~Bertambahnya kawan menghapus lawan. Bertambahnya doa menyimpan pahala. Bagaimana dengan kehilangan cinta menyambut benci?~
***
Empat tahun sudah ia lalui tanpa merasa beban. Sebagai terdakwa kasus pembunuhan Romo Kiyai tak memungkiri ia tetap ziarah ke makam beliau.Bersama dengan Jesselyn, Imaz sengaja mengajak ke pesantren untuk memberikannya tempat tinggal. Tampilan Jesselyn lebih tertutup dibanding saat di penjara. Itu semua berkat Imaz yang membimbingnya pelan-pelan ke jalan yang lebih terang. Dibilang susah, iya. Karena Jesselyn belum terbiasa memakai hijab dengan dress panjang.
Saat bebas dari penjara kurang dua tahun lagi, Imaz berkali-kali meminta Ningrum berkunjung untuk membawakan semua pakaiannya yang masih ada di pesantren. Tapi yang dibawa bukan hanya pakaian Imaz bahkan kesembilan putri Romo Kiyai menyisihkan pakaiannya untuk mereka berdua. Namanya pakaian seorang Ning pasti mewah. Imaz merasa sungkan tapi Ning Fiyyah berusaha membuat Imaz merasa nyaman.
"Ini...sekitar lima puluh lebih pakaian." Kata Ning Fiyyah menyodorkan tas kopernya mengunjungi Imaz dan Jesselyn yang waktu itu rambutnya masih tergerai bersemir keemasan.
"Ya Allah Ning, aku merepotkanmu."
"Tidaklah. Kami sudah menganggapmu seperti keluarga sendiri."
Jesselyn lebih banyak diam. Ia pernah mengatakan sebelum Ning Fiyyah datang mengunjungi dan Imaz bermaksud mengajaknya karena ingin memperkenalkannya, ia sungkan bertemu dengan orang yang memiliki pesantren. Imaz juga Membanggakannya karena selama ini dia sanggup menemaninya dengan cara yang konyol.
"Ya Ning, ini Jesselyn. Teman akrabku saat di penjara." Imaz tersenyum pada Jesselyn. Ia menunduk tersenyum sungkan.
"Senag bertemu denganmu." Ning Fiyyah menyapanya.
"Senang juga Ning."
"Boleh tau, kau terlibat kasus apa?"
"Kasus narkoba."
"Berapa tahun di penjara?"
"Tiga bulan berkali-kali."
Ning Fiyyah tak maksud apa yang Jesselyn katakan. Maka, Imaz menjelaskan jika Jesselyn itu pecandu narkoba. Dia mengonsumsi obat terlarang bukan semata-mata karena untuk mengobati stressnya tapi karena memang segan mengonsumsinya. Apalagi, dia tetap mengonsumsi demi bisa menemaninya di penjara.
"Jesselyn, kami sangat berterima kasih padamu. Kami akan memberikan apa saja yang kau mau. Asal, kau mau menjaga sahabatku." Ning Fiyyah jadi terharu mendengarkan ceritanya.
"Kalian memang cocok sekali ya."
Ning Fiyyah dan Imaz sama-sama tersenyum pada Jesselyn.
"Sama-sama baper." Kata Jesselyn kemudian tertawa terbahak-bahak. Raut muka Ning Fiyyah seperti tidak suka melihat tingkah laku Jesselyn. Imaz langsung menyikut lengan Jesselyn untuk memperingatinya agar lebih menjaga image ketika di hadapan Ning Fiyyah. Sebab ia tahu persis Ning Fiyyah tidak suka orang yang bertingkah pecicilan.
Jesselyn segera diam dan mengucapkan maaf dengan menundukkan kepala di hadapan Ning Fiyyah.
"Aku yang minta maaf belum bisa menerima tingkahmu." Ning Fiyyah lebih memilih mengalah karena merasa tak enak jika orang lain bersikap hormat padanya. Ia bukan dewa ataupun raja. Ia hanya manusia yang sama tak luput dari lupa dan dosa.
"Ning, kau datang sendirian?" Imaz mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya."
"Kenapa Ibu tidak ikut?"
"Ibu Ningrum juga kakak-kakakku sedang melakukan penyelidikan kasus kematian Pak Eko."
"Sudah dua tahun aku di penjara, kematian Pak Eko masih menimbulkan tanda tanya?" Imaz tak habis pikir.
"Mau bagaimana lagi, Pak Eko anak sebatang kara. Pihak polisi hanya meminta keterangan pada Arman juga Neneknya Pak Eko."
