Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya.
"Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu.
"Kita lihat saja besok."
Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.
Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya.
"Mau pulang ke mana?" tanya Rangga.
"Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur."
"Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah
Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi
Aroma buku bagai sebuah candu. Seratnya, barisan kata di dalamnya, seolah nadi dan nafas untukku. Aku sangat menyukai jika berada di sini, di tempat di mana aku dikelilingi oleh benda persegi aneka warna dan kaligrafi indah di sampulnya. Setiap Sabtu, inilah yang kulakukan. Sebuah jadwal rutin setiap akhir pekan. Melepas penat setelah berkutat dengan tulisan dalam novelku sendiri. Fiksi. Urutan judul buku di depan sudah bergeser karena ada beberapa buku baru di rak. Aku yakin kalau keberadaan ku di sini akan menjadi lebih lama dari minggu lalu. Aku harus menyeleksi tiap buku untuk menentukan bagian buku yang ingin ku baca lebih dulu. Tentu saja dengan membelinya, apalagi sampul buku ini masih tersegel rapi di dalam sebuah plastik bening. Dengan kamera CCTV yang berada di tiap sudut ruangan, membuatku tidak mungkin merobek plastik ini dan membacanya dalam sekali duduk. Buku-buku ini tebal, tapi aku mampu membacanya dalam semalam.
Peti mati sudah siap di tengah rumah duka. Jenazah Lili sudah didandani dengan apik, hingga ia tidak terlihat seperti orang yang sudah meninggal. Lili juga mengenakan gaun putih yang hampir mirip seperti pakaian terakhir yang ia kenakan, saat mayatnya ditemukan. Mataku sembab, sekaligus menahan kantuk yang teramat sangat. Semalam bukan malam terbaik bagiku, setidaknya bukan malam terburuk juga, karena aku sering mengalaminya. Hanya saja sudah agak lama sejak kejadian terakhir kali aku diganggu oleh 'mereka'. Hanya duduk di barisan kursi panjang bagian belakang, memperhatikan lalu lalang keluarga dan kenalan Lili datang melayat. Aku mulai muak melihat tingkah Ramon. Dia menangis dengan hebat, seperti orang yang sangat berduka. Bagi semua orang pastilah wajar melihat sikap Ramon sekarang. Dua minggu lagi mereka akan menikah, namun mempelai wanita justru berada di peti mati sekarang. Tapi itu tidak berlaku bagiku. "Yang ta
Seharian tadi aku hanya berada di apartemen, sesekali mengetik kisah yang sedang kutulis di sebuah aplikasi berbayar. Zaman digital dewasa ini memang memudahkan orang untuk melakukan banyak hal hanya dengan ponsel pintar. Bahkan buku fisik sudah tidak begitu banyak diminati. Walau pun masih ada beberapa orang yang lebih menyukai buku fisik, bahkan aroma buku lama jauh lebih menggugah selera bagiku ketimbang semangkuk bakso. Beberapa novel milikku sudah ada yang mendapat tempat di berbagai rak toko buku, itu adalah beberapa karya lama yang sudah melalui tahap editing besar-besaran. Kini aku lebih memilih menulis di beberapa aplikasi menulis daring. Lebih mudah melakukannya, dan tawaran yang mereka berikan cukup masuk akal dan masuk kantung. Setidaknya aku bisa bertahan hidup hanya dengan menulis selama ini. Gawaiku berdering. Menampilkan sebuah pesan dengan nomor asing. [Ros?] Aku tidak langsung menjawab, mencoba memeriksa foto profi
"Dia jahat," bisik Nenek dengan suara yang sedikit berbeda. Tatapanku beralih kembali ke Nenek. Menatap sorot matanya yang tajam. Terus mencoba masuk ke dalam dirinya lebih dalam lagi. Karena ternyata ada orang lain di sana. Aku menoleh ke cermin yang menempel di lemari pakaian Nenek. Mengamati dari sana tubuh Nenek yang renta. Akhirnya aku benar-benar dapat melihatnya sekarang. Sosok itu ada di dalam sana. Tersamarkan. "Coba Rosi periksa ya, Nin," kataku kemudian melepaskan tangan keriput Nenek. Tapi beliau justru menahan ku agar tidak ke mana-mana. "Jangan. Jangan ke sana. Nanti Fifi dibawa sama dia!" Nenek terlihat ketakutan. Ibu serta Rangga hanya menatap kami bergantian. Suara Nenek berubah lagi. Memang agak mirip, tidak berbeda jauh. Namun kalau didengarkan lebih seksama akan terlihat lain. "Nggak apa-apa. Rosi mau lihat sebentar aja. Fifi aman kok." Mama Rangga ikut melepaskan tangan Nenek dariku.
"Masuk, Ngga," ajakku begitu pintu terbuka. Rangga mengucapkan salam dengan pelan, walau tidak ada yang menjawab. "Duduk dulu, anggap aja di rumah sendiri. Aku ganti baju dulu, ya." Apartemen milikku berjenis alcove studio. Apartemen ini memiliki bentuk L dengan dua ruangan terpisah. Salah satu ruang di apartemen ini berukuran lebih kecil dan digunakan sebagai kamar, ruangan yang besar melingkupi dapur, ruang tamu dan kamar mandi, akan menjadi satu. Sehingga privasi ku terjaga hanya di kamar saja. Setelah memakai seragam ala ala rumahan, meliputi kaus lengan pendek dan celana leging pendek, aku segera keluar dan menyiapkan makan malam kedua untuk kami. Karena ternyata aku juga lapar lagi. Rangga kulihat sedang duduk di sofa, dengan pigura di tangannya. "Itu anak-anakku," jelas ku tanpa mendapatkan pertanyaan lebih dulu. "Kamu udah nikah? Atau malah udah cerai?"
Hujan terus mengguyur sejak subuh tadi. Aku makin bergelung dalam selimut, enggan beranjak walau perut sudah keroncongan. Cuaca dingin agaknya membuat kasur terasa nyaman untuk beberapa waktu ke depan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00, sekali pun aku masih ingin tidur, tapi mata enggan terpejam lagi. Apalagi setelah alarm yang terus berdering tiap 5 menit sekali. Tubuh terasa kaku, namun semalam aku tidur nyenyak, sehingga pagi ini terasa lebih segar. Mungkin karena pengaruh obat dari Pram. Atau mungkin juga karena ada Rangga yang menemani di sini. Sehingga aku tidak perlu takut kalau ada teror wanita kemarin. Selimut kusingkap, membiarkannya berantakan begitu saja, buru-buru keluar dari kamar karena ada hal yang ingin ku periksa, Rangga. Kejadian semalam bagai mimpi dan kenyataan yang berbanding lurus. Aku pikir, tidak akan menemukan Rangga di apartemen ku, karena rasanya bagai mimpi saja. Namun saat aku melihat ke sofa, rupanya Rangga masih ada di sana
"Ros? Rosi? Lu nggak apa-apa?" Mata masih tertutup rapat. Tapi telingaku mampu mendengar semua suara di sekitar. Aku sangat hafal sekali suara ini, wanita cerewet yang sering sekali mengusik hariku, terutama saat malam hari. Terkadang dia punya panggilan kesayangan untukku. "Emak demit! Awas kalau nggak bangun, gue ceburin got lu, ya!" Baru saja aku menebak siapa wanita itu, dia sudah melancarkan ancaman mematikan. Aku mulai mengerjapkan mata. Perlahan membuka kelopak mata yang sebenarnya masih terasa lengket. Tubuhku mulai terasa sakit. Tapi suara ini lebih menyakitkan telinga. "Iya iya. Bangun ini. Berisik banget sih!" rengekku. Indi sudah duduk di samping ku dengan Nita. Mereka menatapku cemas dan raut kebingungan. "Lu kenapa sih, Mak?" tanya Nita. "Kenapa apanya?" tanyaku balik, berusaha kembali duduk. Rupanya aku sudah berada di apartemenku. "Kok gue di sini?"