"Kamu memang Genius tidak berguna, Shin Tian!" Begitulah hinaan yang selalu diterimanya dari ayahnya karena tidak mampu berkultivasi. Hinaan ayahnya ini memicu dirinya menciptakan portal waktu yang digunakannya untuk ke masa lalu dan masa depan untuk memperbaiki kerusakan dantian dan merediannya yang menyebabkan dirinya tak mapu berkultivasi. Tanpa disadari oleh Shin Tian, perjalanan waktunya membawa masalah yang besar bagi semesta tempatnya tinggal. Bahaya apakah itu? Apakah Shin Tian berhasil mewujudkan keinginannya menjadi Immortal yang Genius sekaligus Terhebat?
View MoreKabut tipis masih menggantung di atas tanah saat matahari pagi mulai merangkak naik dari balik perbukitan yang melingkari Kota Xian Jin—sebuah kota kecil yang berdiri tenang namun tegar di bawah kekuasaan Kerajaan Song Selatan. Angin pagi berembus pelan membawa aroma tanah basah dan dedaunan pinus, menyusup ke celah-celah bangunan kayu dan batu bata yang sudah menghitam dimakan waktu.
Namun, ketenangan pagi itu hanyalah fatamorgana yang menutupi kenyataan kalau kota ini hidup berdampingan dengan bayang-bayang maut yang mengintai dari arah barat. Di sana, terbentang Lembah Iblis—sebuah wilayah kelam yang menjadi sarang makhluk-makhluk buas dan iblis berkepala dua. Para penduduk kota sudah lama tidak lagi berteriak ketakutan mendengar auman dari lembah tersebut. Mereka memilih beradaptasi, karena rasa takut yang abadi hanya akan membuat mereka lemah.
Lembah Iblis sudah menjadi semacam legenda yang merakyat di masyarakat, terutama penduduk Kota Xian Jin. Mereka tidak takut karena merasa ada pelindung kota yang akan mengusir makhluk-makhluk buas dari Lembah Iblis apabila nekat masuk ke dalam kota.
Di tengah keramaian pasar di pagi hari dan derit roda pedati yang berlalu-lalang, berdiri megah sebuah kediaman bergaya klasik dengan atap melengkung dan tiang penyangga berhias naga ukiran. Itulah kediaman Keluarga Besar Shin, salah satu dari tiga pilar utama Kota Xian Jin. Dua lainnya adalah Keluarga Shou yang dikenal akan kekuatan militernya, dan Keluarga Qian yang terkenal licik namun kaya akan strategi serta koneksi politik.
Tiga pilar utama kota inilah yang diyakini oleh penduduk kota akan melindungi mereka dari makhluk-makhluk buas Lembah Iblis.
Tepat saat lonceng bambu di sudut halaman berbunyi pelan tertiup angin, terdengarlah sebuah teriakan menggema dari dalam halaman utama Keluarga Shin.
Suara yang cukup keras dan sedikit mengandung aura spiritual.
“BERHENTI, DASAR BOCAH TAK TAHU DIUNTUNG!”
Seorang pria tua dengan jenggot keperakan, wajah keriput namun sorot matanya tajam seperti elang, berlari tertatih mengejar seorang pemuda berambut kusut. Anak itu kira-kira berusia enam belas tahun, tubuhnya kurus tapi lincah, dan wajahnya menyiratkan kombinasi antara keberanian dan kenekatan.
“Ayo, Kakek! Sudah tua masih juga doyan marah-marah! Bukannya sarapan malah ngejar-ngejar cucu sendiri!” seru pemuda itu sambil tertawa, memanjat salah satu tiang halaman dan melompat ke atap rumah dengan kelincahan seekor monyet.
Para murid yang tengah berlatih di lapangan terbuka sontak menoleh, tapi tak satu pun tampak terkejut dengan kejadian yang mereka alami.
“Sudah seperti rutinitas pagi saja, ya,” gumam salah satu murid, mengayunkan pedangnya ke udara.
“Kalau bukan Tuan Muda Tian yang dikejar Master Shin, rasanya pagi ini terasa aneh,” sahut yang lain sambil mengelap keringatnya.
“Kurasa mereka tidak akan pernah bosan,” celetuk seorang pemuda, menggeleng pelan. “Tapi jujur saja, aku masih tidak mengerti kenapa dia yang jadi pewaris keluarga ini. Bukankah dia tidak bisa berkultivasi?”