"Oh, begitu ya." Imaz baru sadar ternyata selama Ning Fiyyah mengunjunginya, ia sanggup berjalan tanpa harus memakai kursi roda.
"Ning, bisa berjalan tanpa kursi roda?"
"Iya. Alhamdulillah, pengobatan enam bulan udah selesai."
Hari sudah semakin siang. Matahari mulai meninggi. Saatnya Ning Fiyyah pamit pergi untuk mendengar kabar perkembangan penyelidikan kasus kematian Pak Eko. Imaz dan Jesselyn kembali menghirup udara di jeruji besi. Imaz membuka kopernya. Mengambilkan hijab miliknya sementara.
"Ini kau pakai." Hijab berwarna hitam seragam ngaji saat di pesantren. Jesselyn menerimanya. Mengulik bahan kain hijab yang diberikan. Lumayan tebal. Dan itu yang menjadikan Jesselyn ragu memakainya. Perlahan ia membuka hijabnya. Melipatnya menjadi persegi panjang. Ia pakaikan ke kepala.
"Sudah."
Imaz menoleh. Bukannya bangga melihat Jesselyn memakai hijab. Malah ia kesal karena percuma saja memakai hijab masih ada sisa rambut yang terlihat di bagian belakang. Ia mencari-cari kesalahan apa yang membuatnya memakai hijab jadi norak.
"Kenapa lihatnya seperti itu?" Tanya Jesselyn melihat mukanya Imaz yang menyidik.
"Hmm...pantas." Imaz menahan tawanya.
"Pantas kenapa?"
Imaz dengan sigap melepaskan hijabnya. Menunjukkan kesalahan pemakaian Jesselyn ternyata pada bentuk hijabnya yang menjadi persegi panjang.
"Ini bukan hijab pashmina."
Jesselyn menyengir. Imaz dengan penuh kesabaran menunjukkan tutorial pemakaian hijab segitiga yang sudah jelas dibentuk segitiga. Sudah terbentuk, Imaz memakaikannya. Menutup rapat keseluruhan aurat kepala kecuali wajah.
"Sudah ya, panas." Baru saja dipakai, Jesselyn sudah tidak betah.
"Nanti kau pasti terbiasa." Ungkapan Imaz membujuk.
"Dipakai berapa kali sehari?" Pertanyaan yang sangat polos membuat Imaz langsung tertawa.
"Setiap hari Jesselyn. Ini bukan obat ya, tapi kebutuhan wanita agar terhindar dari zina."
Azan zuhur berkumandang. Imaz mengajak salat zuhur berjamaah. Sebelum salat, ia menuntun pelan-pelan untuk berwudhu. Jesselyn memang sungguh polos. Berwudhu saja, hijab tidak dilepas. Imaz sampai menggelengkan kepalanya berkali-kali heran.
"Kenapa? Salah lagi?" Jesselyn akhirnya menyadari kesalahannya.
"Kalau berwudhu, alangkah baiknya dilepas agar air bisa sampai ke kulit." Jesselyn menjawabnya dengan menyengir dan berbinar-binar. Ia lepas hijabnya dan ia kenakan kembali setelah selesai berwudhu.
Mereka sama-sama melampirkan sajadah menghadap kiblat. Imaz mengimaminya dengan khidmat. Membaca surah al-fatihah dalam hati, justru Jesselyn menoleh sana-sini sambil berkomat-kamit entah surah apa yang ia baca. Imaz rukuk, justru Jesselyn diam terpaku sedang melamun. Sampai pada salam, ia masih tetap berdiri diam terpaku.
Dikira Imaz khusyuk berdoa, saat menoleh ke belakang, ia tergeletak tidur. Ia hanya bisa beristighfar mengajar orang yang tidak pernah salat meski sudah memiliki status islamnya di ktp.
Waktu sudah mendekat sore. Bayangan cahaya matahari menjauh meninggalkan langit. Imaz menidurkan Jesselyn ke sebuah karpet miliknya.
Sore baru menampakkan karismanya. Mendadak Petugas Polisi membawa beberapa tahanan ke sel penjara miliknya. Mereka adalah tahanan senior yang akan segera dibebaskan dalam waktu dekat.
Beragam model penampilan mereka. Ada yang berambut pirang, berambut tergerai bitam natural juga rambut yang diikat.
"Untuk mulai hari ini dan seterusnya, kalian pindah ke sel tahanan ini. Ingat jangan buat keributan."
"Iya Pak." Mereka menjawab serempak.
