[Oke, Neng. Nanti malam Bang Cen ke sana.] Begitulah pesan yang dikirim Bang Cen pagi ini.
Semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak. Beberapa kali selalu terbangun, entah karena mimpi buruk, atau suara aneh, yang jika kedua mataku terbuka, justru tidak ada apa pun. Sepanjang malam tanganku selalu menggenggam ujung baju Rangga. Perasaan takut setidaknya menghilang sedikit saat aku tau kalau aku tidak sendirian.
Rangga sudah pergi pagi-pagi sekali karena harus pergi kerja hari ini. Sementara aku, hanya duduk di dekat jendela sambil menikmati kopi hitam yang baru saja kubuat.
[Udah sampai?] Entah kenapa aku ingin sekali mengirim pesan ini ke Rangga. Aku ingin tau apa saja yang ia lakukan saat tidak bersamaku.
[Sampai kantor dengan selamat. Huft, untung nggak telat gue. Mana tadi Papa nyuruh nganterin Om ke stasiun pula.] Lima menit kemudian dia segera membalas pesanku. Senyum segera
Ada beberapa orang di dunia ini yang ditakdirkan hanya akan menjadi hujan untukmu.Membuat rindumu menggigil, tapi hanya bisa kau pandangi dari jauh, tak bisa kau sentuh, karena takut sakit....Sorot mata sosok yang selama ini mengusik hidupku, kini sudah berada tepat di depan. Bahkan aku baru benar-benar bisa melihatnya dari jarak sedekat ini setelah sekian lama dibayangi olehnya. Wajahnya memang tidak terlihat jelas, sebagian masih tertutup hoddie yang tersambung dengan jubah hitam yang terus ia pakai. Tapi dari tempatku berdiri seringainya terlihat jelas. Dia mirip seorang pembunuh berantai yang menemukan mangsanya di film yang biasa aku tonton. Aku terus mundur sampai berhenti karena terjebak di depan pintu kamar. Tatapannya sangat mengintimidasi. Membuat keberanian ku perlahan menciut.
"Astaga! Itu Raja! Gimana dong ini, Ngga!" pekikku panik. Rangga diam, menekan dahinya dan tengak tengok."Kita harus cari bantuan. Tunggu di sini sebentar, ya. Nggak apa-apa, kan?" tanyanya memegang kedua bahuku sambil menatapku dalam. Aku hanya mengangguk karena tidak tau lagi harus berbuat apa. Sementara Bang Cen tidak terlihat dari tempatku berdiri. Rangga pergi keluar dari halaman apartemen. Aku lantas tengak tengok ke sekitar. Rumah Pak Seno terlihat gelap. Bahkan kondisi semua kamar di tempat ini. Padahal lampu jalan nyala, yang berarti tidak mungkin ada pemutusan arus listrik di daerah ini.Aku mulai merasa tidak nyaman, saat hawa sekitar berubah panas. Bulu kudukku meremang, dari segala penjuru kaca yang melapisi lantai satu apartemen, terlihat sosok-sosok yang mulai bermunculan. Ada begitu banyak makhluk di tempat ini. Beberapa aku mengenalnya, beberapa lainnya adalah wajah yang asing. Tapi sekelebat bayangan masa lalu muncul. Saat aku pergi ke pe
Tempo hari aku bertemu Pram, kami akhirnya bertukar kabar dan berbincang sambil menikmati secangkir kopi. Setelah keluar dari apartemen Pak Seno, aku memutuskan tinggal di rumah Indi untuk sementara waktu. Terkadang aku juga pindah ke rumah Nita, bahkan Mey juga, sampai aku menemukan tempat tinggal baru.Pram memberitahukan, kalau sekarang dia sudah pindah ke sebuah apartemen yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada teror hantu atau pembunuh berantai seperti yang sudah-sudah. Bahkan dia menawarkan aku untuk menyewa salah satu tempat di sana. Aku pun mengiyakan dan akan melihat tempat itu, sebelum memutuskan menyewa atau tidak. Yah, aku harus lebih selektif lagi dalam memilih tempat tinggal. Aku tidak mau lagi kejadian kemarin terulang, atau kejadian yang lebih mengerikan lagi nantinya.Rangga menyanggupi akan mengantarku ke tempat itu sepulang kerja. Aku yang seharian berada di cafe, guna menyelesaikan tulisanku, lantas segera bergegas k
