Share

23. Kesabaran Imaz

~Menata hati dalam mencari jati diri. Menyusun mimpi menuju pencapaian sejati~

                               ♤♤♤

Pagi itu para sel tahanan rebutan mengambil sarapan. Saling berteriak meminta makanan. Mendorong sana-sini karena ambisinya mendapat makanan. Suasana seperti ini mengingatkannya saat di pesantren. Semuanya serba antri. Kebersamaannyalah yang membuat ia dirundung rasa rindu. 

Giliran Imaz bergerak maju, salah satu dari mereka mendorong Imaz sampai jatuh. Jesselyn yang santai tidak terburu-buru mengambil makanan, bergerak membelanya.

"Apa begini cara kalian mengantri makanan?" Ketus Jesselyn. Ia memang sangat pemberani.

Jesselyn membantu membangunkan Imaz. Mereka mundur memberi ruang untuk mengeluarkan Imaz dari kerumunan. 

"Eh, Jes. Untuk apa kau membela wanita itu, tidak ada gunanya." Jawabnya meledek. Sebut saja namanya Poppy. Ia ketua geng dari tempat sel penjara yang Imaz tempati. Para pengikutnya menambah dengan menertawakan Jesselyn. Ia merasa geram tak terima harga dirinya diinjak-injak seperti itu. Tidak berlangsung lama, ia menarik kotak makan Poppy dan ia berikan pada Imaz. Sementara milik Imaz yang masih kosong, ia berikan pada Poppy.

"Impas." Katanya membalasnya meledek.

"Kurang ajar ! Serang dia!!" Poppy berteriak. Kali ini, mereka tidak main-main. Tanpa mengambil kuda-kuda, mereka keroyokan.

"Imaz, kau mundur. Lalu lapor ke pak polisi." Teriak Jesselyn setengah terdengar setengah tidak karena suara keroyokan geng Poppy. Mereka melayangkan pukulan ke perut Jesselyn.  Ia tangkis dengan menendang kakinya. Pertengkaran berujung klimaks. Imaz sangat panik. Ia terus berteriak memanggil pihak polisi untuk menindaklanjuti perselisihan ini. Pihak kepolisian akhirnya berdatangan.

"Diam! Harap tenang!!!" Salah satu dari pihak polisi menekan pistol ke atap. Mereka berlangsung diam. Jesselyn sempoyongan menahan perutnya yang sakit. Imaz segera menghampiri dan memberi pertolongan pertama dengan mengolesinya obat luka.

Pihak kepolisian membuka jeruji besi. Memindahkan geng Poppy yang selalu membuat rusuh ke sel yang lebih pantas untuk mereka. Sel tahanan nomor 77 paling belakang. Mereka menatap Jesselyn emosi. 

"Kami sudah memindahkan ke sel paling belakang. Jadi sel tahanan ini khusus untuk kalian berdua." Kata salah satu pihak polisi menutup jeruji besi. 

"Terima kasih Pak." Ucap Jesselyn.

"Ini obat lukanya." Pak polisi itu menyerahkan obat luka pada Jesselyn.

"Sekali lagi terima kasih Pak."

"Sama-sama."

Pak polisi itu melenggang keluar dari sel tahanan. Sementara Imaz membukakan kotak obat lukanya. Mengoles luka pada tepi mulut dengan kapas dan penuh perhatian.

"Kenapa kau melakukan ini?" Tanya Imaz merasa terharu dengan pengorbanannya tadi.

"Tidak usah baper. Biasa saja."

"Aku merasa tidak enak."

"Kasih bumbu saja biar enak."

Imaz menghela napas kesal. Menurut Imaz, Jesselyn ini tipe orang yang suka tidak mau dipuji. Walaupun sikapnya menjengkelkan. Ia berusaha memahami sikapnya yang misterius itu.

"Jangan seperti ini lagi ya?" Kata Imaz berkaca-kaca.

"Tidak usah cengeng." Jesselyn bukannya membuat Imaz merasa tak enak hati. Justru dengan pengorbanannya itu supaya ia menjauh darinya.

"Lagian kenapa sih kau tidak membalasnya. Harga diri itu penting Maz. Apa kau mau dalam hidupmu selalu direndahkan terus? Mending tidak usah hidup kalau begitu." Kalimat Jesselyn itu menyakitkan. Tetapi mengandung pengertian.

"Tapi bagaimana jika orang yang merendahkan kita, menyakiti orang yang kita sayang?" Imaz balik bertanya.

"Kau sayangkan?" 

Imaz mengangguk yakin.