Petugas Polisi meninggalkan mereka. Imaz menatapnya diam. Sesekali menoleh pada Jesselyn yang tidak terganggu sama sekali tidurnya.
"Hei, sudah berapa tahun di penjara?" Gadis berambut pirang membuka pembicaraan.
"Dua tahun."
"Terlibat kasus apa?"
"Pembunuhan."
"Kalau kalian?"
"Aku bunuh diri karena telah menusuk pacar sendiri." Gadis itu menjawab.
"Aku cinta buta sama guru sendiri." Sahut Gadis berambut panjang tergerai hitam natural.
"Aku merampok." Sahut Gadis yang rambutnya diikat.
Berbagai kejahatan mereka menjawab. Ini menjadi momok bagi Imaz karena sebentar lagi bukan Jesselyn lagi yang mengurus sel tahanan melainkan dirinya yang sudah lama tinggal di sel tahanan yang mulanya hanya berdua menjadi berlipat-lipat.
Disisi lain, Imaz bersyukur masa di penjara kurang dua tahun lagi. Benar yang dikatakan Bapak dan Romo Kiyai bahwa menjalani hari-hari yang bukan miliknya dengan lapang dada sangat tidak mengecewakan. Seperti saat ini, ia memiliki beragam teman yang saling melengkapi.
***
Lily membukakan mata. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ruangan itu sangat lebar dan lengang. Mendadak ia menangis memanggil ibunya dalam hati. Menggigit jarinya ketakutan.Seseorang membukakan knop pintu. Lelaki berjas hitam dengan rambut yang klemis menghampiri Lily dan membelai hijabnya dengan lembut.
"Kenapa menangis? Nanti om akan lapor ke polisi agar kau bisa bertemu dengan orang tuamu."
Tangisan Lily sudah mereda berkat perkataan pria itu.
"Namamu siapa?"
Lily diam. Pria itu sampai bingung harus bagaimana agar Lily mau bicara. Ia sampai mengeluarkan ide menyerahkan tisu dan pena agar Lily tidak takut menjawabnya. Lily menerimanya dan menulis kata Lily di tisunya.
"Baiklah. Rumahmu dimana Lily?"
Lily menggelengkan kepala tidak tahu.
"Aku sebutkan, nanti jawab mengangguk atau menggeleng."
Lily dengan cekatan mengangguk mengerti.
"Di desa seberang?"
Lily menggeleng.
"Di kota perumahan?"
Lily menggeleng. Pria itu sudah menyebutkan semua desa dan kota yang dekat dengan stasiun kereta tempat Lily terbaring lemah disana. Tiada usaha lagi selain membawanya ke kantor polisi.
Pria itu hanya bisa mengelus dada bersabar selama beberapa hari merawat Lily yang super pendiam.
***
~Kau pernah menjadi raja di hatiku, ketika rindu itu menggebu. Namun, justru Allah menjadikan aku permaisurimu ketika cinta itu bertemu~ ***Pesawat jatuh terseret arus banjir di kawasan Var. Tim sar segera mengerahkan tenaganya untuk mengevakuasi korban penumpang yang ada di pesawat. Terdapat 12 yang tewas. Mereka membawa 12 mayat ke rumah sakit untuk dimandikan. Sementara yang lain denyut nadinya masih berdetak.Berita bencana badai besar di perancis sudah disiarkan diberbagai media. Berita itu terdengar juga di telinga keluarga Hilda, Robet dan Ning Fiyyah. "Ya Allah, bagaimana keadaan Hilda?" Kiyai Usman sungguh cemas. Abah Hilda sudah makin keriput. Hanya bisa duduk di kursi roda. Ditemani istrinya yang juga sudah beruban. "Semoga Hilda bisa diselamatkan yah," Umik menenangkan. Sampai di rumah sakit, 12 yang tewas dibawa ke kamar mayat. Petugas polisi menyelidik atas nama siapa
~Jika aku bukan jalanmu. Ku berhenti mengharapkanmu. Jika aku memang tercipta untukmu. Ku 'kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu~ ***Demi menyenangkan istri tercinta, akhirnya Robet mengajaknya bulan madu di luar negeri. Tepatnya di perancis. Sebelum berangkat, Hilda menyerahkan beberapa wisata yang ingin ia kunjungi, diantaranya; menara eiffel, sungai seine, jembatan gembok cinta atau pont des arts, dinding cinta atau Le Mur des Je T’aime, mobil 2cv, musium louvre, dan Jardin du Luxemburg atau taman bunga. "Ngidamnya banyak amat," goda Robet sambil mengendarai mobil menuju bandara. Sebelumnya mereka sudah berpamitan pada orang tua. Mereka mendoakan semoga Robet dan Hilda berhasil beribadah dengan penuh cinta di malam jum'at. Mereka saling tersipu. Jantung berdetak sudah tak menentu membayangkan akan beribadah penuh cinta di malam hari. "Memang itu yang aku idamkan, sayang," kata Hilda sambil
~Kecupan punggung tanganmu. Kecupan bibirku di dahimu. Belaian tanganmu mencuci kakiku. Tatapan matamu menyibak arti kecantikanmu. Dengan besanding bersamamu di pelaminan, inilah tahap awal belajar untuk mencintaimu~ ***Selesai prosesi pernikahan, para tamu dipersilakan makan hidangan yang tersedia di kursi tamu undangan. Para tamu undangan memakannya dengan lahap. Tambah nikmat dengan diiringi sholawat banjari. Sementara mempelai putra dan putri duduk saling diam di pelaminan. "Aku memang seperti ini orangnya," kata Robet memulai perbincangan pada Hilda karena sedari tadi saling diam membisu. "Iya Gus. Aku tahu mungkin kau butuh waktu menerima pernikahan ini." Hilda memaklumi. Usai mereka menikmati hidangan makanannya, para tamu undangan dipersilakan sesi foto. Foto bersama teman-teman, kerabat dan yang paling utama adalah kedua keluarga mempelai. Selesai sesi foto, kedua m
~بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ"Barakallahu laka wabaraka 'alaika wajama'a bainakuma fi khair""Semoga Allah memberi barakah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua dlm kebaikan." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi)~***Robet merasa ada yang mereka sembunyikan. "Bu, ayah kemana? Kok aku sama sekali tidak mendengar suaranya?" Ningsih bingung harus menjawab apa. Ia pun terpaksa menjawab seadanya. "Ayah sedang mencari makanan." "Oh, begitu." Ningsih menahan air matanya. Sultan dan pihak kepolisian membawa satpam ke kantor untuk dimintai keterangan. Saat Sultan bertemu langsung dengan geng mafia. Dengan emosi, dia menampar mereka satu persatu. "Sebenarnya, siapa kalian sampai berusaha membunuh Robet?" Pihak polisi berusaha menenangkan Sultan dengan menyuruhnya duduk. Ray sebagai ketua geng tersenyum licik. "Kau mau tau siapa kita?" Ra
~Kebahagianku adalah melihat Robet bahagia. Kesedihanku adalah melihat Robet sedih. Karena harta yang paling berharga adalah memiliki anak seperti Robet~ ---NINGSIH---- ***Hilda mencoba menelponnya, namun tak dapat dihubungi. Jadi benar ia telah memblokir nomornya. Apa dia merasa sakit hati? Air mata Hilda meleleh. Ia kemudian terisak. Kenangan bersamanya sungguhlah banyak. Ketika saat pertama kali bertemu dengan dia. Di sebuah jembatan ampera, ia tak sengaja menabraknya. Itu semua karena kecerobohannya. Bangun kesiangan. Tidak sempat sarapan. "Kau baik-baik saja?" Saga justru menanyakan keadaannya. "Iya, aku baik-baik saja. Maaf ya, aku buru-buru." Hilda meraih tasnya yang tergeletak di sampingnya. Lalu, berlari masuk ke kelasnya. Pertemuan itu ketika Saga skripsi jurusan bahasa inggris. Ia tetap lanjut kuliahnya di jurusan
~Ketika kedua kali aku mengucapkan Qobiltu, aku akan belajar untuk mencintaimu. Walau terkadang melawan hati sulit bagiku. Karena adanya keyakinan, aku percaya Allah yang memberi restu~ -----SAGA------ ***Hal yang paling dinantikan Robet adalah bisa melihat. Ketika sudah lama ia menunggu antrian, akhirnya Dokter Thomas memanggilnya juga. Ningsih dan Sultan senang melihatnya. Mereka menunggunya di depan ruang operasi sambil berdoa. Kapten Richard masih memberi pertanyaan pada geng mafia itu. Ia belum puas jika tidak ada bukti. Maka, kalau sampai hari ini ia tak menjawab jujur lagi, ia akan mencari bukti bersama anggota-anggotanya. Petugas polisi membawa Ray lagi. Ia menatapnya dengan memutar bola matanya malas. Lalu, duduk. "Ray, jangan bosan-bosan mendengar pertanyaanku jika kau tidak mau jujur," kata Kapten Richard."Apalagi yang