Share

Part 05: Tertangkap Basah

Jangan Larang Aku Menikah!

Part 05: Tertangkap Basah

"Apa kamu bilang?"

"Maaf, Pak. Aku sudah tidak tahan menahan cemoohan dan hinaan orang di luar sana. Apalagi aku pergi ke warung belanja bahan sayuran."

Flash back satu hari yang lalu.

"Winda! Sepertinya kamu sangat nyaman hidup sendiri tanpa ada pendamping sama sekali," tegur Bu Wati sedang memilih sayur untuk diolah pagi ini.

Winda baru saja sampai di warung, sudah dapat cemoohan. Mendengar hinaan yang dia terima membuat hatinya tersaruk pilu.

"Mana ada yang berani melamarnya, ibunya selalu meminta mahar lima ratus juta," balas Bu Sarah sembari mengukir senyum mengejek.

Tetangga sekitar rumah selalu menghina dan tidak ada sama sekali memikirkan perasaan Winda.

"Seandainya pun ada uangku lima ratus juta dan aku punya anak laki-laki. Aku nggak bakalan mau mempunyai menantu dan besan seperti Bu Nadya," sahut Bu Nisma.

Bu Sarah dan Bu Wati terus memilih sayuran sambil menggibah. Tidak sempurna hidup mereka berdua kalau tidak menceritakan aib orang.

"Sudahlah, jadi perawan tua saja seumur hidup, Win!" ledek Bu Sarah sambil menepuk punggungnya.

"Cocok juga itu," ucap Bu Nisma menimpali.

Winda mengelus dada yang sudah mendidih akibat hinaan yang diterima. Akhirnya dia pergi berlari dan tidak jadi belanja sayuran.

"Ocehan dan hinaan yang aku dapatkan, belum seberapa, Pak" jelas Winda kepada bapaknya.

"Bukan kamu saja yang dapat cemohoan, Winda! Bapak juga sudah kebal kuping ini mendengar nyinyiran kawan kerja Bapak." 

"Lantas aku harus bagaimana, Pak?"

Pak Zainuddin bergeming, suasana teras hening seketika hanya nyanyian jangkrik yang terdengar merdu.

Semilir angin sepoi-sepoi kembali menusuk sampai ke tulang. Rasa sedih kini datang melanda membuat kedua bola mata Winda mengembun. Dia mencoba tegar dan kuat melawan genangan air mata. Namun, dia tidak kuasa, akhirnya menetes bak anak sungai.

"Aku ada ide!"

"Ide apaan, Pak?" jawabnya terisak pilu.

Dia mencoba menyembunyikan hatinya yang terluka. Namun, Pak Zainuddin mengetahui kondisi putrinya.

"Bagaimana kalau kamu nikah saja sama pacarmu itu. Kalian pergi dari rumah ini, bila perlu pergi jauh mengadu nasib ke rantau orang tanpa sepengetahuan, ibumu?"

Bagaimana bisa Winda pergi melangkah tanpa ada izin dan doa restu. Walau bagaimanapun, restu dari seorang ibunya selalu diharapkan untuk kebahagian hidupnya di masa depan. Dia mencoba mengusap air matanya dengan ujung jilbab yang dipakai.

"Aku tidak mau melukai hati ibu, Pak! Takut namaku dihapus dari kartu keluarga."

Pak Zainuddin tersenyum tipis mendengar ucapan anak gadisnya yang terdengar polos.

"Kamu ada-ada saja."

"Bapak kenapa tertawa? Ada yang lucu?" tanyanya penuh heran. Hati Winda mencoba bahagia melihat senyum bapaknya, walaupun kenyataannya masih nelangsa.

Pak Zainuddin bergeming, takut menyayat hati putrinya lebih dalam.

"Kalau kamu sudah menikah, jelas dihapuslah dari kartu keluarga. Kamu itu sudah mempunyai kartu keluarga sendiri bersama suamimu."

Winda tersipu malu dan mengukir senyum tanpa sadar. Untung saja hanya ada dia dan bapaknya di teras rumah. Sehingga dia tidak terlalu malu.