"Korbankan. Bukan membiarkan. Bodo amat dia mau menyakiti suamimu misalkan. Jangan percaya! Sakiti balik saja. Bereskan?"

"Hidup itu jangan dibuat ribet sendiri. Jika disakiti, sakiti balik. Jika dia baik, balas dia dengan baik. Simpel kan?"

Semudah itu cara Jesselyn hidup hingga ia kuat menjalani semuanya. Imaz wanita yang lemah. Ibarat kaca yang mudah retak ketika disakiti. Mudah berkilau ketika disanjungi.  

Selain dipindah ke sel paling belakang, mereka juga mendapatkan hukuman. Ya. Mengumpulkan beberapa sampah dan mengangkut batu-bata untuk renovasi tempat sel tahanan yang baru. 

                               *** 

Kereta api menuju Depok akan berjalan beberapa jam lagi. Para penumpang diharapkan bersabar menunggu. Mereka amat beruntung membawa selimut karena udara diluar sangat dingin juga gelap membawa suasana semakin merinding. Tidak pada gadis kecil yang duduk disamping orang tuanya. Ia tampak menikmati udara segar dari jendela kereta. 

"Diluar dingin, Nak. Ayo tidur sudah malam." Kata Ibunya khawatir. 

Gadis kecil itu memonyongkan bibir kecewa. Ibunya segera menutup jendela kereta. 

"Nama kamu siapa Adek kecil?" Sapa Nenek-nenek yang duduk disampingnya. Nenek itu gemas sekali dengannya. 

"Lily. Namanya Lily." Sahut ibunya menjawab.

"Gemas sekali namanya." Nenek itu langsung mencubit pipi kanannya. 

"Kelas berapa Lily?"

"Dia baru berusia lima tahun." Lagi-lagi, ibunya yang menjawab. Dari raut muka Nenek itu seperti ingin sekali memiliki cucu. Nenek itu merogoh sakunya dan memberinya uang lima puluh ribu.

"Lily, ini buat beli es krim."

Lily menerimanya tersenyum manis. Uang yang diberikan Nenek itu dimasukkan ke saku kecilnya. 

Malam semakin gelap. Dingin semakin menggelitik. Para penumpang yang menghibur diri di kereta entah menonton film, bercanda dengan penumpang yang lain, kini semua sudah terlelap dan kereta tak kunjung berjalan juga. Lily masih membuka mata. Melihat bintang yang bersinar di langit. Ia teringat pesan wanita itu. 

"Lily, bintang itu selalu menyinari langit dalam gelapnya malam. Seperti Lily yang selalu menyinari semua orang meski dia jahat." 

Wajah yang ada dalam bayangannya pun tak asing. Ya. Dia adalah Imaz. Wanita yang selama ini merawatnya, menemaninya di Panti asuhan. Sampai ia mendapatkan orang tua angkat.  Kasih sayang Imaz tiada bandingannya bagi Lily. Berbanding dengan pengasuh Panti asuhan yang meski dia selalu memberi perhatian. Berbanding dengan orang tua angkatnya yang meski mereka selalu menuruti kemauannya. Semua tak lepas merindu dengan Imaz.   

Meow...meow...

Suara kucing mengeong terdengar nyaring di telinga Lily. Ia keluar dari kereta mencari tahu keberadaan kucing tersebut. Usut punya usut, Lily menemukan kucing tersebut di pinggir rel kereta. Kucing itu masih kecil seperti dirinya. Mengendus-endus kakinya kelaparan. Menggulung-gulungkan tubuhnya memohon. Lily pun kasihan dan membalas dengan menggendong kemudian membelai lembut bulu lebatnya. 

Cerobong asap kereta tiba-tiba berbunyi. Roda siap berputar dan berjalan sesuai porosnya. Lily kaget. Ia mencoba mengejar kereta tersebut. Namun, usaha yang ia bisa lakukan hanyalah menangis tanpa mereka tahu keadaan Lily. 

Lily tersesat sambil terus menangis. Ia terjebak di terowongan kereta. Ketakutan pada gelapnya malam. Kucing yang ia temukan masih dalam gendongannya. Semua terasa temaram. Tak ada pertolongan buat si kecil manis itu.  Ia terduduk di pinggir rel kereta. Menangis tiada hentinya hingga mata terasa kantuk dan akhirnya ia terlelap tidur. 

Sampai pada pagi harinya, kereta jurusan dari Depok ke Tangerang berhenti. Sosok pria memakai jaket hitam, bertopi abu-abu, menggendong tas ransel tinggi keluar dari kereta melihat anak malang itu. Ia lepaskan kaca mata hitamnya dan langsung panik ketika anak malang itu tak sadarkan diri.