“Hush! Jaga mulutmu!” bisik temannya dengan nada cemas. “Kau bisa dihukum hanya karena bicara sembarangan. Dia tetap darah murni keluarga Shin.”
“Darah murni yang tidak bisa bertarung? Bagaimana dia akan melindungi keluarga saat iblis dari lembah itu datang menyerbu? Apa kita harus menggantungkan nyawa kita pada seorang—”
“Cukup!” potong suara lantang dari arah barisan depan. Seorang gadis muda dengan rambut dikuncir tinggi dan tatapan mata tajam berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. Usianya tak jauh berbeda dengan Shin Tian, tapi wibawanya membuat murid-murid lainnya diam seribu bahasa.
“Nona Shiang… aku tidak bermaksud menghina Tuan Muda,” ucap pemuda yang tadi bicara, kini menunduk dalam-dalam. Wajahnya pucat, tangan gemetar, siap menanti hukuman yang akan dijatuhkan kepada dirinya.
“Aku harap begitu,” balas Shiang dingin. “Kalau tidak, aku sendiri yang akan mengusirmu dari perguruan ini.”
Wajah Shin Siang sangat cantik sehingga banyak murid perguruan yang tertarik kepadanya tapi sikap gadis ini sangat dingin. Hanya kepada Shin Tian saja, ia bisa tersenyum.
Dari atas atap, suara tawa Shin Tian masih terdengar, bergema bersama semilir angin pagi. Ia tampak duduk santai, menggigit sepotong apel yang entah dari mana didapatnya.
"Ahh… udara pagi di Xian Jin memang tidak pernah mengecewakan," ujarnya santai, menatap langit biru yang mulai cerah. "Sayang, orang-orang di bawah terlalu sibuk dengan aturan dan darah murni sampai lupa cara menikmati hidup."
Langit Quilin malam itu tampak sangat kelam. Awan kelabu menggantung rendah di atas menara-menara kuno, dan rembulan, yang seharusnya bersinar penuh, tampak pecah seperti cermin retak di langit. Suasana kota begitu sunyi, seakan waktu sendiri enggan bergerak.Shin Tian berdiri di atap Biara Senja Laut, mengenakan jubah baru berwarna kelam dengan lambang Dewa Alkemis tersulam samar di dada. Jubah itu terasa berat, tidak hanya oleh kainnya, tapi oleh beban perjalanan yang akan ia tempuh.Kael Chronis muncul dari balik bayangan, membawa gulungan kulit tua yang memancarkan hawa dingin yang bukan berasal dari dunia ini. Ia membentangkannya di atas lantai batu, memperlihatkan peta rahasia yang menunjukkan jalur tersembunyi menuju Reruntuhan Menara Jam, tempat Gerbang Retakan tersembunyi.“Ini hanya bisa terbuka saat jarum waktu melewati titik mati,” ujar Kael. “Dan malam ini… hanya tersisa satu putaran detik sebelum celah itu muncul kembali.”Shin Lin berdiri di sisi mereka, matanya tajam m
Angin laut berdesir pelan, menyusup di antara tiang-tiang batu Biara Senja Laut. Tapi di aula utama, keheningan terasa seperti pusaran—menarik semua suara, semua keraguan, dan semua pilihan ke tengah ruang.Kael Chronis berdiri tenang. Sorot matanya menusuk Shin Tian seperti cahaya yang mampu mengurai waktu itu sendiri.“Aku tahu ini membingungkan. Tapi aku tidak datang membawa teka-teki, Shin Tian. Aku datang membawa pilihan.”Shin Tian melangkah pelan ke depan, jubahnya menggesek lantai batu. Pandangannya tidak lepas dari Kael. “Apa maksudmu dengan ‘Retakan Waktu’? Apa itu tempat … atau sesuatu yang terjadi?”Kael menatapnya dalam-dalam. “Retakan Waktu adalah luka di arus waktu … sebuah celah tempat takdir masa depan dan masa lalu saling tarik menarik. Kau berasal dari masa depan yang—percayalah—telah pecah berantakan. Tapi retakan itu tidak hanya menarikmu kemari. Ia mulai mempengaruhi banyak garis waktu lain.”Tabib Tao berjalan perlahan ke sisi mereka, menggenggam tongkat kayu hi
