Share

Part 06: Ahmad Bingung Istilah Tanam Saham

Jangan Larang Aku Menikah!

Part 06: Ahmad Bingung Tanam Saham

"Astagfirulloh! Segitunya kah ibu kepada aku dan bapak!" ucap Winda terkejut sehingga vas bunga yang ada di sudut ruang tamu luruh ke lantai karena tersenggolnya.

"Astagfirullah! Kenapa vas bunga bisa tersenggol dan pakai jatuh segala lagi," ucap Winda sambil menepuk jidat.

Bu Nadya melangkah menuju asal suara itu. Winda beranjak pergi agar tidak ketahuan menguping pembicaraan kedua orangtuanya.

"Mau lari ke mana kamu, Winda?" ucap Bu Nadya menghalangi langkahnya.

Langkah kakinya terhenti. Dia berdiri gemetar dan matanya sengaja dipejamkan untuk menghilangkan rasa takut dalam dirinya.

"Mampuslah, Aku. Bisa kena marah sepuluh ayat ini karena ketahuan menguping," ucapnya lirih.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" seru Bu Nadya dengan mata menyalang dan wajah memerah.

"Ti-tidak ada, Bu. Tadi aku mau ke luar mencari angin ...." jawabanya tidak tertata rapi dan terbata-bata.

Winda mencoba berbohong, seumur hidup baru kali ini dia berbohong kepada ibunya.

"Pergi masuk ke dalam kamar! Tidak ada cari angin segala."

Winda langsung mengikuti perintah ibunya. Baru beberapa langkah, tiba-tiba ibu memanggilnya.

"Wi-Winda," panggil Bu Nadya dengan nada terbata.

Bu Nadya memegang dadanya yang sesak. Penyakitnya kambuh lagi di waktu yang tidak tepat.

Winda mencoba melihat ke belakang, ternyata asma ibunya kambuh lagi.

"Ibu ...."

Winda berlari menghampiri Bu Nadya. Sebenci apapun dirinya kepada ibunya, dia sangat menyayanginya.

"Ada apa Winda?" tanya Pak Zainuddin dari teras rumah. Ia berlari menghampiri Winda juga istrinya.

"Asma-nya ibu kumat, Pak," ucap Winda dengan raut wajah panik.

Pak Zainuddin mengendong istrinya ke dalam kamar. Sesampainya di dalam, Winda memberikan obat asma kepada ibunya. Tidak berapa lama, Bu Nadya sembuh.

****

Pagi telah menyapa, Winda duduk di teras rumah sambil menikmati betapa indahnya kabut awan menyelimuti ranting pohon.

"Assalamualaikum," ucap seseorang di depan rumah.

Suara itu membuyarkan lamunannya. Winda mencoba bangkit dan mengarahkan netraya ke asal suara itu.

"Waalaikumsalam. Bang Ahmad," ucapnya dengan grogi.

Bu Nadya pasti marah kalau Ahmad datang berkunjung ke rumah. Apalagi dia dari keluarga menengah ke bawah kalau dilihat dari latar belakang ekonomi.

Padahal Ahmad seorang pemuda berwibawa, bertanggungjawab, paham ilmu agama. Masalahnya pekerjaan dia hanya seorang pedagang bakso keliling dari kampung sebelah ke kampung lain.

Karena latar belakang yang tidak sesuai dengan kriteria Bu Nadya, cintanya dengan Winda selalu tidak mendapat restu. Bahkan sumpah serapah keluar dari mulut ibu calon mertuanya.

"Apa kabar, Win?" sapa Ahmad sambil berjalan menghampirinya.

Dia berjalan terus tanpa henti, sesampainya di dekat Winda. Ahmad menarik bangku dan melandingkan bobotnya di atas kursi.

"Kabarku baik, Bang. Abang bagaimana kabarnya?" tanya Winda sambil menangkupkan kedua tangan di dada. Beliau tidak mau bersentuhan dengan wanita yang tidak mahram.

Ahmad menghembuskan napas, lalu berkata, "Maksud kedatangan abang ke mari mau ...."

Ahmad menjeda ucapannya. Tiba-tiba, matanya tertuju pada Bu Nadya yang berdiri di depan pintu.

"Sudah berulang kali ibu katakan jangan pernah mendekati Winda. Apalagi berharap untuk menyuntingnya. Kalau kamu sanggup memberi mahar lima ratus juta dan memberi uang bulanan kepada ibu sepuluh juta, langsung kurestui hubungan kalian sekarang juga."

Baru saja Ahmad melandingkan bobotnya di atas kursi. Sudah mendapat ucapan yang tidak sedap di dengar telinga dari Bu Nadya. Dia menelan saliva dan mengusap kasar wajahnya.