                                 ***

Jeruji besi dibukakan oleh petugas polisi. Mengantarkan dua kotak makan pada pagi hari untuk Imaz dan Jesselyn.

Mereka terbangun. Mengucek matanya yang masih ngantuk.

"Sudah pagi, ayo makan." Perintah petugas polisi meletakkan makanannya di lantai. Mereka merapat mengambil makanannya. Membuka makanannya berupa menu nasi dan oseng-oseng tempe. Meski demikian, mereka tetap melahap makanannya. Tidak tahan dengan perutnya yang terus berdemo.

"Kalau mau apa-apa bilang saja. Tidak perlu sungkan."

"Beres Pak. Habis ini belikan saya es krim." Permintaan Jesselyn langsung ngegas.

"Baiklah, jika permintaanmu masih ada."

Pak polisi itu keluar dan langsung mengunci jeruji besinya.

"Pak, nama Bapak siapa?" Teriak Jesselyn berusaha memanggil ketika pak polisi itu melangkah berjalan. Ia membalikkan badan lantas menjawab, "Pak Rudy."

"Selamat pagi Bapak Rudy. Selalu ganteng ya?" Jesselyn menggoda. Imaz terbelalak kaget. Pak Rudy hanya tersenyum tipis. Ia terlihat kaku digoda sebab ia tak membalas perkataannya dan langsung pergi keluar.

"Polisi itu ya mukanya serius terus." Kata Jesselyn sambil mengunyah makanannya.

"Mungkin hanya tuntutan kerja."

"Tuh kan, lagi-lagi manusia itu selalu akting."

"Kamu berani sekali ya menggoda kepada polisi pula."

"Untuk apa takut? Lagipula aku terbiasa menjadi wanita penggoda."

Imaz terperanjat dengan kalimatnya.

"Tidak usah kaget. Aku nggak menggigit kok." Jesselyn cengengesan. 

"Kurang satu bulan lagi, kau keluar dari penjara." Kalimat Imaz menjadikan suasana hati berujung melow. Sudah dua bulan mereka menjalani kebersamaan di penjara. Saling bercanda, berkorban, dan berbagi pengalaman. Semua tak luput dari kenangan. 

"Aku benci sama kamu Imaz." Kata Jesselyn mengagetkan Imaz.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Selalu membuat aku menangis." Air mata Jesselyn jatuh perlahan di pipi. Mendadak dia memeluk Imaz dengan erat. Mereka larut dalam air mata. 

"Maaf selama ini aku selalu membuatmu menangis."

"Sekali lagi, aku benci sama kamu."

"Kenapa lagi?"

"Selalu membuatmu merasa bersalah." 

Imaz melepaskan pelukannya. Menghapus air matanya.

"Aku juga benci sama kamu."

"Benci kenapa?"

"Selalu berkorban demi aku."

"Aku akan membuatmu semakin benci sama aku."

"Maksudmu?"

Jesselyn merogoh sakunya. Mengeluarkan sebuah obat bubuk warna putih. Imaz menatapnya heran. Tanpa menghiraukan reaksinya, ia langsung menenggak obat itu sampai habis. Menetralisirnya dengan air putih, lalu tersenyum.

"Obat apa itu?" Imaz penasaran.

"Ganja." Jawabnya tanpa beban.

"Kau gila ya? Kenapa kau melakukan itu?"

Jesselyn mengacuhkan pertanyaan Imaz dan langsung berteriak memanggil Pak Rudy. Sedetik kemudian, Pak Rudy datang menghampiri.

"Ada yang bisa dibantu?" Pak Rudy bertanya.

"Saya habis minum ganja, Pak." Jesselyn menunjukkan bungkus bekas ganjanya. 

"Apa Anda masih menyimpannya?" 

"Iya, Pak. Jadi, tahan saya lagi."

Imaz dan Pak Rudy terbelalak. 

"Tidak usah kaget. Penjarakan saya lagi tiga bulan."

Imaz menepuk jidat. Terkadang sahabat melakukan hal konyol di depannya. Pengorbanan memang beragam caranya. Seperti yang dilakukan Jesselyn. 

                                ***

Pesantren Benang Biru masih tetap berdenyut ramai. Pengajaran kitab berlangsung begitu damai. Pukul setengah sepuluh, Ning Dija mengakhiri pelajarannya di kelas khodam. Beliau melenggang keluar dari kelas. Para santri berbondong-bondong keluar menuju kantin sekedar menyegarkan otaknya dengan menjamah berbagai jajanan kantin. 

Di ruang tamu, kesembilan putri Romo Kiyai berkumpul membahas persoalan kematian Eko yang misterius.

"Aku yakin ada alasan tersendiri kenapa  Pak Eko mencelakai dirinya sendiri." Ning Fiyyah menduga.

"Apa mungkin dia masih terlilit hutang, putus asa lalu bunuh diri?" Dugaan Ning Shita. 

"Coba panggil Wafi untuk menceritakan hasil penyelidikannya." Dugaan demi dugaan mereka lontarkan. Ning Dija akhirnya yang memutuskan agar dugaan tersebut mendapat pencerahan. Ning Fiyyah mencoba menghubungi Wafi. Memintanya datang ke pesantren untuk dimintai penjelasan. Secepat mungkin Wafi mengendarai mobil agar segera sampai ke pesantren.

Hanya menunggu beberapa menit saja, Wafi datang. Ning Fiyyah memberi ruang duduk di antara mereka.

"Ada keperluan apa sehingga kalian memanggil saya kesini?" Wafi tanpa basa-basi bertanya.

"Kami ingin tahu hasil penyelidikan kematian atas nama Eko." Ning Fiyyah menjawab.

"Oh, itu. Ya. Kami pihak kepolisian masih dalam proses penyelidikan."

"Apa ada bukti-bukti tentang kematian Eko?"

"Masalah bukti masih penyidikan. Tapi kami mendatangi rumahnya lewat ktp yang ada di dompetnya."

"Bagaimana setelah kau mendatanginya?"

"Jadi..."

Wafi menjelaskan kronologis cerita kehidupan Eko. Saat mendatangi ke rumahnya, ternyata itu alamat neneknya. Dia yang menceritakan semua tentang Eko. Neneknya bercerita, jika Eko itu anak sebatang kara yang ia titipkan ke panti asuhan sejak lahir. Ayahnya meninggal saat kejadian jatuhnya pesawat garuda. Ibunya syok dan disaat bersamaan, mereka meninggal. Disanalah Eko dibesarkan sama pengurus panti hingga ia menjadi satpam di panti. 

Suatu hari, ia di adopsi sama keluarga yang ternyata, keluarga tersebut memiliki perusahaan sebagai agen mafia. Ia tidak betah tinggal bersama keluarga mafia yang hobinya membunuh orang yang tidak bersalah. Neneknya tidak sepenuhnya tahu latar belakang keluarga mafia itu. Ketidak betahannya itu membuat Eko nekad kabur mencari pekerjaan lain yang kebetulan dia bekerja menjadi pelayan di restoran milik Arman. 

"Jadi, Arman memiliki restoran?" Ning Fiyyah menangkap pernyataan baru.

"Iya. Kami melihat di laman pemberitaan, dia bos restoran."

"Tapi kenapa dia berencana mencuri warisan Ayah?" 

"Soal itu kami tidak tahu. Yang pasti kami menangkap kalau Eko bunuh diri karena tidak ada pekerjaan setelah membawa kabur Imaz."

"Sulit bagi kami menerima kalau Imaz adalah pelakunya. Aku yakin, Eko pasti tahi siapa pelakunya."

"Pelaku atau tidaknya, yang pasti Eko masih ada kaitannya dengan pembunuhan Romo Kiyai. Karena setelah terbunuhnya Romo, kami baru menemukan jasad Eko yang sudah membusuk."

"Ya Allah...kira-kira kapan kejadian kecelakaan itu?" Ning Dija ikut prihatin.

"Kami mengecek kapan Eko melihat w******p-nya, setelah hari dimana Romo terbunuh."

Seisi ruangan terkejut. Penyelidikan sebentar lagi mengungkapkan kebenaran. Mereka semakin yakin kejadian ini membawa pada keadilan. Imaz tak pantas dizalimi.

"Lalu, apa rencana kalian?" 

"Kami akan mendatangi Arman juga mencari Robet."

"Jadi, kalian tidak tahu keberadaan Robet?" Ning Fiyyah terkejut.

"Setelah pensiun jadi polisi, ia sama sekali tidak mengabarkan keberadaannya. Rumahnya disewa. Perusahaannya saja dari dulu dia tidak pernah cerita." 

"Robet, kemana kamu? Imaz sangat membutuhkanmu." Dalam hati Ning Fiyyah. 

Pengorbanan sahabat demi menyatukan cinta belum dapat ia gapai. Kekecewaan yang dikorbankan mematahkan mimpi yang ia sematkan. Dan keikhlasan hati dalam meraih mimpi itu butuh kesabaran. Sahabatnya mampu melewati kesabaran itu. Ia pun harus memberi kekuatan atas kesabaran sahabatnya.

                                ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status