"Elu udah denger kabar Ramon, Ros?" tanya Nita. Kami berempat sedang menikmati martabak manis yang dibeli mereka sebelum datang ke sini, ditemani secangkir teh hijau yang baru kubeli tadi. "Ramon? Kenapa?" tanyaku tidak bersemangat. Sejak tadi aku hanya memungut cacahan kacang tanah yang menjadi toping makanan di depan kami. "Dia gila! Masuk RSJ. Nah, anehnya, kata orang-orang, dia selalu histeris gitu sambil manggil nama Lili terus. Seolah-olah Lili itu selalu ada di dekat dia!" jelas Indi dengan antusias. "Ya iyalah. Kan emang Lili nempel mulu ke dia. Rasain!" ungkapku kesal. "Kok bisa gitu, Ros?" tanya Nita mencomot martabak keenam kalinya. "Mana gue tau." "Mungkin karena masih dendam gitu kali, ya? Kan elu cerita gimana kematian Lili waktu itu!" Mey menanggapi. Diskusi tentang Ramon dan Lili kembali memanas. Ternyata kondisi Ramon memburuk. Dia
[Aku mau ke rumah sakit, jenguk Ramon. Pergi sama Indi, ya.] Pesan itu aku kirim ke Rangga, saat jam makan siang. Seharian ini Rangga sepertinya sibuk dengan pekerjaannya. Karena sejak berangkat kerja tadi, dia belum membalas pesanku lagi.Aku dan Indi kali ini hanya pergi berdua saja. Dia sedang libur kerja. Mimpi yang aku alami semalam cukup membuatku berpikir kalau Ramon memang dalam bahaya."Ini tempatnya?" tanyaku dengan pandangan yang tidak percaya."Iya. Elu nggak pernah masuk RSJ ya?""Pertama kali.""Nah, makanya, cocok elu ajak gue. Gue kan mantan pasien. Hahaha." Tawa Indi terdengar lepas, tapu justru membuatku iba.Maksud dari perkataannya, bukanlah karena dia pernah menjadi salah satu penghuni di tempat ini, tapi dia hanya datang untuk konsultasi. Kehidupannya tidak semulus kelihatannya. Banyak orang di sekitarnya yang justru menjadi sumber masalah pribadinya.
Pukul 21.00Rangga sudah pulang sejak satu jam lalu. Dia tidak banyak menghabiskan waktu di sini, karena harus segera pulang setelah mendapat panggilan telepon dari Ibunya. Aku paham, jika Ibunya masih belum bisa memahami tentang hal ini. Sejak awal bertemu dengan orang tua Rangga, mereka tidak tau bagaimana masa laluku, apa saja yang sudah terjadi padaku, dan bagaimana aku bisa sampai menjadi seperti sekarang. Apalagi sejak awal, Rangga dan aku memang tidak saling memperkenalkan diri sebagai sepasang kekasih. Bahkan jika Orang tua Rangga tidak mengenal mantan mertuaku, aku yakin mereka tetap akan berpikir ulang untuk mengizinkan putra semata wayangnya menjalin hubungan dengan seorang janda yang sudah menikah dua kali.Ini bukan pertama kalinya, aku dipandang rendah oleh orang. Ini bukan pertama kalinya juga aku ditolak oleh sebuah keluarga. Orang tua mana yang tidak ingin anaknya menjalin hubungan dengan wanita baik-baik, dan bukan dengan seorang janda yang pasti akan
"Menjauh dari dia!" perintah Bang Cen.Kami semua sudah menyingkir dari lorong rumah sakit, memilih berada di sekitar taman, agar sosok tadi tidak bisa mendekat. Tapi ternyata kami salah. Wanita mengerikan itu lantas menatap kami satu persatu. Setelah turun dari ranjang, ia mendekat ke Raja yang sedang berdiri dekat dengan Indi."Ndi! Awas! Pergi!" jeritku, khawatir terjadi hal buruk padanya.Raja berdiri di depan Indi, seolah sedang menjadi tameng dari sosok wanita penghuni rumah sakit ini. Tangan mereka masih saling menggenggam. Indi menatap Raja cemas. Tapi Raja justru terlihat tegar dan baik-baik saja. Mungkin dia sudah kebal akan kejadian supranatural seperti ini. Mengingat apa yang kami alami sebelumnya, jauh lebih membahayakan. Tapi tentu kami tidak boleh lengan. Bahkan aku sendiri tidak tau, siapa wanita itu dan alasan apa yang membuat dia seolah menghalangi kami masuk ke ruangan Ramon.Aku tau, kalau kami sedang diajak ber
Kau akan pernah tiba di satu waktu, melepaskan seseorang bukan karena kau tidak lagi mencintainya. Tapi kau tidak ingin melukainya lagi. Jika aku tiba di waktu itu, maafkan aku._Vonny Evelyn_..."Yaaa? Sebentar!" jeritku saat mendengar seseorang mengetuk pintu. Aku baru saja selesai mandi saat Rangga pergi ke kantornya.Pintu kubuka tanpa mengintip siapa tamu yang datang sepagi ini. Fenomena yang tidak biasa memang, mengingat aku jarang memiliki tamu, kecuali Rangga, Indi, Mey, Nita dan ..."Raja?! Kok elu di sini?" tanyaku heran saat mendapati pria itu berdiri di depan pintu kamar. Tampangnya terlihat lesu dengan lingkar hitam di bawah mata yang main tebal."Buruan ganti baju. Kita harus ke pema