"Bukankah mahar seorang calon istri tidak boleh dipersulit, Bu? Lantas kenapa ibu selalu mempersulit calon suamiku," ucap Winda mencoba membela Ahmad.

Wajah Bu Nadya memerah akibat mendengar pembelaan Winda kepada Ahmad.

"Oh, sekarang kamu sudah berani membela, dia! hah! Sekarang kamu masuk ke dalam rumah, cepat!"

Bu Nadya merah padam tidak seperti biasanya. Napasnya berpacu dengan darahnya yang mengalir.

"Berhenti saja kamu di situ, Winda!" 

Tiba-tiba, Pak Zainuddin datang dari dalam rumah. Dia menghampiri kami di teras rumah sembari memegang amplop.

"Bapak! Jangan ikut campur urusan perempuan."

Bu Nadya kembali marah mendengar pembelaan suaminya kepada Winda.

"Ahmad, jika kamu memang serius mau menghalalkan putri bapak. Maka pergilah bawa dia dari kampung ini! Masalah restu seorang ibu, jangan khawatir. Silahkan pergi sekarang juga."

Suasana hening seketika, Ahmad tidak percaya perkataan Pak Zainuddin baru saja didengar. Wajahnya kaku dan tidak tahu mau berkata apa.

"Ambillah amplop ini. Dengan bekal uang yang tidak seberapa ini. Semoga bisa memulai hidup baru di rantau orang."

Bu Nadya bergeming, matanya membelalak mau keluar dari tempatnya. Sementara Winda terharu mendengar ucapan bapaknya, sehingga air matanya luruh dengan cepat.

"Bapak! Berani sekali kamu memberi izin kepada pria yang tak punya apa-apa. Mau makan apa nanti, Winda, Pak?"

Tiba-tiba asma Bu Nadya kambuh. Matanya tertutup dan sakit yang ia rasakan tidak seperti biasanya.

"Wi-Winda," ucap Bu Nadya terbata-bata. Tangan sebelah kiri memegang dadanya dan tangan kanan meraih tubuh Winda. Sakit yang dirasakan kali ini sungguh tak tertahankan, sehingga Bu Nadya jatuh tersungkur ke lantai.

"Pergilah Ahmad! Bawa Winda sekarang juga. Jangan hiraukan restu juga keadaan ibu. Cukup restu dari aku saja sudah bakalan sah dan bisa kalian menjadi suami istri."

Winda dan Ahmad mematung, tidak tahu mau berbuat apa. Satu sisi kondisi seperti ini kesempatan emas bagi mereka. Disisi lain, Winda tidak tega meninggalkan ibunya dalan kondisi seperti ini.

"Tapi, Pak ...."

Winda tidak sanggup melanjutkan pembicaraannya. Tenggorokannya rasanya tercekat pada saat ini.

"Tapi, apa lagi, Winda," balas Pak Zainuddin.

Suasana di teras rumah semakin panas. Pak Zainuddin sibuk menangani istrinya yang jatuh sakit. Winda dan Ahmad bingung antara pergi atau tidak.

"Jangan banyak pertimbangan. Jika kalian saling mencintai, maka ikuti saja apa kataku. Jalan ini lebih baik daripada kamu tanam saham duluan."

Wajah Ahmad berubah seketika setelah mendengar perkataan Pak Zainuddin.

"Maksud Bapak tanam saham bagaimana?"

Dia tidak mengerti sama sekali. Winda, tolong jelaskan apa yang dikatakan, bapak!" paksa Ahmad.

Winda pergi melangkah meninggalkan Ahmad. Ia tidak menghiraukan perkataan Ahmad sama sekali.

Sesampainya di kamar, Winda mencari obat asma milik ibunya. Tidak butuh waktu lama, ia datang membawa botol obat itu dan langsung memberikannya kepada Pak Zainuddin.

"Ini obatnya, Pak."

"Terima kasih banyak, Winda. Sekarang silahkan kalian pergi. Jangan membuang-buang waktu yang ada."

Pak Zainuddin meletakkan botol obat itu ke hidung istrinya.

"Sebelum ibumu sadar, cepat kalian pergi! Bapak tidak ada maksud mengusir kalian berdua dari sini."

Mereka berdua masih bingung. Pilihan yang sangat berat untuk ditentukan. Keadaan mereka berdua laksana memakan buah simalakama.

"Bang. Ayo Buktikan kalau Abang benar-benar serius dan ingin menjadi kan aku sebagai ibu dari anakmu!"

"Bu-bukannya aku tidak mau, tapi ...."

Bersambung ....

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status