Shin Tian masih terduduk di lantai dingin ruangan itu, tubuhnya sedikit gemetar. Jantungnya berdegup keras, seperti genderang perang yang belum berhenti ditabuh. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menusuk kulit seperti tetesan es. Tangannya yang sempat bergetar perlahan terangkat, menyeka pelipisnya dengan punggung tangan—gerakan kecil, tapi penuh tekad untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris lenyap.Nafasnya belum stabil. Tapi ia memaksa dirinya berdiri.Lantai batu di bawahnya terasa kasar, dan debu dupa serta lingkaran garam masih memancarkan aroma hangus dan pahit yang menggantung di udara, seolah mencoba menahan siapa pun yang hendak melangkah keluar dari ruangan setengah lingkaran itu.***Langkah mereka bertiga menggema di lorong batu yang sunyi, hanya ditemani oleh bunyi lembut kain jubah yang bergesekan dan napas mereka yang mulai berat. Dinding-dinding tua Biara terasa dingin, seolah menyerap ketegangan yang mulai menggumpal di udara. Saat mereka tiba di aula depan B
Seketika udara di dalam Biara terasa berubah. Tenang yang sebelumnya mendominasi berubah menjadi tegang dan penuh antisipasi. Angin tipis masuk dari lorong, membawa serta aroma asing—seperti asap logam dan debu kuno.Tabib Tao menurunkan botol ramuan dengan hati-hati. Cairan di dalamnya tiba-tiba berhenti mendidih, seolah ikut membeku oleh ketegangan situasi.“Kau yakin?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan, namun terasa berat.Shin Lin tak menjawab. Ia melangkah maju, pelan tapi pasti, pedangnya terangkat setengah. Wajahnya tetap tenang, tapi rahangnya mengeras. Di matanya, ada kilau bahaya. Ia tahu ... siapa pun yang bisa membuka gerbang Biara bukanlah orang biasa.Dan kunci dari masa yang sama—itu bukan sekadar benda. Itu adalah pengetahuan. Warisan. Sebuah bagian dari rahasia besar yang telah lama terkubur.Sebuah langkah terdengar dari kegelapan lorong. Satu. Dua. Pelan. Penuh keyakinan.Shin Lin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, jari-jari menggenggam gagang pedang lebi
Kabut laut turun lebih tebal dari biasanya malam itu.Seperti selimut hantu yang menjulur dari langit ke laut, kabut itu menggulung perlahan, membungkus Biara Senja Laut dengan keheningan yang menggigit hingga ke tulang. Bau asin laut tercampur samar dengan aroma garam basah dan sesuatu yang lebih tua—bau waktu yang meluruh, seperti lembaran naskah tua yang terbakar perlahan.Biasanya, lentera biru yang tergantung di sepanjang dinding batu Biara akan berkelip riang, seolah menari mengikuti angin malam. Namun malam ini, cahaya mereka bergetar, surut dan redup seperti napas terakhir lilin yang kehabisan udara.Di kejauhan, suara kayuhan kayu pelan tapi mantap menyentuh permukaan air. Cekkk... cekkk... Suara itu datang dari arah laut terbuka, terdengar jelas di antara dengung ombak yang murung. Gelombang kecil menggulung perlahan, membawa bayangan hitam pekat—sebuah perahu kecil, ramping, dan tak bercahaya.Seolah ia tidak menantang malam, tetapi adalah bagian darinya.Seseorang berdiri
Langit Kota Quilin dipenuhi awan berat ketika Shin Tian, Shin Lin, dan Tabib Tao meninggalkan rumah yang telah hancur malam sebelumnya. Tidak ada waktu untuk pemulihan penuh. Jejak mereka sudah terendus. Sekte Ular Berkepala Dua takkan menyerah setelah gagal dua kali.“Biara Senja Laut,” ucap Tabib Tao sambil memberikan peta dari gulungan kulit rusa. “Tersembunyi di balik tebing kabut di selatan. Hanya bisa dicapai melalui jalur rahasia. Mereka bukan sekte, tapi mereka menampung para pelarian berbakat—selama kau tidak membawa masalah ke dalam dinding mereka.”Shin Lin menerima peta itu dengan sorot mata serius. “Kalau mereka bisa menyembunyikan aura Shin Tian, kita harus ke sana.”Mereka bergerak cepat. Tanpa kereta, tanpa tanda. Hanya langkah kaki di jalur belakang pasar Quilin, melalui gang-gang tua yang bau besi, jelaga, dan masa lalu.Sepanjang perjalanan, Shin Tian lebih banyak diam. Tatapannya kosong ke depan, kadang memandangi telapak tangannya sendiri seolah ingin mengingat se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments