menyuruh team purchasing untuk membereskan semua file dan juga arsip orderan, baik fabric, benang, zipper, kancing, rivet, label, maupun aksesoris lainnya.Semua harus jelas invoicenya dan juga perusahaan yang biasa menjadi supplier-nya. Tak lupa bukti-bukti transfer dengan supplier tersebut harus dicantumkan.Aku, Aura, Ririn, dan juga Andy benar-benar harus bekerja ekstra keras dari biasanya. Harus mengumpulkan dokumen-dokumen selama satu tahun terakhir lalu menyusunnya dalam sebuah report.Tentu saja aku kewalahan karena masa kerjak
Wajahku semakin menghangat, mungkin terlihat memerah. Malu rasanya selalu ketahuan telah berpikir yang tidak-tidak. Pak Mahendra terkikik geli melihat tingkahku. Ingin rasanya menghilang atau bersembunyi di dasar bumi saking malunya."Ini buatmu," kata laki-laki tampan itu sambil menyerahkan paper bag di tangannya."Apa ini, Pak? Bapak nggak ngasih bom, kan?" tuduhku.Aku merasa heran karena dia memberi sesuatu padaku. Biasanya kan dia hanya menjahiliku saja. Wajarlah jika aku jadi curigation."Buka saja," titahnya sambil kembali menghidupkan mobil.Dengan gemetar aku membuka paper bag itu. Takut sesuatu keluar dari sana karena laki-laki tampan itu mengerjaiku. Apa yang ada di sana mulut ini menganga. Cepat-cepat kukeluarkan karena penasaran.Sebuah dress cantik berwarna cream dan berbahan lembut membuatku speechless. Bagus sekali. Pasti harganya mahal. Aku membayangkan, jika memakai baju itu
Pak Mahendra mengacak-acak rambutku dengan ekspresi gemas lalu berjalan menuju mobilnya. Dari belakang kemudi dia melemparkan kiss bye padaku. Tak lama mobil itu pun berlalu.Aku masih berdiri mematung di dekat pagar. Merasa aneh dan juga bingung dengan kejadian yang baru saja kualami.Apa ini bukan hanya sekedar mimpi?Kucubit pipi berkali-kali, ternyata rasanya sakit. Berarti aku tidak mimpi. Ini semua nyata. Jadi memang benar jika Pak Mahendra menyukaiku. Entah sejak kapan. Mungkin saja sejak kejadian terkutuk di Bandung waktu itu.Aku bergegas masuk ke dalam kontrakan lalu membersihkan diri. Melaksanakan kewajiban empat rakaatku lalu bersiap untuk tidur. Namun paper bag yang tadi kuletakkan di dekat jendela terlihat begitu menarik perhatian.Kukeluarkan lagi dress di sana lalu mencoba memakainya sambil mematut diri di depan cermin. Dress dengan model bahu terbuka itu ukurannya begitu pas di tubuhku. P