"Tunggu apa lagi! Bila perlu hubungi sekarang juga Ahmad, agar dia menjemputmu ke mari."

"Serius, Pak!" tanya Winda tak percaya. Matanya membelalak seolah tidak percaya mendengar perkataan bapaknya.

"Iya," jawab Pak Zainuddin sembari menyodorkan telepon seluler miliknya kepada Winda.

Winda beranjak dari tempat duduk. Tiba-tiba dia terkejut mendengar suara ibunya.

"Jangan coba-coba menikah tanpa restu dan sepengetahuanku. Kalian pikir ibu tidak dengar apa percakapan kalian berdua dari tadi!"

Bu Nadya ternyata menguping dan berdiri di samping mereka dari tadi. Itu sebabnya dia mendengar semua percakapan Winda dan Pak Zainuddin.

"Ibu laksana jelangkung, datang tidak diundang, pulang tidak diantar," ucap Winda lirih sambil mengelus dada.

Winda melangkah masuk ke dalam rumah, tapi dihalangi ibunya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Ibu dengan wajah memerah dan melipat kedua tangan diletak sejajar dengan dada.

Winda kembali duduk, dia takut dimarahi ibunya.

"Astaga, kenapa ibu nyerocos seperti kompor gas yang mau meledak," ucapnya dalam hati.

"Berani kamu melangkah satu langkah dari rumah ini, ibu akan menghajarmu tanpa ampun dan belas kasihan. coba saja jika tidak percaya!"

Winda laksana anak ayam yang ketakutan di terkam mangsa. Seketika hatinya nelangsa mendengar penuturan Bu Nadya. Baru saja dia hendak mau mereguk manisnya cinta, kini sudah menelan pahitnya juada.

"Winda, kamu masuk ke kamar! Jangan hiraukan ocehan ibumu!" suruh Pak Zainuddin memberi kode kepadanya.

Winda melangkah gontai, mengikuti perintah Bapaknya. Kini dia berjalan masuk ke dalam kamar.

"Betapa malangnya nasibku," ucapnya lirih.

Air matanya luruh tanpa izin, bukannya Winda tidak mau berbakti kepada ibunya. Namun, mau sampai kapan dia seperti ini. Setiap kali orang datang ingin menyunting, Winda. Malah ibunya selalu minta mahar di atas seratus juta. Permintaan yang sangat tidak masuk akal.

"Idemu sungguh cemerlang, Pak. Namun, tidak akan berhasil selagi masih ada aku."

Kedua bola mata Bu Nadya seperti mau keluar dari sarangnya, begitu emosinya melihat Pak Zainuddin memberikan izin bahkan mengajari Winda pergi kawin lari.

"Jangan mempersulit laki-laki yang mau melamar Winda. Itu tidak boleh dan jatuhnya zolim, Bu," ucap Pak Zainuddin.

Dia mencoba menasihati istrinya, walaupun ujung-ujungnya tidak diterima.

"Aku nggak peduli, yang penting aku bisa kaya raya dari hasil mahar, Winda."

Bu Nadya masih menginginkan mahar anaknya menjulang tinggi. Tidak memikirkan nyinyiran netizen terhadap putrinya.

"Kalau mau kaya raya kerja dong, Bu! Jangan menjual Winda secara tidak langsung."

Pak Zainuddin mulai tersulut emosi. Sejak dari dulu istrinya keras kepala. Setiap berdebat selalu saja ada jawaban yang diberikan.

"Istri bukan tulang punggung dalam keluarga. Seharusnya bapak lah yang berusaha kerja keras banting tulang agar aku tidak hidup miskin dan tidak meminta mahar kepada pria yang mau melamar Winda."

Pak Zainuddin terdiam dan malu atas ucapan istrinya. 

"Perlu Bapak ingat! Jangan pernah merestui Winda menikah tanpa ada restu dari aku. Kalau Bapak memberi izin, siap-siap anu bapak kupotong," ancam Bu Nadya kepada suaminya.

"Astagfirulloh! Segitunya kah ibu kepada aku dan bapak!" ucap Winda terkejut sehingga vas bunga yang ada di sudut ruang tamu luruh ke lantai karena tersenggolnya.

Bersambung ....

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status